Waspada, Bonus Demografi di 2024 Bisa Jadi Bencana Bagi Indonesia
Uki menjelaskan, bonus demografi berpotensi menciptakan bencana bagi lingkungan karena adanya peningkatan aktivitas manusia, baik ekonomi, sosial, maupun politik.
Penerapan konsep harm reduction atau pengurangan bahaya dinilai sangat penting untuk mengantisipasi potensi efek negatif bonus demografi, khususnya di bidang lingkungan. Sebab, jika tidak mengimplementasikan konsep ini, maka bonus demografi akan menciptakan degradasi lingkungan.
Direktur Eksekutif Center for Youth and Population Research (CYPR), Dedek Prayudi atau yang akrab disapa sebagai Uki menyebutkan, Indonesia akan mengalami puncak bonus demografi pada 2024 mendatang.
-
Kapan puncak bonus demografi Indonesia akan tercapai? Menaker mengatakan, bonus demografi mencapai puncaknya pada tahun 2030 hingga 2035.
-
Bagaimana pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II-2023 dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya? Jika dibandingkan dengan kuartal II-2022, ekonomi RI mengalami perlambatan. Sebab tahun lalu di periode yang sama, ekonomi mampu tumbuh 5,46 persen (yoy).
-
Apa yang menjadi catatan BPS tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II-2023? Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di angka 5,17 persen secara tahunan (yoy) pada kuartal II-2023.
-
Bagaimana pertumbuhan permintaan terhadap rumah di Jakarta? “Pada Juni 2024, pertumbuhan permintaan (enquiries) terhadap rumah di Jakarta yang disewa tumbuh 59,8 persen dan hunian yang dijual sebesar 114,9 persen secara tahunan,” kata Head of Research Rumah123 Marisa Jaya dilansir Antara, Selasa (30/7).
-
Kapan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,17 persen secara tahunan? Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di angka 5,17 persen secara tahunan (yoy) pada kuartal II-2023.
-
Mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II-2023 meningkat dibandingkan dengan kuartal I-2023? “Pertumbuhan ekonomi kita secara kuartal (q-to-q) lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang ini sejalan dengan pola yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya, yaitu pertumbuhan triwulan II selalu lebih tinggi dibandingkan di triwulan I,” terang Edy.
Saat ini, jumlah penduduk Indonesia mencapai 270 juta orang, yang mana 70 persen di antaranya berada di usia produktif (15-60 tahun) dan sebagian besar penduduk usia produktif tersebut adalah kelompok pemuda berusia 16-30 tahun.
Artinya, jumlah penduduk usia kerja dua kali lebih besar dibanding jumlah penduduk usia non-kerja. "Bonus demografi itu seperti pisau bermata dua. Yang pertama jendela peluang, yang kedua bencana," ujar Uki dikutip Rabu (23/6).
Uki menjelaskan, bonus demografi berpotensi menciptakan bencana bagi lingkungan karena adanya peningkatan aktivitas manusia, baik ekonomi, sosial, maupun politik.
"Itu semua dalam prosesnya mengeksploitasi alam ataupun limbahnya merusak alam," ungkapnya.
Contohnya pemanfaatan pembangkit listrik batu bara, kebakaran hutan, penggunaan kendaraan pribadi, sampah puntung rokok, dan sampah rumah tangga.
Di DKI Jakarta, per harinya menghasilkan 7.500 ton sampah yang dikirim ke Bantar Gebang. "Limbah sampah belum terdaur ulang dengan baik. Ini yang saya maksud bahwa aktivitas ekonomi, sosial, dan politik menghasilkan degradasi lingkungan," ujarnya.
Pemberdayaan Berkelanjutan
Melihat potensi bencana ini, Uki pun mengemukakan perlunya pemberdayaan pemuda berkelanjutan serta tata kelola lingkungan hidup. Kedua hal ini tidak bisa dipisahkan dan harus dijalankan secara partisipatif oleh semua pihak dari hulu ke hilir guna mengantisipasi dampak negatif bonus demografi.
"Artinya, dari upstream pembuat kebijakan dan downstream dari masyarakat umum. Kalau untuk upstream merestorasi yang rusak. Di level downstream kami menawarkan harm reduction atau pengurangan bahaya," paparnya.
Konsep pengurangan bahaya ini bisa direalisasikan dengan mengurangi pemakaian bahan-bahan yang tidak bersahabat dengan alam dan menggantikan dengan alternatif yang lebih baik. Contohnya dengan tidak lagi menggunakan sedotan maupun kantong plastik sekali pakai ataupun tidak lagi merokok, akan tetapi dapat diganti dengan produk yang dapat dipakai berulang kali.
"Inilah yang dimaksud pengurangan bahaya itu. Kita memang tidak bisa menghentikan aktivitas ekonomi," pungkasnya.
Sumber: Liputan6.com