Pemberontakan Tentara PETA di Cileunca: Bermula dari Raibnya Seember Nasi
Merdeka.com - Pemberontakan PETA tak cuma terjadi di Blitar. Tak tahan akan siksaan di kamp pelatihan, para prajurit PETA melancarkan aksi perlawanan terhadap militer Jepang.
Oleh: Hendi Jo
Kerasnya perlakuan para anggota militer Jepang terhadap para anggota PETA (Pembela Tanah Air), bukanlah isapan jempol semata. Situasi tersebut, tak jarang menimbulkan kekesalan dan kemarahan dari para anggota PETA, dan kerap menimbulkan insiden perkelahian.
-
Kapan PETA melakukan perlawanan di Blitar? Diketahui, Kota Blitar memang merupakan tempat pertama kalinya Laskar PETA melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Jepang pada Februari 1945.
-
Kenapa PETA memberontak di Blitar? Faktor-faktor yang memicu pemberontakan ini antara lain ketidakpuasan terhadap kebijakan pendudukan Jepang yang semakin menyulitkan rakyat, serta semangat nasionalisme untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
-
Kapan PETA memberontak di Blitar? Pemberontakan PETA di Blitar terjadi pada 14 Februari 1945.
-
Apa tujuan PETA memberontak di Blitar? Tujuan akhir pemberontakan ini adalah meraih kemerdekaan dari penjajahan, yang pada akhirnya berhasil diraih dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
-
Siapa yang memimpin pemberontakan PETA di Blitar? Pemberontakan PETA di Blitar terjadi pada 14 Februari 1945. Kronologis pemberontakan dimulai ketika pasukan PETA yang dipimpin oleh Letnan Soeprijadi memberontak melawan tentara Jepang yang menduduki Indonesia pada waktu itu.
-
Di mana PETA memberontak? Pemberontakan PETA di Blitar terjadi pada 14 Februari 1945.
Setelah terjadinya pemberontakan para anggota PETA di Blitar, pada Februari 1945, kegundahan akan perlakuan militer Jepang juga terjadi pada anggota PETA yang sedang ditugaskan di Cileunca (masuk dalam wilayah Pangalengan), Jawa Barat. Perlakuan diskriminatif yang terus menerus dan sanksi hukuman yang melewati batas kemanusiaan menjadi penyebab munculnya bibit-bibit pemberontakan.
Demikian menurut Purbo S. Suwondo dalam buku PETA: Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawad dan Sumatera 1942-1945.
Kemarahan itu mencapai puncaknya pada saat memasuki bulan Juni 1945. Berawal dari kejadian raibnya seember nasi dan sekaleng sayuran dari dapur pasukan, pimpinan satuan PETA di Cileunca yakni Sidokan Yamamoto menghukum para prajurit PETA yang mendapat giliran piket malam itu dengan sebuah hukuman yang kejam: seiza.
Menurut David Jenkins dalam Soeharto and The Japanese Ocupation, seiza adalah sikap berlutut di lantai (atau di tanah) dengan melipat kaki di bawah paha, sementara pantat ada di atas tumit. Mayoritas prajurit Jepang sendiri bahkan tidak pernah bisa bertahan dari hukuman ini lebih dari setengah jam.
"Hukuman itu diberlakukan kepada para prajurit PETA beberapa jam, bahkan sampai larut malam," ungkap Jenkins. Jika mereka jatuh atau tak kuat, maka pukulan rotan akan mendera tubuh mereka hingga berdarah-darah.
Lebih Baik Tembak Saya!
Pada saat menjalani seiza di bawah terik matahari, para prajurit PETA yang dihukum pada akhirnya banyak yang tidak tahan dan bertumbangan. Bahkan begitu putus asanya, seorang bundancho bernama Soetrisno alias Kempong, berlaku emosional.
"Daripada disiksa begini, lebih baik tembak saja saya!" teriaknya.
Alih-alih merasa iba, para pimpinan dari unsur tentara Jepang malah menjadi murka. Sidokan Yamamoto lantas memerintahkan seorang kawan sebangsa Kempong untuk secepatnya mengeksekusi pemuda malang tersebut. Untunglah karena ada pembelaan dari komandannya yakni shodancho Poniman, hukuman itu urung dilaksanakan.
Tetapi perlakuan itu terlanjur membuat marah para prajurit PETA Cileunca. Mereka kemudian menggerakan pemberontakan yang mengakibatkan seorang komandan berkebangsaan Jepang tewas dalam kondisi mengenaskan: leher tergorok hampir putus.
Mudah ditebak, pemberontakan itu kemudian ditindas dengan menggerakan sepasukan tentara Jepang terlatih dan tank-tank dari Bandung.
'Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang Kempeitai (Polisi Militer Bala Tentara Jepang) yang dikenal loyal dan sadis," ungkap Purbo Suwondo.
Dipenggal Jepang
Setelah berhasil memadamkan perlawanan, Kempeitai segera menangkap tujuh prajurit PETA yang dianggap provokator dan mengurung mereka di sel markas besar tentara Jepang di Jawa Barat yang terletak di Jalan Trunojoyo, Bandung.
Para prajurit PETA itu adalah Astika Lagino Syarief, Amar Sutisna, Toha, Sadki, Fatah, Akub dan O Iskandar. Ketujuhnya diperlakukan sangat kejam dan mengalami berbagai bentuk penyiksaan.
Beberapa hari kemudian, usai diadili secara militer, mereka yang dianggap provokator itu (kecuali Akub dan O Iskandar) secara rahasia dibawa ke Lembang untuk dieksekusi dengan cara dipenggal kepala. Hingga kini, tak ada yang tahu di mana keberadaan jasad dan makam mereka.
Chudan PETA Cileunca sendiri kemudian dieliminasi. Para anggotanya diasingkan ke ke Cimahi: dilucuti senjatanya dan diasingkan dari chudan-chudan lainnya. Sisa dari Chudan I pimpinan shodancho Poniman dikirim ke Subang dan dipekerjakan sebagai romusha, guna membangun bunker-bunker pertahanan di tepi pantai.
Hukuman itu berlangsung hingga Jepang menyerah kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945. Setelah penyerahan itu, mereka lantas dibebaskan dan diperintahkan untuk pulang ke kampung halaman masing-masing. (mdk/ian)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Tentara Pembela Tanah Air (PETA) merupakan pasukan militer yang aktif selama Perang Dunia II di Indonesia.
Baca SelengkapnyaUniknya, ada dua lulusan PETA Bogor yang kemudian meraih bintang lima dan mendapatkan pangkat kehormatan jenderal besar.
Baca SelengkapnyaPeristiwa berdarah di Tebing Tinggi, merupakan perjuangan para pemuda melawan penjajah pasca kemerdekaan Indonesia.
Baca SelengkapnyaKonflik bermula ketika seorang penghuni hotel merampas dan menginjak-injak lencana merah putih yang dipakai oleh pemuda Indonesia.
Baca SelengkapnyaPemberontakan ini sebagai bentuk reaksi rakyat terhadap sistem tanam paksa oleh Belanda.
Baca SelengkapnyaPada masa pendudukan Jepang, masyarakat dipaksa memakan roti dan bubur sebagai pengganti nasi.
Baca Selengkapnya74 tahun berlalu, ini kisah Peristiwa Situjuah yang renggut banyak pejuang Pemerintah Darurat RI.
Baca SelengkapnyaPerlawanan yang dilakukan kaum PKI terhadap pemerintah Hindia Belanda ini pecah di Minangkabau atau tepatnya di daerah Silungkang dekat tambang Sawahlunto.
Baca SelengkapnyaDalam selembar batik khas Ciwaringin terdapat perjuangan rakyat melawan penjajahan.
Baca SelengkapnyaKorupsi ternyata sudah ada di negeri ini sejak zaman dulu kala.
Baca SelengkapnyaSoeharto menjadi lulus terbaik pendidikan polisi. Kalau sekadar baris berbaris, dia sudah mahir lantaran pernah mengikuti pendidikan tentara Belanda.
Baca SelengkapnyaRevolusi Sosial Sumatra Timur kisah kelam pembantaian kesultanan Melayu.
Baca Selengkapnya