Pria Korea Selatan Meninggal Setelah Ditolak 10 Rumah Sakit, Ternyata Begini Kasusnya
Seorang pasien pria di Korea Selatan meninggal setelah ditolak oleh 10 rumah sakit.
Pemerintah Korea Selatan hari ini mengatakan seorang pria berusia 50-an tahun belum lama ini meninggal karena terlambat mendapat perawatan medis. Kasus ini adalah rangkaian dari masalah pasien-pasien yang ditolak sejumlah rumah sakit lantaran kekurangan tenaga medis akibat aksi mogok kerja.
Dilansir the Straits Times, Kamis (17/10), menurut Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan, petugas gawat darurat di Provinsi Gyeongsang Selatan menerima laporan sekitar pukul 03.28 pada 6 September yang menyebut seorang pria yang tinggal di Yeoncho-myeon di Kota Geoje mengalami sakit perut dan muntah-muntah. Sehari sebelumnya dia mendatangi instalasi gawat darurat terdekat dan sudah diperiksa dokter yang mengatakan dia tidak mengalami masalah serius.
Pria itu dalam keadaan sadar saat dijemput oleh petugas medis darurat, yang meminta pasien dirawat di 10 rumah sakit berbeda di kota-kota besar terdekat, yaitu Changwon, Jinju, dan Busan. Mereka semua menolak untuk merawat pasien tersebut.
Bahkan setelah dia dibawa ke sebuah rumah sakit di Geoje pada pukul 04.46, pihak rumah sakit tidak bisa mengoperasinya karena keterbatasan tenaga medis. Dia akhirnya dirawat di sebuah rumah sakit di Busan pada pukul 08.53 tapi dia tidak juga pulih dan meninggal dua hari kemudian.
Aksi mogok
Kementerian Kesehatan mengatakan pihaknya akan meminta pemerintah daerah menyelidiki kasus ini, termasuk kondisi fisik si pasien. tindakan yang diambil oleh masing-masing institusi medis, dan proses pemilihan rumah sakit serta pemindahan pasien ke sana.
Kementerian mengatakan akan mempertimbangkan untuk melakukan penyelidikan sendiri jika diperlukan, dan berjanji untuk mengambil tindakan yang tepat jika penyelidikan tersebut menemukan masalah.
Rumah sakit di Korea Selatan mengalami kekurangan staf medis akibat protes dan aksi mogok kerja dokter selama berbulan-bulan di seluruh negeri sebagai protes terhadap rencana pemerintah untuk meningkatkan jumlah penerimaan pasien di sekolah kedokteran.
Situasi ini telah memicu beberapa kasus keterlambatan penanganan pasien gawat darurat, yang mengakibatkan beberapa kematian dan memburuknya kondisi pasien.