Bung Hatta Sindir Sukarno: Bukan Persatuan tapi Persatean
Merdeka.com - Hatta mengkritik persatuan model Sukarno. Kritik keras itu dilayangkan melalui tulisan dengan tajuk "Persatuan Ditjari, Per-sate-an Jang Ada"
Siapa yang tidak kenal dengan julukan 'Dwitunggal'. Julukan yang melekat pada dua sekawan bapak proklamator, Sukarno dan Mohammad Hatta. Dwitunggal diartikan dua yang menjadi satu.
Keduanya tidak terpisahkan dalam memperjuangkan kemerdekaan republik. Bahkan, ketika Indonesia telah mencapai kemerdekaannya, Bung Karno dan Bung Hatta yang pertama kali menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
-
Apa yang menjadi inti kritik Kolonel Ahmad Husein terhadap pemerintah Soekarno? Pria yang lahir di Padang, Sumatra Barat pada 1 April 1925 ini banyak mengkritik pemerintah pusat di Jakarta terkait kebijakan yang merugikan daerah.
-
Siapa yang mengkritik Kartika Putri? Kartika dan Habib Usman langsung mendapat kritik pedas dari netizen yang menyatakan mereka terlalu banyak mengeluarkan komentar tidak pantas saat sedang beribadah.
-
Apa isi laporan Atta Halilintar? Kepolisian menerima laporan dari YouTuber Atta Halilintar terkait berita bohong (hoaks) perceraian dan nikah siri dengan YouTuber Ria Ricis atau inisial RR pada Rabu (4/9) malam.
-
Siapa yang mengkritik pernyataan Kartika Putri? Pernyataan kontroversialnya tentang mengaji menyebabkan dia menjadi sasaran cibiran netizen.
-
Kenapa Presiden Soeharto mengeluarkan pernyataan kontroversial di Pekanbaru? Pidato Kontroversi Sebuah pernyataan yang disampaikan Presiden Soeharto di Pekanbaru, Riau itu bukanlah pernyataan satu-satunya. Namun, Ia kembali mengulang pernyataan tersebut pada saat peringatan Hari Jadi Kopassus.Lantas, pernyataan tersebut membuat banyak pihak yang merasa kecewa dan mengundang kritik serta cemooh dari kaum intelektual maupun tokoh militer saat itu.
-
Mengapa Mr. Assaat menentang Soekarno? Ketika Soekarno menjalankan sistem Demokrasi Terpimpin, Mr. Asaat menjadi salah satu tokoh yang menentangnya. Meski tetap menghormatinya, Assaat hanya menentang cara berpolitik Soekarno yang cenderung ke sayap kiri atau PKI.
Kendati demikian, bukan berarti keduanya tidak memiliki perbedaan yang berujung perpecahan. Keduanya memiliki perbedaan latar belakang. Menurut sejarawan Ong Hok Ham, keduanya memiliki perbedaan karena dibentuk oleh pengalaman yang berbeda.
Tidak seperti Hatta yang berkaliber di luar negeri dan dikelilingi kelompok intelektual dalam Perhimpunan Indonesia, Bung Karno cenderung melakukan perjuangannya sendiri.
Pertama Kali Berbeda
Perbedaan keduanya mulai muncul pada periode 1920-an. Setidaknya begitu yang diungkapkan Marvis Rose dalam buku Indonesia Merdeka: Biografi Mohammad Hatta.
Bung Karno dan kelompok Perhimpunan Indonesia kerap kali berseberangan. Sukarno lebih suka dengan cara-cara penggalangan kekuatan massa. Sementara Hatta dan Sjahrir percaya pendidikan dan kaderisasi lebih penting dikembangkan.
Dalam buku Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman, dijelaskan bagaimana sejarawan Ingleson mengamati perbedaan keduanya dalam memandang persatuan. Bung Karno lebih percaya bahwa pertengkaran partai-partai harus dihindari. Sedangkan Hatta meyakini partai-partai nasionalis akan semakin kuat dengan cara bersaing ide dan program.
Menurut Hatta, yang diperlukan bukanlah persatuan organisasi yang dikehendaki Sukarno. Melainkan persatuan seluruh kelompok nasionalis dalam tekad memperjuangkan kemerdekaan atas Belanda. Melalui tulisannya dalam harian Daulat Ra’jat, Hatta mengkritik persatuan model Sukarno.
Tulisan itu bertajuk 'Persatuan Ditjari, Per-sate-an Jang Ada'.
"Apa yang dikatakan persatuan sebenarnya tak lain dari per-sate-an. Daging kerbau, daging sapi, dan daging kambing disate jadi satu. Persatuan segala golongan ini sama artinya dengan mengorbankan asas masing-masing," tegas Hatta dalam harian Daulat Ra’jat 1932.
Dwitunggal jadi Dwitanggal
Dwitunggal terlihat 'Tanggal'. Bung Hatta mengesahkan Maklumat No. X tahun 1945. Maklumat tersebut berisi tentang sistem multipartai dan demokrasi parlementer yang akan diterapkan di Indonesia pasca kemerdekaan. Hal ini lantas ditolak oleh Bung Karno.
Pada periode 1950-an, perkelahian antar partai menjadi semakin liar. Bung Karno mengeluarkan sebuah pernyataan secara terbuka. "Terima kasih, Tuhan, bukan Sukarno yang menandatangani dekrit itu."
Puncaknya ketika Bung Karno mencanangkan konsep Demokrasi Terpimpin. "Marilah sekarang kita kubur semua partai," kata Bung Karno.
Hatta menanggapi pernyataan Bung Karno. Dalam tulisan Demokrasi Kita, Hatta mengecam yang dicanangkan Bung Karno. Menurutnya, bentuk itu tidak lain merupakan sebuah kediktatoran.
Bung Hatta Mundur
Perpecahan tidak terelakkan, Dwitunggal menjadi 'dwitanggal'. Begitu kata wartawan Mochtar Loebis. Tepat pada 20 Juli 1956, Hatta melayangkan sepucuk surat kepada DPR. Dia menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Presiden.
Tidak lagi aktif dalam pemerintahan, Hatta kerap kali mengkritik pemerintahan Bung Karno dalam harian Pikiran Rakjat. Tidak tahan dengan kritikan yang tajam itu, Bung Karno lantas membredel harian Pikiran Rakjat. Bahkan, dia juga membredel Majalah Islam Pandji Masyarakat yang memuat tulisan Hatta mengenai Demokrasi kita.
Meskipun keduanya berbeda secara gagasan dan pandangan. Namun, keduanya tetap aktif berhubungan dengan saling berkirim surat. Pertentangan merupakan hal yang wajar dalam kehidupan politik tetapi keduanya lekat seperti saudara kandung hingga akhir hayat menjemput Bung Karno pada tahun 1970.
Reporter Magang: Muhammad Rigan Agus Setiawan (mdk/noe)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Hasto juga mengaku ditertawai oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Baca SelengkapnyaPDI Perjuangan menjadikan Sekolah Partai sebagai tempat belajar menciptakan hukum.
Baca SelengkapnyaSekjen PDIP Hasto Kristiyanto menanggapi pernyataan capres nomor urut dua Prabowo Subianto yang meminta untuk menghargai
Baca SelengkapnyaPatung Bung Karno berdiri di gerbang Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Yetetkun Boven Digoel. Keberadaannya dipertanyakan keluarga Bung Hatta.
Baca SelengkapnyaMenurut Hasto, pengungkapan tragedi Kudatuli diharapkan mampu menghilangkan kekuasaan yang menindas.
Baca SelengkapnyaPetisi dilakukan karena pidato Soeharto dianggap kontroversial.
Baca SelengkapnyaHashim Djojohadikusumo muak dengan kritik isu dinasti politik kepada Jokowi.
Baca SelengkapnyaSejumlah tokoh militer senior dan sipil kecewa. Mereka mempertanyakan sikap Soeharto yang menyeret ABRI sebagai alat kekuasaan.
Baca SelengkapnyaHasto juga menyinggung bagaimana di Rangkasbitung ada sosok petani yang berani melawan kolonialisme Belanda.
Baca Selengkapnya