Enam Fakta Menarik Gunung Lumbung Cililin yang Terkait dengan Sejarah Dipati Ukur
Gunung Lumbung yang terletak di Dusun Lembang, Cililin, memiliki hubungan yang kuat dengan sejarah Dipati Ukur.

Gunung Lumbung yang terletak di Dusun Lembang, Cililin, Jawa Barat memiliki ketinggian puncak mencapai 1.093 meter di atas permukaan laut (mdpl), sesuai dengan informasi dari peta Rupa Bumi Indonesia (RBI). Gunung ini memiliki keterkaitan yang kuat dengan sejarah Dipati Ukur dan diduga merupakan sumbatan lava yang terbentuk di tengah bekas kawah atau kaldera sebuah gunung berapi.
Mengacu pada laman Bandung Bergera pada Selasa, 14 Januari 2025, Gunung Lumbung berjarak sekitar 18 kilometer ke arah barat daya dari pusat Kota Bandung. Secara administratif, gunung ini terletak di Kampung Poponcol, Dusun Lembang, Desa Mukapayung, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat.
Selain informasi mengenai lokasi dan ketinggiannya, ada banyak hal menarik terkait Gunung Lumbung. Berikut ini adalah enam fakta menarik tentang Gunung Lumbung yang telah dilansir Merdeka.com dari berbagai sumber pada, Jum'at(21/3/2025).
Titik Awal Pendakian
Untuk mencapai Kampung Poponcol di Dusun Lembang, para pendaki memiliki dua jalur yang bisa dipilih. Jalur pertama dimulai dari arah barat melalui Cililin, melewati lembah wisata Curugan Gunung Putri, dan dilanjutkan dengan menyusuri jalan berkelok dengan tanjakan yang cukup curam menuju Dusun Lembang.
Sedangkan jalur alternatif dapat ditempuh dari arah timur, melalui Soreang dan Cihampelas, kemudian menuju Walahir dan melewati Desa Kidang Pananjung hingga tiba di Kampung Poponcol. Jika Anda ingin menggunakan peta daring, cukup ketik 'SDN Lembang Cililin' di mesin pencarian.
Dari kedua jalur tersebut, jalur dari arah barat, atau melalui lembah Curugan Gunung Putri, direkomendasikan karena kondisinya yang lebih baik. Meskipun jalan yang dilalui menanjak dan terdapat banyak lubang, rute ini relatif lebih mudah untuk dijelajahi.
Dipati Ukur menjadi Lokasi Pelarian

Terdapat beberapa kutipan mengenai Dipati Ukur dan Gunung Lumbung. Cerita tentang Dipati Ukur versi Sukapura, yang ditulis pada tahun 1886, menyatakan bahwa Ki Dipati Ukur mengalami kekalahan, kemudian mundur dan naik ke Gunung Lumbung yang terletak di daerah Batulayang. Pada 17 Januari 1833, Salomon Muller bersama pelukis Pieter Van Oort mengunjungi Gunung Lumbung dan mencatat akhir dari kisah Dipati Ukur, serta kehancuran yang menimpa negara di Gunung Lumbung.
Jika kita menelusuri sejarah, sekitar 400 tahun yang lalu, tepatnya antara tahun 1630-1632, Dipati Ukur sebagai pemimpin wilayah Tatar Ukur membangun pusat pertahanan terakhirnya di Gunung Lumbung. Langkah ini diambil sebagai persiapan untuk menghadapi musuhnya, yaitu Kerajaan Mataram dan VOC. Pilihan ini terbukti tepat karena Gunung Lumbung memiliki akses yang sulit dari segala arah. Apabila ada yang berhasil menerobos, dipastikan mereka akan kehabisan tenaga setelah melewati benteng alam berupa pegunungan yang mengelilingi lokasi tersebut.
Catatan sejarah mencatat bahwa pada tahun 1632, Sultan Agung selaku penguasa Kerajaan Mataram mengirimkan 40.000 pasukan ke wilayah Priangan untuk menangkap dan meredam Dipati Ukur. Beberapa kisah menyebutkan bahwa di Gunung Lumbung inilah Dipati Ukur akhirnya menyerah setelah berjuang melawan serangan yang sangat besar tersebut.
Asal mula Nama Gunung Lumbung

Asal-usul nama Gunung Lumbung konon berasal dari sebuah batu besar yang mirip dengan ukuran seekor kerbau, hampir seperti lumbung tempat menyimpan padi. Batu tersebut digunakan sebagai senjata untuk menyerang musuh dengan cara digelindingkan dari atas.
Batu ini bukanlah batu biasa, melainkan batu sakti yang dapat kembali naik setelah digelindingkan, yang dikenal dengan nama Batu Munding Jalu. Ada juga yang menyebutnya Batu Munding Lalampah. Batu ini merupakan pusaka milik Dipati Ukur, dan ia juga memiliki senjata lainnya berupa duhung atau pisau yang bernama Culanagara, yang menjadi asal toponimi Gunung Bukitcula di Ciparay. Semua senjata pusaka ini merupakan warisan dari leluhurnya yang berasal dari kerajaan Pakuan Pajajaran.
Pendakian Sekitar Satu Jam
Pendakian menuju puncak Gunung Lumbung tidak memiliki pos atau gerbang resmi. Pengunjung dapat menitipkan kendaraan di rumah warga atau di warung yang ada di sekitar. Jangan khawatir, karena Kampung Poponcol memiliki banyak warung yang bisa dijadikan tempat berbelanja.
Di sini, kita bisa membeli berbagai kebutuhan seperti air minum, cemilan, kopi, dan lainnya. Untuk mencapai puncak, pendaki memerlukan waktu sekitar satu jam dengan perjalanan yang santai. Rutenya cukup jelas, dan selama perjalanan, pendaki akan melewati berbagai perkebunan, seperti kebun tomat, jagung, cabe rawit, dan terong ungu.
Pemandangan Sawah Terlihat Sepanjang Perjalanan

Selama perjalanan trekking, para pendaki dapat menikmati pemandangan tebing yang terbuat dari lava tuf serta kincir angin atau kolcr berukuran besar. Di beberapa titik, jangan lupa untuk melihat ke bawah, karena keindahan Dusun Lembang yang dikelilingi oleh sawah yang luas akan terlihat jelas. Setelah itu, kita akan melanjutkan perjalanan melewati jalur kebun. Menariknya, sepanjang perjalanan menuju puncak gunung, kita tidak akan menemukan hutan yang rimbun.
Arca di Puncak Gunung Lumbung
Di puncak gunung, pendaki akan menjumpai beberapa batu unik yang diperkirakan berusia ratusan tahun. Salah satu yang paling menarik adalah batu yang dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Batu Arca.
Selain itu, terdapat juga batu berbentuk menhir, lingga, dan dolmen. Keberadaan arca, menhir, dan dolmen ini sudah ada sejak lama, bahkan sebelum Dipati Ukur membangun kekuatan pasukannya. Namun, ada kemungkinan batu-batu tersebut dibawa oleh seseorang atau sekelompok orang setelah Dipati Ukur tiada. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk mengungkap asal-usul batu-batu tersebut.