Relawan Medis Asal Indonesia Pilih Tetap Tinggal di Gaza, Alasannya Bikin Haru
Relawan medis asal Indonesia ini bertugas di Rumah Sakit Indonesia, Jalur Gaza, Palestina.
Relawan ini bertugas di Rumah Sakit Indonesia yang ada di Jalur Gaza, Palestina.
Relawan Medis Asal Indonesia Pilih Tetap Tinggal di Gaza, Alasannya Bikin Haru
Musim stroberi yang seharusnya tiba di Jalur Gaza saat ini tergantikan medan pertempuran. Ladang yang biasanya dipenuhi stroberi pada September dan panen mulai November kini menjadi saksi kehancuran akibat serangan Israel di wilayah tersebut.Beit Lahia yang terletak di Gaza utara, terkenal sebagai salah satu daerah paling subur untuk stroberi Palestina. Lahan dengan iklim yang baik, tanah yang subur, dan pasokan air berkualitas tinggi ini, kini menjadi tempat Rumah Sakit Indonesia berdiri. Fikri Rofiul Haq, seorang relawan medis Indonesia dari Komite Penyelamatan Darurat Medis (MER-C), bertugas di rumah sakit tersebut.
Sumber: Al Jazeera
"Pasukan Israel telah membombardir ladang di seluruh Jalur Gaza, dan banyak tanaman mati," ungkap Fikri, seperti dilansir Al Jazeera.
“Tahun ini, tidak akan ada produk biasa seperti stroberi, meskipun ini adalah musim dingin,” sambungnya.
Dalam situasi perang di Gaza, kehancuran panen stroberi mungkin terasa sepele, tetapi bagi Fikri, kenangan akan stroberi membantunya bertahan. Setiap harinya kini merupakan perjuangan bertahan hidup di tengah serangan Israel yang terpusat di sekitar rumah sakit.
"Di awal perang, kami masih bisa mendapatkan beberapa barang dari sekitar rumah sakit, seperti sayuran dan mie instan. Namun, sekarang tidak mungkin untuk mendapatkan produk segar seperti bawang, tomat, dan mentimun," paparnya kepada Al Jazeera melalui pesan suara WhatsApp.
“Di Rumah Sakit Indonesia sekarang, staf medis hanya mendapatkan makan sekali sehari saat makan siang, yang disediakan oleh Rumah Sakit Al-Shifa. Untuk sarapan dan makan malam, staf medis hanya makan biskuit atau kurma."
Kondisi di Rumah Sakit Indonesia dan Al-Shifa, serta rumah sakit lain di Gaza, semakin memburuk. Mereka kekurangan pasokan obat, tidak ada listrik, dan tidak ada pasokan bahan bakar.
Foto: RS Indonesia di Gaza (Courtesy of MER-C)
Fikri mengatakan, sebelum perang, pasokan makanan untuk Rumah Sakit Indonesia biasanya berasal dari daerah sekitarnya. Pada awal blokade total Israel dan serangannya terhadap Gaza, relawan MER-C pergi berburu persediaan ambulans yang disediakan oleh rumah sakit, yang dianggap lebih aman daripada kendaraan sipil. Namun, sekarang pertempuran begitu dekat dengan rumah sakit, sehingga terlalu berbahaya untuk menjelajah keluar.
Fikri mengungkapkan dia merasa sangat terguncang akhir-akhir ini, setelah perjalanan mencari pasokan medis untuk rumah sakit dari rumah-rumah sipil di sekitar distrik Al-Jalaa dua pekan lalu. Dia berpikir bakal mati. Perjalanan itu hampir berakhir tragis ketika bom Israel mulai jatuh hanya 200 meter dari mereka. Padahal hanya sekitar 20 menit sebelumnya dia dan relawan lain dari Indonesia berada di lokasi itu.
"Saat itu saya merasa sangat takut dan pasrah dengan nasib saya, karena kami berada di bangunan milik warga setempat, dan seperti yang kita tahu, militer Israel menghancurkan rumah-rumah sipil. Tidak ada jaminan keselamatan bagi kami. Itu membuat saya merasa takut yang luar biasa, tetapi berkat rahmat Tuhan, kami selamat," ceritanya.
Dari misi berbahaya itu, Fikri akhirnya menemukan beberapa persediaan medis untuk rumah sakit dan membagikan paket makanan kepada staf medis. Namun, sejak insiden itu, dia dan relawan lainnya tetap berada di dalam rumah sakit, dimana mereka tidur di ruang dokter.
"Trauma yang kami alami begitu besar, tapi kami merasa aman tinggal di halaman di rumah sakit karena militer Israel belum menyerangnya secara langsung," ujarnya.
Foto: Fikri (kiri) bersama dua relawan lainnya
Sumber foto: Courtesy of MER-C (Restricted Use)
“Daerah di sekitar rumah sakit dibombardir terus-menerus dan ketika itu terjadi, saya merasakan ketakutan yang sangat manusiawi,” lanjutnya.
Dalam sepekan terakhir, area sekitar Rumah Sakit Indonesia dan rumah sakit lain di Jalur Gaza terus menjadi sasaran pengeboman Israel yang semakin intensif. Tank-tank Israel mendekat, mengepung fasilitas medis di mana puluhan ribu pengungsi Palestina mencari perlindungan. Lebih dari 11.000 orang kini tewas di Gaza.
Fikri melaporkan serangan udara Israel begitu dekat sehingga membuat bangunan rumah sakit bergetar dan bagian dari atapnya sudah runtuh.
"Biasanya, ketika ada pengeboman, bangunan rumah sakit bergetar. Tetapi, pada 9 November, rasanya seolah-olah rumah sakit terangkat dari pondasinya,” katanya.
“Itu hanya membuat kami ketakutan.”
Fikri mengatakan ketika pengeboman dimulai, ia dan staf lainnya berlindung di ruang bawah tanah rumah sakit. Jadwal kerja harian mereka tak menentu, sesuai dengan kebutuhan signifikan staf dan pasien.
“Beberapa hari saya bekerja dari jam 11 pagi sampai jam empat sore keesokan harinya dan hanya tidur beberapa jam di manapun saya bisa. Bahkan, suatu hari saya tidur dari jam tujuh pagi sampai jam delapan pagi dan kemudian mulai lagi,” ujarnya.
Pada tahun 2011, MER-C mengorganisir donasi untuk membangun Rumah Sakit Indonesia, yang kemudian diresmikan pada tahun 2016 oleh Wakil Presiden Republik Indonesia saat itu, Jusuf Kalla.
Staf MER-C secara teknis sebenarnya adalah relawan kemanusiaan medis. Sekarang, salah satu peran utama mereka adalah mendokumentasikan orang sakit dan terluka yang datang ke rumah sakit dan memantau serangan di sekitar fasilitas medis. Fikri dan rekan-rekannya juga membantu perawatan medis, terutama karena situasinya terus memburuk dan dokter di rumah sakit dibanjiri pasien yang terus berdatangan dari daerah sekitarnya.
“Pada Rabu pekan lalu, ketika pasien dilarikan ke rumah sakit, kami membantu mengobati luka ringan karena tidak ada cukup dokter untuk menangani semua pasien,” katanya.
Walaupun pemerintah Indonesia berupaya mengevakuasi beberapa WNI di Gaza, Fikri mengatakan dia akan tetap tinggal di sana, termasuk rekannya yang lain.
"Insyaallah saya dan dua relawan MER-C lainnya memutuskan untuk tinggal di Jalur Gaza. Kami sangat menghargai Kementerian Luar Negeri Indonesia yang membantu mengevakuasi WNI dari Gaza, tetapi itu adalah keputusan kami,” ujarnya.
“Kami berharap kami bisa terus membantu warga Gaza untuk menemukan bahan bakar, makanan dan obat-obatan, dan merawat mereka di Rumah Sakit Indonesia. Itulah motivasi kami untuk terus maju,” pungkasnya.
Sayangnya, Al Jazeera tidak dapat menghubungi Fikri sejak Jumat dini hari pekan lalu.