Studi IMF: Uang Digital Datang, Uang Tunai Terancam Hilang
International Monetary Fund (IMF), dalam studi terbarunya, menemukan potensi hilangnya uang tunai dengan produk digital (cryptocurrency) di masa depan. Salah satu yang terimbas ada pada dana simpanan di bank. Hasil penelitian ini dirangkum dalam dokumen The Fintech Note berjudul The Rise of Digital Money.
International Monetary Fund (IMF), dalam studi terbarunya, menemukan potensi hilangnya uang tunai dengan produk digital (cryptocurrency) di masa depan. Salah satu yang terimbas ada pada dana simpanan di bank.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tobias Adrian dan Tommaso Mancini-Griffoli ini dirangkum dalam dokumen The Fintech Note berjudul The Rise of Digital Money dan dipublikasikan Senin lalu.
-
Apa itu Rupiah Digital? Rupiah Digital merupakan uang Rupiah yang memiliki format digital.
-
Kenapa Bank Indonesia mengembangkan Rupiah Digital? Selain menjadi mata uang yang cepat, mudah, murah, aman, dan andal dalam ekosistem digital di masa depan, Rupiah Digital juga menjadi solusi yang memastikan Rupiah tetap menjadi satu-satunya mata uang yang sah di NKRI.
-
Siapa yang menerbitkan Rupiah Digital? Rupiah Digital hanya diterbitkan oleh Bank Indonesia selaku Bank Sentral Negara Republik Indonesia.
-
Bagaimana proses pengembangan Rupiah Digital dilakukan? Langkah awal pengembangan Rupiah Digital BI melalui Proyek Garuda adalah dengan menerbitkan White Paper sebagai komunikasi kepada publik terhadap rencana pengembangan Rupiah Digital.
-
Kenapa orang-orang sekarang lebih suka transaksi digital? Dompet digital semakin marak digunakan sejak pandemi COVID-19. Masyarakat diimbau beralih dari transaksi tunai menjadi digital untuk mengurangi kontak fisik.
-
Mengapa Finnet yakin bisa menjadi solusi pembayaran digital? Kami didukung dengan IT Infrastructure yang handal dan memiliki lisensi terlengkap di Perusahaan sejenis. Kami yakin Finnet dapat menjadi One Stop Solution yang tumbuh bersama mitra untuk bersama-sama mendigitalkan sistem pembayaran di Indoensia.
Isinya, memperlihatkan betapa ketatnya persaingan perusahaan teknologi dengan perbankan dan perusahaan kartu kredit.
Dikutip dari Coindesk, Rabu (17/7), sang penulis menyebutkan format uang digital semakin diminati oleh konsumen dan pembuat kebijakan. "Uang konvensional bersaing ketat dengan uang elektronik, di mana uang tunai bisa disimpan dalam uang digital ini dengan nilai kurs yang disesuaikan," demikian bunyi pernyataan tersebut.
Demi menjaga eksistensi, perbankan disarankan untuk berinovasi dan menawarkan keunggulan yang tidak dimiliki uang elektronik dan uang digital.
Masih Dipertanyakan Stabilitasnya
Meski begitu, format uang elektronik masih dipertanyakan stabilitasnya. "Memang mempermudah transaksi, namun jika pelanggan menyimpan 10 euro, dia juga harus mendapat 10 euro di masa depan," tulis peneliti.
Selain itu, makalah ini juga membahas tentang i-money yang memungkinkan pertukaran uang digital dengan uang kertas.
Peneliti langsung tertuju pada mata uang kripto besutan Facebook, Libra, yang berpotensi jadi i-money baru. Sebab, Libra bisa ditukar dengan mata uang pemerintah.
"Koin Libra dapat ditukar ke dalam mata uang kertas kapan saja dari nilai yang sedang berjalan dari portofolio yang mendasarinya, tanpa jaminan harga apa pun," lanjutnya.
Butuh Peran Bank Sentral
Di sini, peran bank sentral sebagai pengendali terbentuknya uang elektronik masa depan sangat dibutuhkan. Tujuannya agar persaingan bisnis di lapangan tetap sehat.
"Salah satu solusinya adalah menawarkan akses penyedia uang elektronik baru terpilih ke cadangan bank sentral, meskipun dalam kondisi yang ketat. Melakukan hal itu menimbulkan risiko, tetapi juga memiliki berbagai keuntungan."
Makalah ini juga mengusulkan solusi yang berbeda, yaitu synthetic CBDC (sCBDC), di mana bank sentral akan menawarkan layanan penyelesaian kepada penyedia uang elektronik, termasuk akses ke cadangan bank sentral. Namun, semua fungsi lain akan menjadi tanggung jawab penyedia uang elektronik swasta berdasarkan peraturan.
sCBDC akan menjadi model yang lebih murah dan sedikit beresiko. Dengan konsep ini, sektor swasta masih memungkinkan untuk berinovasi dan berinteraksi dengan pelanggan. Sementara bank sentral memberikan rasa kepercayaan dan efisiensi pada pelanggan secara bersamaan.
"Tidak kalah pentingnya, bank-bank sentral di beberapa negara dapat bermitra dengan penyedia uang elektronik untuk secara efektif menyediakan mata uang digital bank sentral (CBDC) atau versi digital dari uang tunai," saran peneliti.
Reporter: Athika Rahma
Sumber: Liputan6
Baca juga:
OJK: Penerapan mata uang digital masih perlu kajian
Gaduh e-money di tahun ayam api
BI janji tetap utamakan perlindungan konsumen dalam transaksi e-money
BI soal gugatan uang elektronik ditolak MA: Berita bagus buat kepastian hukum
Alasan pelayanan, masyarakat kena duit tambahan
Terusik duit tambahan uang elektronik