Gaduh Efek Samping Vaksin AstraZeneca, Komnas KIPI: Tidak Sebabkan Kasus Pembekuan Otak di Indonesia
Jamie Scott, seorang pria beranak dua mengalami cedera otak serius setelah mengalami penggumpalan darah dan pendarahan di otak usai mendapatkan vaksin itu p
Sejumlah negara termasuk Indonesia juga menggunakan AstraZeneca sebagai vaksin Covid-19.
Gaduh Efek Samping Vaksin AstraZeneca, Komnas KIPI: Tidak Sebabkan Kasus Pembekuan Otak di Indonesia
Sebuah media mengungkap ada dokumen pengadilan menyebut AstraZeneca mengakui bahwa vaksin COVID-19 buatannya menyebabkan efek samping yang langka.
Mengutip dari Antara, Kamis (2/5), dokumen itu muncul setelah perusahaan farmasi raksasa tersebut digugat atas klaim bahwa vaksin yang dikembangkan di Universitas Oxford itu menyebabkan kematian serta cedera serius pada beberapa kasus.
Pada Februari, gugatan pertama dilayangkan ke Pengadilan Tinggi Inggris oleh Jamie Scott, seorang pria beranak dua yang mengalami cedera otak serius setelah mengalami penggumpalan darah dan pendarahan di otak usai mendapatkan vaksin itu pada April 2021. Akibatnya, Jamie tidak dapat bekerja.
Rumah sakit yang merawatnya pun menghubungi istrinya tiga kali untuk memberitahu bahwa suaminya sekarat.
AstraZeneca membantah hal tersebut. Namun mengakui dalam dokumen legal pada Februari bahwa ada kemungkinan meski sangat langka bahwa vaksin COVID mereka dapat menyebabkan trombosis with trombositopenia (TTS).
Sejumlah negara termasuk Indonesia juga menggunakan AstraZeneca sebagai vaksin Covid-19. Namun demikian, Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas PP KIPI) memastikan tidak ada kejadian sindrom trombosis dengan trombositopenia yang memicu pembekuan otak di Indonesia sebagai efek samping pemakaian vaksin COVID-19 AstraZeneca.
Pernyataan itu disampaikan Ketua Komnas PP KIPI, Prof Hinky Hindra Irawan Satari dalam pernyataannya melalui Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI di Jakarta, Kamis sore.
"Keamanan dan manfaat sebuah vaksin sudah melalui berbagai tahapan uji klinis, mulai uji klinik tahap 1, 2, 3 dan 4, termasuk vaksin COVID-19 yang melibatkan jutaan orang, sampai dikeluarkannya izin edar," katanya.
Hal tersebut ia laporkan berdasarkan surveilans aktif dan pasif, termasuk pemantauan terhadap keamanan vaksin yang masih terus dilakukan pihaknya setelah vaksin beredar sampai saat ini.
Sesuai rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO), kata Hinky, Komnas KIPI bersama Kemenkes dan BPOM melakukan surveilans aktif terhadap berbagai macam gejala atau penyakit yang dicurigai, termasuk sindrom trombosis dengan trombositopenia (thrombosis with thrombocytopenia syndrome/TTS) yang berkaitan dengan vaksin COVID-19.
Hinky mengatakan survei dilakukan di 14 rumah sakit di tujuh provinsi yang memenuhi kriteria selama lebih dari satu tahun.
“Selama setahun, bahkan lebih, kami amati dari Maret 2021 sampai Juli 2022. Kami lanjutkan lebih dari setahun karena tidak ada gejalanya, jadi kami lanjutkan beberapa bulan supaya memenuhi kebutuhan jumlah sampel yang dibutuhkan untuk menyatakan ada atau tidak ada keterkaitan. Sampai kami perpanjang juga tidak ada TTS pada AstraZeneca,” katanya.
TTS Akibat Vaksin AstraZeneca Sangat Langka
Menurut Hinky, Indonesia merupakan negara dengan peringkat keempat terbesar di dunia yang melakukan vaksinasi COVID-19. Sebanyak 453 juta dosis vaksin telah disuntikkan ke masyarakat Indonesia, dan 70 juta dosis diantaranya adalah vaksin AstraZeneca.
Setelah surveilans aktif selesai, Komnas KIPI tetap melakukan surveilans pasif hingga hari ini, dengan laporan tidak ditemukan laporan kasus TTS, kata Hinky.
Dilansir dari laman Kemenkes, TTS merupakan penyakit yang menyebabkan penderita mengalami pembekuan darah serta trombosit darah yang rendah. Kasusnya sangat jarang terjadi di masyarakat, tapi bisa menyebabkan gejala yang serius.
Dijelaskan Hinky, jika terjadi pembekuan pada pembuluh otak, maka muncul gejala pusing, di saluran cerna mual dan di kaki pegel. Gejala lain yang ditunjukkan berupa bercak biru pada tempat suntikan yang diakibatkan jumlah trombosit menurun.
"Ada perdarahan, biru-biru di tempat suntikan, ya, itu terjadi, tapi 4-42 hari setelah vaksin. Kalau sekarang terjadi, ya, kemungkinan besar terjadi karena penyebab lain, bukan karena vaksin," katanya.
Masyarakat juga masih bisa melaporkan kejadian ikutan pasca-imunisasi atau KIPI kepada Komnas KIPI melalui puskesmas terdekat.
“Puskesmas sudah terlatih, akan dilakukan investigasi, anamnesis, dan rujukan ke RS untuk dikaji Pokja KIPI dan dikeluarkan rekomendasi berdasarkan bukti yang ada,” katanya.