“Apartheid Israel di Palestina Jauh Lebih Parah dari Apartheid di Afrika Selatan”
Merdeka.com - Agresi militer Israel di Jalur Gaza telah menewaskan 212 warga Palestina, termasuk 61 anak-anak, 35 perempuan, dan 16 lansia. Israel melancarkan serangan udara sejak lebih dari sepekan lalu, menghancurkan sejumlah bangunan, termasuk blok rumah susun warga dan klinik laboratorium tes Covid-19.
Memanasnya ketegangan di wilayah tersebut berawal dari rencana pengusiran paksa keluarga Palestina yang tinggal di Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur yang diduduki. Sejumlah warga menggelar demonstrasi menentang rencana Israel tersebut.
Israel ingin mengusir warga Palestina yang telah puluhan tahun tinggal di lingkungan tersebut. Israel ingin membangun di Yerusalem Timur yang diklaim sebagai wilayahnya. Pada 2017, Presiden Amerika Serikat Donald Trump saat itu memutuskan memindahkan kedutaan besarnya ke Yerusalem Timur.
-
Siapa yang mengusir warga Palestina? Peristiwa Nakba dimulai dengan serangan militer dari pasukan Zionis terhadap desa-desa dan kota-kota Palestina.
-
Bagaimana konflik Israel dan Palestina dimulai? Konflik yang bermula sejak tahun 1947 ini bahkan masih sering memanas.
-
Kenapa Israel menahan warga Palestina? Menurut Komisi Urusan Tahanan dan Masyarakat Tahanan Palestina, sejak awal April 2024, lebih dari 3.660 warga Palestina ditahan dengan alasan administratif di penjara Israel.
-
Bagaimana warga Kampung Palestina berinisiatif? Pemasangan atribut sendiri merupakan bentuk solidaritas dan inisiasi dari warga di RT 10 gang tersebut. 'Awalnya belum begitu ngeh, karena mungkin biasa Palestina sama Israel, tapi lama-lama ini udah bukan kejadian, tapi masuknya kemanusiaan,' kata dia, mengutip YouTube Liputan6, Kamis (9/11).
-
Mengapa rumah warga Palestina dihancurkan? Di Yerikho, pembongkaran dilakukan atas dasar rumah-rumah tersebut dibangun tanpa izin dari Israel.
-
Bagaimana warga Yahudi Israel kabur dari pria Palestina? Saat ditantang duel, keempatnya justru lari terbirit-birit dan menjauh.
“Jadi tidak diakui Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina. Jadi sekarang semua dianggap sebagai ibu kota Israel, that’s why itu mulai diperketat semuanya dan by the way, keadaan untuk orang Yerusalem I think tidak ada seseorang di dunia ini dengan keadaan bisa hidup dengan keadaan mereka,” jelas Ketua Komunitas Palestina di Indonesia, Murad Halayqa, kepada Merdeka.com, saat dihubungi pada Rabu (19/5).
Murad mengatakan saat ini jumlah penduduk Palestina di Yerusalem hanya 300.000 jiwa. Padahal pada 1967, jumlah penduduk Yahudi di Yerusalem hanya 20 persen dan 80 persen merupakan orang Arab Palestina termasuk Kristen dan Muslim.“Sekarang terbalik, gara-gara kebijakan Israel yang rasis, sekarang 80 persen orang Yahudi dan 20 persen orang Palestina,” sebutnya.
“Jadi dasar masalahnya itu Yerusalem, mulai dari Sheikh Jarrah,” lanjutnya.
Selain rencana pengusiran paksa warga Palestina di Sheikh Jarrah, upaya pengusiran warga juga dilakukan Israel melalui penerapan sistem pajak yang diskriminatif. Murad mengatakan ada yang namanya Arnona atau semacam pajak bangunan yang diterapkan pemerintah Israel untuk warga Yerusalem dengan nilai yang cukup tinggi dan menurutnya itu merupakan pajak tertinggi di dunia.
Dia mencontohkan sebuah toko kecil di Kota Tua Yerusalem seukuran 2x3 meter pajaknya bisa mencapai jutaan dolar per tahun.
“Untuk memaksa orang keluar, untuk usir orang,” ujarnya.
Orang Palestina juga tidak diizinkan membangun rumah di daerah Yerusalem Timur. Kalau nekat membangun sendiri tanpa izin, terancam akan dihancurkan buldozer Israel. Anehnya warga Palestina yang harus membayar buldozernya atau menghancurkan sendiri rumahnya.
“Jadi itu apartheid. Ini jauh lebih parah dari di Afrika Selatan,” tegasnya.
Popularitas Netanyahu merosot
Mengenai ketegangan yang pecah di akhir Ramadan, Murad mengatakan tidak ada kaitannya dengan Muslim maupun Ramadan. Menurutnya ketegangan tersebut merupakan alat politik yang sengaja diciptakan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu untuk melanggengkan kekuasannya.
Popularitas PM sayap kanan itu merosot karena dugaan kasus korupsi. Warga Israel sejak beberapa bulan lalu turun ke jalan, berunjuk rasa menentang Netanyahu karena tuduhan korupsi.
“Jadi dia membuat masalah ini agar dia tidak jatuh tahta, agar dia tetap berkuasa. Karena kalau dia tidak berkuasa lagi dia akan langsung ditangkap, divonis soal korupsi, banyak kasus korupsinya,” ujarnya.
Netanyahu, lanjutnya, memanfaatkan kelompok ekstrem atau radikal, termasuk parpol sayap kanan yang memiliki kursi di Knesset atau parlemen Israel.
Pada 28 April, ada dua kelompok ekstrem Yahudi, salah satunya Lehava, yang mau masuk ke Masjid Al-Aqsa, saat jemaah Muslim sedang berkumpul untuk memperingati Lailatul Qadar. Kelompok ini dilindungi aparat Israel. Saat orang Palestina berusaha menghalangi mereka, mereka justru diserang dan ditangkap.
Masjid Al-Aqsa merupakan tempat paling suci ketiga bagi umat Islam seluruh dunia, bukan hanya bagi rakyat Palestina. Hamas kemudian mengeluarkan ultimatum, meminta aparat Israel mundur dari Al-Aqsa, jika tidak, mereka akan meluncurkan roket ke Israel.
“Tapi itu tidak berarti Hamas yang mulai, Hamas itu bereaksi. Apa yang dibuat sama Hamas itu reaksi dan itu 99 persen dari rakyat Palestina mendukung (tindakan Hamas) itu,” jelasnya.
Murad menjelaskan, masyarakat Palestina berasal dari beragam latar belakang ideologi; ada yang liberal, sosialis, islamis, nasionalis. Namun terkait soal Yerusalem, soal hak-hak Palestina, tidak ada perbedaan dan mereka satu suara, termasuk soal pertahanan diri.
“Kalau soal resistance, tidak ada, semua bersama, semuanya mendukung,” ujarnya.
“Soal pola pikir Hamas saya tidak setuju 100 persen tapi soal melindungi tanah suci Masjidil Aqsa, melindungi orang saya, saya 100 persen sama Hamas.”
Kekalahan Israel
Ditanyai terkait prediksinya apakah ketegangan di Palestina akan meluas ke wilayah lain di luar Gaza, Murad memperkirakan dua hari lagi akan ada gencatan senjata dan Israel akan menyerah. Hal ini tidak lepas dari dukungan yang mengalir dari masyarakat dari berbagai penjuru dunia. Solidaritas untuk rakyat Palestina datang dari berbagai kelompok di berbagai negara. Demonstrasi menentang penjajahan Israel berlangsung di berbagai kota di dunia. Muncul kesadaran baru mengenai pentingnya membebaskan Palestina dari cengkeraman kolonialisme Israel.
“Dari Hollywood, dari semua agama, semua negara, semua mendukung Palestina,” ujarnya.
Bahkan dari tokoh dan kelompok Yahudi juga mendukung Palestina. Murad menyebut seorang intelektual Noam Chomsky dan B’Tselem, organisasi HAM di Israel yang menyatakan tindakan pemerintah Israel masuk kategori apartheid.
“Kejadian-kejadian ini pada dasarnya ada positifnya bahwa masalah Palestina dijadikan prioritas dan membuktikan walaupun semua umat Islam dan negara Arab punya masalah sendiri tapi kalau ada masalah di Palestina itu langsung jadi nomor satu,” ujarnya.
Kerugian Israel
Selain solidaritas untuk Palestina, Murad mengatakan Israel juga telah kalah dari dalam. Sistem pertahanan rudalnya yang terkenal canggih, Iron Dome, tidak lagi efektif. Padahal Israel telah menghabiskan dana USD 180 juta untuk sistem ini.
“Mereka kemarin bilang dengan solidaritas yang tinggi (untuk Palestina) seperti ini akan menjelekkan citra Israel di dunia dan kami harus berhenti. Tapi sekarang siapa yang memaksa? Jenderal-jenderal militer karena mereka merasa terhina belum dapat sesuatu karena yang mereka bom di Gaza itu permukiman orang, dan tidak dapat sesuatu dari apa yang mereka bilang Hamas, metro (terowongan bawah tanah) Hamas, yang di bawah sana, tidak dapat sesuatu dan dari dalam Israel tidak bisa,” jelasnya.
Murad juga mengatakan kerugian Israel per hari mencapai USD 60 juta, di mana nilai rudal yang mereka lontarkan ke Gaza senilai USD 1 miliar. Sehingga mereka tidak bisa bertahan lebih lanjut.
“That’s why saya bilang ini expectation saya itu paling, paling dua hari, mereka tidak bisa tahan lagi. Tapi kemarin Hamas bilang kalau kalian mau lanjut kami siap untuk meluncurkan roket enam bulan ke depan. Tapi apakah Israel bisa tahan enam bulan ke depan? Tidak bisa.”
Pariwisata yang menjadi sektor andalan Israel terpengaruh dengan ketegangan saat ini. Bandara ditutup dan tidak ada wisatawan yang datang. Israel rugi secara ekonomi.
‘Hubungan terpaksa’
Selalu ada kemungkinan perdamaian Palestina dan Israel di masa depan. Tapi dengan syarat, semua tanah yang dirampas Israel harus dikembalikan kepada rakyat Palestina.
“Saya datang ke rumah Anda, ambil tanah Anda, Anda tinggal di pengungsian, terus saya bilang ayo kita hidup dengan damai. Anda bisa terima itu?” kata Murad.
Saat ini, menurutnya hubungan orang Palestina dengan orang Israel itu hubungan terpaksa. Pasalnya, segala hal dalam kendali Israel. Perbatasan, listrik, air, dikendalikan Israel.
Orang Palestina membayar pajak dua kali; untuk pemerintah Israel dan untuk pemerintah Palestina. Pajak bukan dikumpulkan pemerintah Palestina, tapi sesuai Perjanjian Oslo, dikumpulkan Israel dan Israel yang akan menyalurkan ke Palestina kapan pun mereka mau.
“Sejak Trump akui Yerusalem, Presiden Palestina bilang kami tidak mau negosiasi lagi dengan pemerintah radikal di Israel. Israel bilang semua duit pajak tidak dikasih untuk pemerintah Palestina sampai dua tahun. Dua tahun pegawai pemerintah tidak dapat gaji,” jelasnya.
Gaji baru dibayarkan beberapa bulan lalu setelah ada perintah dari Presiden AS Joe Biden, yang menjadi sekutu dekat Israel.
“Jadi kami tidak ada masalah berdasarkan agama tapi saya ada masalah dengan siapapun mau Islam, Kristen, Yahudi, yang datang ke rumah saya dan dia usir saya dan dia bilang ini tanah perjanjian sama Tuhan 3000 tahun yang lalu, siapa yang mau terima ini? Tidak ada.”
Murad juga mengatakan, di bawah penjajahan Israel, hampir sepertiga rakyat Palestina pernah masuk penjara Israel.
Dia mengisahkan pengalamannya saat baru datang ke Indonesia pada 2009 lalu. Waktu itu dia pergi ke Bandung. Perjalanan Jakarta-Bandung selama tiga jam menggunakan mobil lancar tanpa hambatan, tanpa ada pemberhentian atau pemeriksaan.
“Saya waktu itu senangnya luar biasa karena tiga jam dari Jakarta ke Bandung tidak ada yang berhentikan saya. Karena kebiasaan itu di Tepi Barat setiap 20 menit ada pos pemeriksaan. Pos pemeriksaan mereka tidak cek sesuatu, untuk membuat hidup susah, itu saja. Untuk memprovokasi. Jadi kalau ada reaksi, ada dua kemungkinan, masuk penjara atau ditembak, that’s it,” jelasnya.
“Jadi tidak bisa kalau ada orang bilang perdamaian, itu tidak masuk akal karena tidak bisa, ini negara ingin menguasai semua, secara negatif, bukan secara positif,” pungkasnya.
(mdk/pan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Militer Israel telah mengumumkan akan evakuasi paksa sekitar 100.000 orang dari bagian timur Rafah.
Baca SelengkapnyaSejarah Nakba, Ketika Orang Palestina Terusir dari Tanah Airnya dan Dimulainya Penjajahan Israel
Baca SelengkapnyaSetelah menyatakan Rafah adalah zona aman untuk warga sipil, Israel mengancam akan menyerang daerah tersebut yang kini menampung 1.5 juta warga Palestina.
Baca SelengkapnyaTentara penjajah Israel juga menculik para pria dan anak laki-laki Palestina di Gaza utara.
Baca SelengkapnyaIsrael juga mengancam akan membuat warga Gaza utara kelaparan jika mereka tak mau meninggalkan rumah mereka.
Baca SelengkapnyaBukan hanya membunuh warga Palestina di Tepi Barat & Yerusalem Timur, Israel juga rampas tanah besar-besaran sepanjang 2024.
Baca SelengkapnyaGreater Israel atau Israel Raya adalah istilah yang memiliki makna sejarah dan politik, yang sering kali dikaitkan dengan Rencana Zionis untuk Timur Tengah.
Baca SelengkapnyaJutaan warga Palestina di Gaza terjebak di Rafah, satu-satunya tempat yang sebelumnya disebut "koridor aman".
Baca SelengkapnyaMenteri Keuangan Israel secara terbuka mengonfirmasi Israel memiliki rencana untuk mencaplok Tepi Barat.
Baca SelengkapnyaSebuah Permukiman Yahudi di Kibbutz Kfar Aza mengalami kerusakan yang parah. Korban tewas terlihat bergempangan di lokasi.
Baca SelengkapnyaAnak-anak dan pengungsi Palestina yang kehilangan tempat aman terpaksa bertahan hidup di Stadion Yarmouk, arena sepakbola tertua dan terbesar di Jalur Gaza.
Baca SelengkapnyaDokumen yang dikeluarkan pada 13 Oktober ini menjelaskan tiga alternatif untuk masa depan Palestina di Gaza .
Baca Selengkapnya