PPN Naik Jadi 12 Persen, Harga Elektronik, Fesyen Hingga Otomotif Jadi Lebih Mahal Tahun Depan
Pengenaan pajak pada sejumlah barang berwujud yang meliputi elektronik, fesyen hingga otomotif akan berdampak pada penjualan.
Pengamat ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita menilai bahwa kenaikan PPN menjadi 12 persen pada tahun 2025 bakal berimbas pada tekanan daya beli kepada masyarakat. Kenaikan PPN akan membuat harga barang dan jasa naik.
"Karena perusahaan penyedia barang jasa, biasanya tidak mau menanggung PPN, sehingga jalan biasanya yang mereka ambil adalah mengalihkan beban kenaikan PPN ini ke konsumen dengan cara menaikkan harga," ujar Ronny dikutip dari Antara.
- Mobil listrik terbaru yang harganya bersahabat, pilihan cerdas untuk tahun 2024
- Cara Mudah Beli E-Meterai, Pendaftar CPNS Wajib Tahu Ini
- Jangan Dibuang, Produk Elektronik Mati Total Kini Bisa Tukar Tambah, Begini Caranya
- Aturan Baru soal Impor Barang Elektronik Perkuat Industri Dalam Negeri, Begini Penjelasan Isinya
Pengenaan pajak pada sejumlah barang berwujud yang meliputi elektronik, fesyen hingga otomotif akan berdampak pada penjualan, hal ini juga berlaku untuk barang yang rutin dikonsumsi masyarakat.
Sementara kini, pemerintah belum memutuskan upah minimum provinsi (UMP) pada 2025. Ia pun berharap penetapan upah 2025 turut memperhatikan inflasi sebagai salah satu komponen dalam UMP.
Sebab, katanya, kenaikan harga barang dan jasa jika tidak diikuti dengan kenaikan pendapatan masyarakat maka akan semakin menekan permintaan terhadap produksi barang dan jasa serta berimbas dari sisi produksi.
"Kenaikan (PPN menjadi 12 persen) yang sedikit ini akan menambah tekanan daya beli kepada kelas menengah dan kelas menengah ke bawah yang memang pendapatannya sangat sangat tertekan dalam dua tahun terakhir sejak pasca pandemi," katanya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 bakal tetap dijalankan sesuai mandat Undang-Undang (UU).
Wacana PPN 12 persen tertuang dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disusun pada 2021. Kala itu, pemerintah mempertimbangkan kondisi kesehatan hingga kebutuhan pokok masyarakat yang terimbas oleh pandemi Covid-19.
"Artinya, ketika kami membuat kebijakan mengenai perpajakan, termasuk PPN ini, bukannya dilakukan dengan membabi buta dan seolah tidak punya afirmasi atau perhatian terhadap sektor lain, seperti kesehatan dan bahkan waktu itu termasuk makanan pokok," ujar Sri Mulyani.
Hitung-hitungan Kenaikan PPN Dirasakan Masyarakat
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira menjelaskan, kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen jika diakumulasi dalam 4 tahun terakhir (2020-2025) sebenarnya naiknya 20 persen bukan 2 persen.
Untuk lebih jelas menghitung besaran kenaikan pajak yang dirasakan masyarakat, berikut cara menghitungnya. Tahun 2010, saat PPN ditetapkan 10 persen, maka untuk barang senilai Rp300.000, masyarakat harus membayar pajak Rp30.000. Sehingga total yang dibayarkan Rp330.000.
Tahun 2022, saat PPN naik menjadi 11 persen, maka perhitungannya adalah, harga barang Rp300.000 ditambah pajak Rp33.000 menjadi Rp333.000. Jika tahun depan PPN ditetapkan naik menjadi 12 persen, maka perhitungannya harga barang Rp300.000 ditambah pajak Rp36.000 menjadi Rp336.000.
Dengan gambaran di atas, dapat dilihat bahwa dari tahun 2010 hingga 2025 nanti, kenaikan besaran pajak yang harus dibayar konsumen sebesar Rp6.000 untuk barang seharga Rp300.000.
Dari studi kasus di atas bisa dihitung persentase kenaikan pajak sebenarnya yang dibayar masyarakat bukanlah 2 persen (dari 10 persen ke 12 persen). Melainkan 20 persen. Besaran persentase tersebut diperoleh dari perhitungan 6.000/30.000x100 = 20persen.
"Dari 10 persen ke 11 persen kemudian ke 12 persen total kenaikan nya 20 persen," kata Bhima.