Riset: Hoaks menyebar lebih cepat dari berita asli, manusia penyebabnya
Merdeka.com - Penelitian ilmiah menyebutkan berita hoaks menyebar lebih jauh, lebih cepat dan lebih banyak dibanding berita yang benar. Hal ini terjadi bukan karena mesin atau bot, justru perilaku manusia jadi penyebabnya.
Para peneliti Media Lab dari Massachuets Institute of Technology memeriksa kurang lebih 126 ribu cerita yang dibagikan tiga jutaan orang di Twitter sejak 2006-2017. Hasilnya, 70 persen berita palsu atau hoaks lebih mungkin untuk di-retweet dibandingkan berita yang benar.
Dilansir Reuters, Minggu (11/3), berdasarkan hasil studi itu penyebaran hoaks lebih cepat dan luas di Twitter dibandingkan berita yang benar. Berita hoaks bahkan menyebar enam kali lebih cepat.
-
Siapa yang menyebarkan informasi hoaks itu? Yayuk memastikan akun Instagram bernama BP2MI dengan centang hijau yang menyebarkan informasi tersebut bukan akun resmi milik BP2MI.
-
Siapa yang menyebarkan hoaks ini? 'Berita yang menyebar itu adalah hoaks yang sengaja dihembuskan oleh OPM dan simpatisannya. Justru saat ini aparat TNI dari Yonif 527 membantu melaksanakan pengamanan RSUD Madi Paniai karena adanya pengaduan dari masyarakat bahwa gerombolan OPM akan membakar RSUD tersebut,' katanya dalam keterangan tertulisnya, Minggu (26/5).
-
Siapa yang membuat berita hoaks? Menurut NewsGuard, situs-situs ini mengklaim diri mereka sebagai sumber berita lokal yang independen, namun tidak mengungkapkan afiliasi partisan atau asing mereka.
-
Siapa yang menyebarkan fitnahan AI ke publik? Salah satu rekan kerja yang menerima surel kemudian mengirimkan audio tersebut kepada media berita, sebuah organisasi hak sipil antarras, hingga kepada salah seorang siswa yang menyebarkan audio tersebut secara luas.
-
Kenapa banyak berita hoaks di AS? Jumlah tersebut berbanding 1.213 surat kabar harian yang beroperasi di seluruh AS, demikian menurut laporan tahun 2023 dari Universitas Northwestern.
-
Siapa yang menyebarkan klaim ini? Video tersebut diunggah oleh akun Youtube bernama @AKTUAL pada Selasa (25/6) lau, dan telah ditonton hingga lebih dari 1000 kali.
Semua cerita yang diteliti dalam studi tersebut ditinjau oleh enam organisasi pengecekan fakta independen, termasuk Snopes dan Politifact, untuk menilai kebenarannya.
Berita politik palsu lebih banyak muncul dibandingkan tentang terorisme, bencana alam, sains, legenda urban atau informasi keuangan. Para peneliti menekankan, terjadi peningkatan penyebaran berita politik palsu selama Pilpres AS 2012 dan 2016.
Pimpinan penelitian, Soroush Vosoughi, mengatakan orang-orang lebih cenderung membagikan hoaks karena beritanya dinilai lebih mengejutkan. Hal ini sama seperti menggunakan headline 'click bait' yang sensasional untuk menarik lebih banyak perhatian.
"Alasan hoaks lebih mengejutkan adalah beritanya bertentangan dengan ekspektasi orang-orang," kata Vosoughi.
Twitter memang menjadi fokus dalam penelitian ini, tapi para peneliti berpendapat penemuan mereka kemungkinan besar juga berlaku pada platform media sosial yang lain termasuk Facebook.
Kenapa orang terdorong membagikan hoaks?
Tim juga menemukan fakta perilaku manusia yang ingin selalu menjadi orang pertama menyebarkan sebuah kabar berita, menjadi salah satu penyebab derasnya hoaks.
"Mengejutkan bagaimana manusia lah yang bertanggung jawab. Kita tak bisa menyalahkan robot," kata Profesor Sinan Aral dari MIT Sloan School of Management.
"Orang-orang yang pertama kali membagikan sesuatu dianggap memiliki pengetahuan," lanjutnya.
Para peneliti menemukan bahwa berita palsu memicu perasaan terkejut dan jijik yang lebih besar. Di sisi lain, berita asli menghasilkan ungkapan kesedihan, antisipasi, dan kepercayaan.
Seringkali berita hoaks juga lebih dramatis daripada berita sungguhan. Orang-orang menyukai kisah yang menggugah perasaan mereka. Mereka akan menyebarkannya seketika.
"Ditambah lagi, orang-orang juga punya kecenderungan untuk membagikan berita yang mengiyakan atau sejalan dengan pemikiran mereka," kata Aral.
Para peneliti menyebut untuk mengatasi hoaks ini tak cuma membutuhkan perubahan perilaku manusia. Tapi harus ada kontrol ketat dari media sosial besar seperti Facebook, Twitter, Google dan Youtube.
(mdk/ian)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Menyiapkan diri, bangsa, dan negara memanfaatkan AI dan menanggulangi dampak buruknya bukan lagi suatu pilihan, namun menjadi keharusan.
Baca SelengkapnyaPakar Siber AS Ungkap Bahaya AI, Warga Bisa Ditelepon dengan Suara Presiden
Baca SelengkapnyaMenurut Bery, hoaks menggunakan kecerdasan buatan memang sudah cukup meresahkan.
Baca SelengkapnyaDalam potongan klip tersebut terdapat dua orang laki-laki yang tengah mengobrol
Baca SelengkapnyaTeknologi Artificial Intelligence (AI) semakin berkembang, ada dua pertanyaan besar. Membahayakan atau menguntungkan?
Baca SelengkapnyaNarasi yang beredar dalam unggahan video yang berbunyi “KEMUSNAHAN RAS MANUSIA sudah dekat..!! 4 ROBOT MENEMBAK 29 ILMUWAN DI JEPANG”
Baca SelengkapnyaLangkah hukum akan diterapkan Kominfo apabila ditemukan kasus hoaks yang memiliki intensitas berat dan berpotensi memecah belah bangsa.
Baca SelengkapnyaMemiliki pendidikan lebih baik dan kepintaran tidak membuat seseorang dijamin kebal dari penipuan. Kenali mengapa mereka tetap rentan menjadi korban tipuan ini:
Baca SelengkapnyaBenarkah Iwan Fals nyanyi soal korupsi Rp271 triliun? Simak faktanya
Baca SelengkapnyaBerita hoaks didominasi oleh isu kesehatan, pemerintahan, penipuan dan politik di luar pada isu-isu lain
Baca SelengkapnyaSebuah robot berbasis AI bernama Sophia betul-betul bikin geger. Apa penyebabnya?
Baca SelengkapnyaViral hoaks rekaman omongan antara Anies dengan Surya Paloh.
Baca Selengkapnya