Bocah Palestina Ditanya Mau Jadi Apa Saat Besar Nanti, Jawabannya Bikin Mata Berkaca-Kaca
Anak-anak banyak yang menjadi korban kekejaman Israel di Palestina.
Bocah Palestina Ditanya Mau Jadi Apa Saat Besar Nanti, Jawabannya Bikin Mata Berkaca-Kaca
Anak-anak banyak yang menjadi korban kekejaman Israel di Palestina. Dalam kekerasan terbaru Israel di Jalur Gaza, korban terbanyak adalah anak-anak.
Sejak Israel membombardir Gaza pada 7 Oktober lalu, lebih dari 1.000 anak-anak terbunuh, artinya satu anak tewas dalam 15 menit, menurut Save the Children, dikutip dari laman Relief Web.
Pada Selasa (17/10) malam, Israel mengebom Rumah Sakit Baptis Al-Ahli di Gaza. Di dalam rumah sakit itu banyak keluarga yang mengungsi. Lebih dari 500 orang tewas, termasuk anak-anak.
Beberapa jam sebelum rumah sakit tersebut dibom, beredar video yang direkam di halaman rumah sakit, menunjukkan puluhan anak sedang bermain bersama. Malam harinya, rumah sakit tempat mereka berlindung itu menjadi sasaran kekejaman Israel.
Anak-anak Palestina sejak lahir telah dihadapkan dengan kehidupan keras di tengah pendudukan Israel. Bahkan ada yang merasa mereka tidak punya masa depan lagi, dilahirkan hanya untuk menjadi target kekejaman selanjutnya.
Dalam sebuah video TikTok, seorang bocah Palestina ditanya mengenai cita-citanya. Namun jawabannya mengejutkan.
"Kalau sudah besar, kamu mau jadi apa?" seseorang bertanya kepada anak Palestina.
"Kalau sudah besar? Di Palestina, kami tidak tumbuh besar. Kami, setiap menit, kami bisa ditembak. Kami bisa syahid," jawab anak laki-laki tersebut dalam video diunggah dalam salah satu akun TikTok.
"Ketika kami berjalan, kami bisa aja menjadi syahid. Beginilah hidup di Palestina."
Tidak hanya di tanah Palestina yang telah 75 tahun menjadi jajahan Israel, mereka yang hidup di rantau pun menjadi target serangan kebencian. Eskalasi di Gaza juga meluas ke Amerika Serikat. Seorang anak Palestina berusia 6 tahun tewas ditikam dan ibunya terluka parah dalam serangan yang dianggap sebagai kejahatan kebencian di Chicago, Negara Bagian Illinois.
Kejadian ini menyebabkan kecaman keras dari pemimpin muslim setempat yang menyerukan kepada politisi dan jurnalis Amerika untuk lebih menggambarkan kemanusiaan rakyat Palestina dalam konteks konflik internasional.
Menurut penyelidik di Will County, Illinois, kejadian tersebut berlangsung dalam keadaan mengerikan.
Seorang pemilik rumah berusia 71 tahun diduga menyerang anak laki-laki dan ibunya, yang merupakan penyewa di rumahnya, dengan menusuk mereka berulang kali menggunakan pisau bergerigi.
Anak laki-laki tersebut, yang diidentifikasi sebagai Wadea Al-Fayoume oleh anggota keluarga dan Dewan Hubungan Amerika-Islam, ditusuk sebanyak 26 kali dan dinyatakan meninggal di rumah sakit, kata kantor kepolisian.
Kantor Sheriff Will County dalam pernyataan kemarin mengatakan, "penyidik dapat memastikan bahwa kedua korban dalam serangan kejam ini menjadi sasaran karena mereka muslim dan konflik di Timur Tengah yang melibatkan Hamas dan Israel sedang berlangsung."
Sabreen Abd Rabu bersama suami dan tiga anaknya baru tiba di perbatasan Rafah di Gaza selatan, yang berbatasan dengan Mesir, ketika Israel menjatuhkan rudalnya. Ledakan terjadi hanya beberapa meter dari tempat Sabreen dan keluarganya berdiri.
"Kami hanya ingin pergi," kata guru seni dan warga Khan Younis di Gaza selatan ini kepada Al Jazeera.
"Bahkan melarikan diri tampaknya dilarang bagi orang-orang seperti kami, orang Palestina."
Sumber: Al Jazeera
Israel terus membombardir Gaza tanpa henti. Bahaya menyebabkan banyak keluarga seperti Sabreen ingin melarikan diri ke luar negeri demi keselamatan mereka.
Saat bom meledak di perbatasan Rafah, suami Sabreen, Ahmed, sedang mengurus dokumen perjalanan mereka. Mereka belum pernah meninggalkan Gaza sebelumnya, dan mereka fokus upaya keluar dari Gaza, dibandingkan bahaya yang akan turun dari atas.
“Tanah berguncang, dan kami tiba-tiba tidak sadarkan diri di tengah pusaran pasir,” kata Sabreen.
Baik dia dan Ahmed jatuh ke tanah. Detik-detik yang mereka habiskan untuk berbaring terasa seperti selamanya. Sambil berusaha bangkit kembali, mereka mulai mencari anak-anak mereka dengan panik di tengah asap.
Foto: Ibraheem Abu Mustafa/Reuters
“Saya bahkan tidak tahu apakah saya terluka atau tidak. Yang penting bagi saya hanyalah memastikan keselamatan anak-anak saya. Namun tugas sederhana itu pun tampak mustahil setelah serangan udara,” kenang Sabreen.
Kekacauan menyebar setelah ledakan tersebut. Menurut para saksi, jumlah anak-anak dan bayi melebihi jumlah orang dewasa, dan banyak keluarga bergegas untuk menyelesaikan dokumen mereka, sehingga mereka dapat menghindari serangan rudal dengan menyeberang ke Mesir.
Setelah pengeboman itu, Sabreen dan keluarganya gagal menyeberang ke Mesir. Petugas meminta mereka kembali ke Gaza.
“Kami disuruh kembali ke Gaza, yang berarti kembali ke kengerian, ketakutan, dan kematian yang kami pikir bisa melarikan diri,” lanjutnya, suaranya dipenuhi keputusasaan.
Dia melihat konflik yang terjadi saat ini sebagai bagian dari upaya Israel yang lebih besar untuk mengusir rakyat Palestina dari tanah airnya.
“Kami memahami bahwa Israel, melalui berbagai cara, berupaya mengusir rakyat Palestina dari Gaza,” kata Sabreen.
“Namun, tekad kami untuk tinggal di sini, untuk eksis di sini, dan membangun masa depan kami di sini tetap teguh.”
Meski dalam kondisi yang memprihatinkan, Sabreen tetap optimis perjuangan keluarganya tidak akan sia-sia.
“Hari ini atau seratus tahun dari sekarang, rakyat Palestina akan menanggungnya,” ujarnya. “Dengan tangguh dan gigih, kami menolak untuk tunduk pada taktik teror dan penindasan yang dilakukan penjajahan."