Kegetiran Masyarakat Jawa Barat di Era Gerombolan DI/TII Merajalela
Merdeka.com - Kisah orang-orang Sunda ketika perang saudara berkecamuk di kampung halaman mereka.
Penulis: Hendi Jo
Usai Perang Kemerdekaan (1945-1949), orang-orang Jawa Barat masih harus terlibat dalam perang saudara yang melibatkan pemerintah Republik Indonesia (RI) yang dipimpin Presiden Sukarno melawan kubu Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang diimami oleh S.M. Kartosoewirjo. Konflik yang panjang itu (1949-1962) itu menimbulkan korban yang cukup banyak.
-
Kenapa terjadi perang saudara? Perang saudara pecah setelah pembelahan kerajaan oleh Airlangga. Persaingan kedua putranya tidak berakhir setelah masing-masing menjadi raja. Mereka justru saling serang.
-
Kenapa orang Sunda pindah ke Kalimantan? Mereka tinggal di Kalimantan Barat sesuai keinginannya dan bukan program transmigrasi yang digalakkan oleh pemerintah.
-
Bagaimana cara orang Sunda berbaur dengan warga lokal? Kini warganya telah hidup berbaur dengan masyarakat setempat, dan meneruskan keturunannya.
-
Bagaimana cara orang Sunda mengungkapkan perasaan peurih hate? Cara untuk mengatasinya dengan membaca kutipan bijak dalam Bahasa Sunda tentang patah hati. Dengan begitu, orang-orang di sekitar kalian tahu dan turut membantu masalah yang sedang kalian hadapi.
-
Dimana pertempuran terjadi? Pertempuran demi pertempuran pun bergejolak di mana-mana. Tentara Indonesia yang sebagian besar terdiri dari orang pribumi ini berjuang keras demi mempertahankan kemerdekaan dan tanah kelahiran mereka. Salah satu peristiwa penting yang tak lekang oleh waktu adalah Pertempuran Lima Hari Lima Malam yang terjadi di Kota Palembang, Sumatra Selatan.
"Jumlah korban tewas hingga Agustus 1962, secara resmi disebut mencapai angka 22.895 orang," ungkap Holk H. Dengel dalam Darul Islam dan Kartosuwirjo: Angan-Angan yang Gagal.
Saat ini masih banyak rakyat Jawa Barat yang merekam pengalaman pahit tersebut dalam benak mereka. Salah satunya adalah Tjutju Soendoesiyah (76), penduduk Cianjur. Masih segar dalam ingatannya, bagaimana hari-hari itu kepulan asap selalu terlihat di desa-desa yang berada dekat kaki Gunung Gemuruh dan Gunung Gede.
"Kata orang-orang tua, desa-desa itu dibakar gorombolan (sebutan orang Jawa Barat kepada gerilyawan DI/TII) karena dianggap tidak mau ikut mereka," kenang nenek dari enam cucu tersebut.
'Kami Kehilangan Orang Disayangi'
Suatu hari di tahun 1956, rumah Tjutju di Salagedang kedatangan paman-nya yang bernama Sersan Mayor Ombi. Selain temu kangen (setelah banyak bertugas ke luar daerah), Ombi yang merupakan prajurit Siliwangi juga bermaksud memberitahu sang kakak (ibunya Tjutju) bahwa dirinya mulai hari itu ditugaskan di Bingawatie.
Bingawatie adalah sebuah nama tempat yang terletak di Kampung Cangklek, Kabupaten Cianjur. Di sana didirikan sebuah pos militer untuk menghadang pergerakan gerilyawan DI/TII dari arah Gunung Gemuruh dan Gunung Gede ke kota Cianjur.
"Ya kalau dari rumah saya, jaraknya ada sekitar 7 km," ungkap Tjutju.
Belum seminggu bersulaturahmi ke kakaknya, Ombi dikabarkan gugur karena pos-nya di Bingawatie suatu malam diserang lalu dibakar oleh gorombolan. Tak ada yang tersisa. Bangunan pos dan para penghuninya nyaris menjadi menjadi abu.
"Jasad Mang Ombi sendiri ditemukan sudah merengkel (mengerut), besarnya menjadi seperti bayi yang baru dilahirkan," kenang Tjutju.
Tak lama setelah kehilangan sang paman, Tjutju mendengar kabar sedih kembali. Kali ini dari selatan Cianjur. Diberitakan uwak-nya yang bernama Tantan tewas disembelih oleh gorombolan saat mereka menjarah kampungnya.
"Waktu zaman gorombolan, hampir tiap waktu kita selalu kehilangan orang-orang yang kita sayangi dan kita kenal sangat akrab. Saat itu pertempuran banyak terjadi, korban pun banyak berjatuhan. Situasi pokoknya sangat kacau," ujar Tjutju.
'Tangan Kiri Saya Dipotong'
Lain dengan Tjutju yang tidak mengalami secara langsung kesadisan para gerilyawan DI/TII, Kasa bin Sukadma (78) malah mengalami sendiri situasi pahit tersebut.
"Saya harus kehilangan tangan kiri saya yang diteukteuk (dipotong) oleh salah seorang gorombolan yang menyerang kampung saya," kenang warga Desa Parentas, Kecamatan Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya itu.
Ceritanya, pada 17 Agustus 1961 tepat jam 12 malam, ratusan gerilyawan DI/TII menyerang desanya. Penyerangan itu sejatinya menyasar suatu pos tentara di desa tersebut namun tak ayal mengorbankan juga banyak warga desa. Kasa saat itu bersembunyi di tengah sawah yang siap panen. Namun dasar sial, dia ditemukan oleh 6 gerilyawan DI/TII yang memeriksa setiap kotak sawah secara teliti.
"Mereka langsung membacok saya dengan golok panjangnya dan kena ke tangan kiri saya hingga putus. Nyawa saya selamat karena begitu tangan saya putus langsung pingsan dan dianggap sudah mati," ujar lelaki yang saat ini berprofesi sebagai petani itu.
Akibat penyerangan itu, 51 warga Parentas tewas seketika. Puluhan orang lainnya luka-luka. Pihak tentara kehilangan tiga prajuritnya. Sementara di pihak gerilyawan DI/TII hanya ditemukan satu orang tewas dengan lubang peluru di kepala.
Kasta sendiri mengalami pendarahan yang sangat banyak dan nyaris nyawanya melayang. Namun untunglah, tim kesehatan tentara dengan cepat membawanya ke Rumah Sakit Garut.
"Alhamdulillah saya masih hidup sampai sekarang, walau salah satu tangan saya buntung, ya tidak apa-apa. Sudah takdir," kata Kasta. (mdk/noe)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
74 tahun berlalu, ini kisah Peristiwa Situjuah yang renggut banyak pejuang Pemerintah Darurat RI.
Baca SelengkapnyaRevolusi Sosial Sumatra Timur kisah kelam pembantaian kesultanan Melayu.
Baca SelengkapnyaKonflik bermula ketika seorang penghuni hotel merampas dan menginjak-injak lencana merah putih yang dipakai oleh pemuda Indonesia.
Baca SelengkapnyaKejadian ini bermula dari dugaan pemalsuan data ahli waris Warga Dago Elos yang bersengketa dengan Keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha.
Baca SelengkapnyaPeristiwa Tanjung Morawa menjadi salah satu tragedi paling berdarah di Indonesia dan runtuhnya Kabinet Wilopo pada saat itu.
Baca SelengkapnyaPerjalanan ini dipenuhi pertumpahan darah dan tangisan air mata.
Baca SelengkapnyaPara jawara berada di bawah komando para ulama dan kiai yang saat itu menjadi sumber kekuatan sosial dan spiritual di Banten.
Baca SelengkapnyaPagi tadi tawuran kembali pecah. Padahal, hari minggu sebelumnya tawuran juga telah terjadi
Baca SelengkapnyaPeristiwa berdarah di Tebing Tinggi, merupakan perjuangan para pemuda melawan penjajah pasca kemerdekaan Indonesia.
Baca SelengkapnyaRicuh saat malam Tahun Baru, warga di Bali bakar tiga sepeda motor Pecalang
Baca SelengkapnyaDalam insiden itu diketahui telah membuat satu orang warga sipil bernama Raden Barus (61) meninggal dunia dan delapan warga lainnya mengalami luka-luka.
Baca SelengkapnyaTotal sebanyak 45 orang prajurit Yonarmed 2/Kilap Sumagan masih terus menjalani pemeriksaan secara maraton.
Baca Selengkapnya