Petisi 50 Simbol Perlawanan Intelektual pada Gaya Otoriter Soeharto
Petisi dilakukan karena pidato Soeharto dianggap kontroversial.
Presiden Soeharto menyampaikan dua pidato kontroversial saat peringatan hari jadi Kopassus. Tepatnya, terajdi pada 27 Maret 1980 di Pekanbaru dan 16 April 1980 di Cijantung, Jakarta.
Dalam pidato-pidato tersebut, Soeharto menyamakan kritik terhadap pemerintah dengan kritik terhadap Pancasila. Karena ia mencitrakan dirinya sebagai perwujudan Pancasila.
Akibatnya, setiap kritik yang diarahkan kepadanya dianggap sebagai tindakan anti-Pancasila. Sikap ini dinilai sebagai penyalahgunaan Pancasila untuk mengancam lawan-lawan politiknya.
Para tokoh terkemuka Indonesia merasa prihatin dengan sikap keotoriteran Soeharto. Alhasil, sejumlah tokoh nasional membuat petisi terhadap Soeharto.
Petisi ini ditandatangani oleh 50 tokoh nasional. Di antaranya adalah S.K. Trimurti, A.H. Nasution, Mohammad Natsir, Ali Sadikin, M. Jasin, dan Burhanuddin Harahap.
Oleh karena itu, petisi ini dikenal dengan nama ‘Petisi 50’.Pada 13 Mei 1980, Petisi 50 secara resmi menyerahkan dokumen pernyataan keprihatinan mereka ke parlemen, yang diterima oleh Fraksi ABRI di DPR.
Pemerintah Soeharto Berang
Tindakan ini memicu reaksi keras dari pemerintah dan Soeharto.Soeharto secara terbuka menyatakan ketidaksukaannya terhadap tindakan para tokoh Petisi 50, seperti yang tercantum dalam otobiografinya, *Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan, Saya*: “Apa yang dilakukan oleh mereka yang menamakan dirinya 'Petisi 50' itu, tidak saya sukai... lebih-lebih kalau melihat bahwa mereka adalah juga yang menyebut dirinya pejuang."
Sebagai respons, pemerintah mulai memboikot para tokoh Petisi 50. Mereka diawasi secara ketat, hak-hak sipil mereka dibatasi, dan beberapa di antaranya dicekal untuk bepergian ke luar negeri.
Salah satu contoh adalah S.K. Trimurti, yang dicekal ketika hendak mengunjungi anaknya yang sedang menempuh studi di Amerika Serikat. Mohammad Natsir juga menjadi salah satu tokoh yang mengalami pencekalan.
Soeharto menggambarkan para tokoh Petisi 50 dengan peribahasa Jawa, "rumangsa bisa nanging ora bisa rumangsa," yang berarti merasa paling benar namun tidak memiliki kesadaran diri.
Ia juga menekankan bahwa perbedaan pendapat tidak boleh menjadi alasan untuk terus berusaha menjatuhkan pemerintah, seperti yang ia ungkapkan dalam otobiografinya: "Janganlah ngotot karena perbedaan pendapat, lalu kasak-kusuk hendak menjatuhkan pemerintah.”
Petisi 50 pada akhirnya tidak berhasil mencapai tujuannya karena kuatnya cengkeraman rezim Soeharto. Namun petisi ini tetap menjadi simbol perlawanan intelektual terhadap otoritarianisme Soeharto.
Reporter Magang: Yulisha Kirani