CEK FAKTA: Tidak Terbukti Lonjakan Protein Vaksin Covid Sebabkan Kerusakan Organ Anak
Merdeka.com - Beredar video mengutip pernyataan Robert Malone, seorang yang diklaim sebagai ahli virus dan imunologi asal Amerika Serikat. Dalam video itu, Robert mengatakan vaksin Covid-19 yang disuntikkan ke anak mengakibatkan lonjakan protein beracun dan disebutkan pula menyebabkan kerusakan pada organ tubuh anak-anak.
"Yang pertama adalah bahwa gen virus akan disuntikan ke dalam sel anak anda. Gen ini memaksa tubuh anak anda untuk membuat protein lonjakan beracun. Protein ini sering menyebabkan kerusakan permanen pada organ penting anak-anak, termasuk otak dan sistem saraf anda. Jantung, dan pembuluh darah mereka termasuk pembekuan darah, sistem reproduksi," demikian pernyataan Malone dalam video tersebut.
-
Mengapa klaim tersebut diragukan? Dalam artikel juga tidak ditemukan adanya narasi yang menyebut Jokowi dan Listyo SIgit mencopot Polda Jabar karena membatalkan sidang tersangka Pegi.
-
Siapa yang menyatakan bahwa mpox bukan efek samping vaksin? Juru bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril, menjelaskan bahwa mpox dan Covid-19 merupakan dua penyakit yang berbeda.
-
Apa dampaknya jika anak tidak divaksinasi? Tidak memberi vaksin pada anak bisa menyebabkan sejumlah dampak kesehatan yang tidak diinginkan.
-
Bagaimana vaksin melindungi anak? Pemberian vaksinasi ini merupakan langkah penting untuk mencegah munculnya sejumlah masalah kesehatan.
-
Kenapa mpox bukan efek samping vaksin COVID-19? Jadi, penyakit Mpox ini tidak dapat dikatakan karena efek samping dari vaksin COVID-19. Itu tidak ada hubungannya,' tegas Syahril.
-
Kenapa video tersebut diklaim tidak benar? Sehingga secara keseluruhan isi dan narasi video tidak ada kaitannya dengan Anies yang ditetapkan sebagai tersangka terkait JIS.
Penelusuran
Hasil penelusuran, melansir dari situs factcheck.afp.com, Dokter penyakit menular dan direktur Pusat Pendidikan Vaksin di Rumah Sakit Anak Philadelphia, Paul Offit, mengatakan informasi menyebut lonjakan protein usai divaksin Covid-19 menyebabkan kerusakan permanen pada organ tubuh anak-anak adalah klaim yang salah.
"Itu salah. Tidak ada bukti, baik pada hewan percobaan atau manusia," katanya.
Rekan American Academy of Pediatrics Deborah Greenhouse, juga sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Paul Offit.
"Sama sekali tidak ada bukti bahwa protein lonjakan yang dihasilkan sebagai respons terhadap vaksin Covid-19 itu beracun," kata Offit.
Selain itu, Alexandra Yonts, seorang dokter penyakit menular pediatrik di Rumah Sakit Nasional Anak di Washington, DC, mengatakan bahwa protein lonjakan dalam vaksin Covid-19 aman karena hanya bertahan di otot lengan seseorang untuk waktu yang singkat.
"Tidak ada bukti yang mendukung bahwa protein lonjakan yang diproduksi oleh vaksin mRNA Covid-19 beracun dengan cara apa pun," kata Yontsa.
Protein lonjakan yang dihasilkan melalui vaksin mRNA Covid-19 sering menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada otak, sistem saraf anak-anak, jantung, pembuluh darah, dan sistem reproduksi. Namun klaim itu diragukan oleh Yonts.
"Itu benar-benar tujuan vaksinasi. Vaksin akan menyebabkan perubahan dalam sistem kekebalan, karena memberikan sistem kekebalan dengan target untuk mengembangkan memori kekebalan terhadap protein lonjakan untuk melindungi orang dari penyakit," kata Yonts.
Sementara, terkait efek samping serius yang langka seperti miokarditis dan perikarditis memang benar adanya. Tapi, kata Yonts dan Offit kondisinya bersifat sementara.
"Miokarditis jelas merupakan konsekuensi dari vaksin mRNA. Jarang, tapi nyata. Berumur pendek, sementara dan sembuh sendiri," kata Offit.
Baik Offit dan Yonts mengatakan bahwa data menunjukkan kasus miokarditis yang jarang terjadi bukanlah akibat langsung dari lonjakan protein itu sendiri, seperti yang dikatakan Malone.
Yonts juga menekankan bahwa sangat bermanfaat memvaksinasi anak-anak Anda untuk Covid-19. "Sementara anak-anak umumnya dilindungi dari penyakit terburuk, Covid-19 memang mempengaruhi anak-anak dan ada kematian terkait Covid-19," katanya.
Sementara itu, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS merekomendasikan agar setiap orang di atas usia lima tahun menerima suntikan Covid-19, menekankan bahwa imunisasi itu aman dan efektif, termasuk untuk anak-anak dan remaja.
Kesimpulan
Klaim lonjakan protein usai divaksin Covid-19 menyebabkan kerusakan pada organ tubuh anak-anak adalah klaim yang salah. Para ahli mengatakan sama sekali tidak ada bukti bahwa protein lonjakan yang dihasilkan sebagai respons terhadap vaksin Covid-19.
Jangan mudah percaya dan cek setiap informasi yang kalian dapatkan. Pastikan itu berasal dari sumber terpercaya
Referensi
https://factcheck.afp.com/http%253A%252F%252Fdoc.afp.com%252F9V36YN-1 (mdk/lia)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Beredar klaim penerima vaksin Covid-19 mRNA akan meninggal dalam 3 atau 5 tahun
Baca SelengkapnyaBeredar penyebaran virus mpox merupakan efek samping vaksin Covid-19
Baca SelengkapnyaJamie Scott, seorang pria beranak dua mengalami cedera otak serius setelah mengalami penggumpalan darah dan pendarahan di otak usai mendapatkan vaksin itu p
Baca SelengkapnyaHinky mengatakan, vaksin AstraZeneca sudah melewati tahap uji klinis tahap 1 hingga 4.
Baca SelengkapnyaBeredar video yang mengklaim larangan konsumsi sayap dan leher ayam pedaging karena sudah disuntik hormon.
Baca SelengkapnyaEpidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan, ada kemungkinan kasus TTS dipicu vaksin AstraZeneca.
Baca SelengkapnyaJangan mudah percaya dan cek setiap informasi yang kalian dapatkan.
Baca SelengkapnyaBelakangan, vaksin AstraZeneca disebut-sebut memicu kejadian trombosis with thrombocytopenia syndrome (TTS) atau pembekuan darah.
Baca SelengkapnyaIndonesia merupakan negara dengan peringkat keempat terbesar di dunia yang melakukan vaksinasi COVID-19.
Baca SelengkapnyaKomnas KIPI sebelumnya mengatakan tidak ada kejadian sindrom TTS setelah pemakaian vaksin Covid-19 AstraZeneca.
Baca SelengkapnyaBahkan, muncul narasi menyatakan bahwa virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 tidak ada.
Baca SelengkapnyaPenyakit polio masih menjadi pekerjaan rumah (PR) pemerintah.
Baca Selengkapnya