Sri Mulyani Tolak Susun Roadmap Rasio Pajak 23 Persen Seperti Target Prabowo-Gibran
Sri Mulyani khawatir jika target rasio pajak 23 persen itu justru menimbulkan kesalahpahaman.
Adapun angka rasio pajak 23 persen terhadap PDB merupakan janji Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, salah satunya dengan membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN).
Sri Mulyani Tolak Susun Roadmap Rasio Pajak 23 Persen Seperti Target Prabowo-Gibran
Sri Mulyani Tolak Susun Roadmap Rasio Pajak 23 Persen Seperti Target Prabowo-Gibran
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati keberatan atau tidak setuju menyusun peta jalan (roadmap) untuk mencapai target rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) di kisaran 23 persen pada 2025.
Adapun angka rasio pajak 23 persen terhadap PDB merupakan janji Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, salah satunya dengan membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN).
Dalam rapat kerja bersama Komisi XI belum lama ini, Sri Mulyani mengatakan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memang tengah fokus melakukan reformasi. Dengan menekankan kepada berbagai upaya seperti integrasi teknologi, penguatan sistem pajak, hingga meningkatkan tax ratio.
"Namun kami tidak secara spesifik apalagi sampai angka 23 persen. Jadi kami mohon mungkin angka 23 di-drop saja, karena saya takut menimbulkan suatu signaling yang salah," tegas Sri Mulyani, dikutip Kamis (13/6.
Sebab, melalui Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025, pemerintah telah menargetkan rasio pajak 10,09-10,29 persen terhadap PDB di tahun depan.
"Kami khawatirkan kalau seandainya ditulis seperti ini (rasio pajak 12-23 persen terhadap PDB), seolah-olah sudah ada roadmap yang nanti akan dibahas kembali pada nota keuangan tahun 2025," tegas Sri Mulyani.
Oleh karenanya, Sang Bendahara Negara khawatir jika target rasio pajak 23 persen itu justru menimbulkan kesalahpahaman. Dia pun tak ingin hal tersebut malah membebankan menteri keuangan di periode berikutnya.
"Kami mengikuti apa yang ditulis di KEM-PPKF. Jadi supaya tidak menimbulkan misleading, karena ini kan nanti jadi sesuatu kesimpulan yang mengikat, dan oleh Menteri Keuangan selanjutnya tentu ini menjadi sesuatu yang harus di-deliver," tutur Sri Mulyani.