Profil Francisca C. Fanggidaej, Nenek Reza Rahadian Seorang Pejuang Perempuan yang Terbuang
Francisca Casparina Fanggidaej merupakan pejuang perempuan yang aktif dalam organisasi pergerakan.
Francisca Casparina Fanggidaej merupakan pejuang perempuan yang aktif dalam organisasi pergerakan. Sayangnya, nenek dari aktor Reza Rahadian ini jarang dibicarakan dalam buku sejarah.
Padahal, ia merupakan salah satu tokoh yang aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, bahkan ia sempat diasingkan setelah peristiwa G30S karena hubungannya yang dekat dengan Soekarno.
Francisca lahir pada 16 Agustus 1925 di Noel Mina, Pulau Timor. Ia merupakan putri dari pasangan Gottlieb Fanggidaej dan Magda Mael.Ayahnya bekerja sebagai kepala pengawas di Burgerlijke Openbare Werken (BOW), yang kini dikenal sebagai Dinas Pekerjaan Umum (DPU).
Pekerjaan ayahnya ini menjadikan keluarga mereka memiliki status hukum yang sama dengan warga Belanda. Sebagai keturunan 'Belanda Hitam', istilah yang digunakan untuk gelijkstelling atau penduduk pribumi yang memiliki status setara dengan orang Belanda, Francisca tumbuh dalam lingkungan budaya Indo.
Francisca memiliki kesempatan untuk bersekolah di sekolah khusus anak-anak kulit putih dan menggunakan bahasa Belanda dalam kesehariannya.
“Kami ketika itu tanpa sadar dibesarkan sebagai orang Belanda, berbicara bahasa Belanda, tapi tanpa kebudayaan Belanda. Kebudayaan yang aku rasai saat itu, barangkali harus kusebut sebagai kebudayaan campuran. Maksudnya adalah kami bicara dalam bahasa Belanda, bacaan sehari-hari dalam bahasa Belanda, kami menganut tradisi dan merayakan pesta-pesta dan kebiasaan-kebiasaan Belanda atau Barat, seperti Sinterklaas, pesta Natal, old and new, dan keramaian-keramaian semacam itu. Makan kami sehari-hari juga dengan menu Belanda. Satu-dua kali makan nasi juga, tapi selebihnya selalu makanan Belanda atau Barat,” ujar Francisca dalam biografinya Memoar Perempuan Revolusioner: Francisca C. Fanggidaej.
Meskipun keluarganya hidup dengan keistimewaan bahkan memiliki tujuh orang pembantu dirumahnya, namun status istimewa keluarganya tidak membuat Francisca terlena.
Sejak kecil, dia sering mempertanyakan ketidaksetaraan antara keluarganya dan orang-orang sebangsanya. Kesadaran akan ketidakadilan terhadap orang-orang dengan warna kulit yang sama dengannya mulai tumbuh dalam dirinya.
“Saat itulah dalam diriku tumbuh benih kesadaran tentang adanya perbedaan status sosial antarmanusia, walaupun mereka itu mempunyai kesamaan warna kulit,” ujar Francisca.
Kesadarannya tentang ketidaksetaraan sesama manusia semakin tumbuh ketika ia melihat ayahnya juga direndahkan oleh orang Belanda.
“Kejadian itu sangat berkesan pada pikiran dan perasaanku, sehingga berubah menjadi semacam leidstar bagi perjalanan hidupku selanjutnya. Seandainya tidak ada revolusi di Indonesia, dan aku tidak ikut melibatkan diri di dalamnya, barangkali akan bisa menjadi trauma sepanjang hidupku,” ucap Francisca.
Hidup Berubah di era Jepang
Kehidupan Francisca berubah ketika Jepang berhasil mengambil alih kekuasaan Kolonial Belanda. Saat itu, ayahnya sudah pensiun dan mereka tinggal di Malang, Jawa Timur.Ketika Jepang berkuasa, orang 'Belanda hitam' jadi incaran termasuk keluarganya, ayahnya memang tak dipenjara dan hanya diinterogasi.
Namun, tak lama kemudian ayahnya meninggal dan kondisi keluarganya berubah total.Dari sinilah Francisca memasuki dunia baru, ia mulai mengenal para intelektual muda Maluku.
Setiap hari ia selalu berkunjung ke rumah keluarga Siwabessy. Gerrit Siwabessy adalah suami dari sepupu jauhnya, Reny Poetiray.
Rumah keluarga Siwabessy menjadi tempat berkumpulnya intelektual muda Maluku, dipimpin oleh Gerrit Siwabessy dan Sam Malessy. Sejak masa Hindia Belanda, Gerrit sudah menggerakkan pemuda Maluku dan menanamkan semangat nasionalisme melalui Jong Ambon.
Meski selama pendudukan Jepang organisasi ini tak lagi bernama, kegiatan mereka tetap berlangsung di rumah Siwabessy. Di luar, mereka tampak bekerja sama dengan Jepang, tapi sebenarnya mempersiapkan kemerdekaan.
“Aku bukan hanya belajar tentang soal-soal politik dan kemasyarakatan, tapi juga menyanyikan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan berbahasa Indonesia. Pada waktu itulah, di zaman Jepang, bahasa Indonesia aku pelajari melalui kelompok ini,” ucap Francisca.
Kesadarannya mengenai kemerdekaan semakin menguat ketika ia bergabung dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI). Francisca segera terlibat aktif, sibuk mencari bantuan obat-obatan dan menempelkan kertas bertuliskan 'Milik RI' di kantor-kantor dan gedung-gedung.Tentang Sukarno-Hatta, Proklamasi 17 Agustus 1945, dan bendera Merah-Putih itu baru Francisca ketahui ketika ia mengikuti Kongres Pemuda I di Yogyakarta.
Safari Revolusi
Kongres Pemuda Indonesia I melahirkan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Francisca juga tergabung dalam organisasi tersebut. Di Mojokerto, ia bersama pemuda-pemudi lainnya mendirikan Bagian Keputrian Pesindo.
Pindah ke Madiun, Francisca menjadi penyiar di Radio Gelora Pemoeda Indonesia di bawah Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI) bersama Yetty Zain, ia menyampaikan siaran dalam bahasa Inggris dan Belanda.
Siaran Radio Gelora Pemoeda Indonesia dicap pemberontak oleh Belanda.Pada 1946, Francisca ditugaskan BKPRI untuk melakukan 'Safari Revolusi Pemuda' ke berbagai negara, termasuk India dan Cekoslowakia, guna menyebarkan informasi tentang perjuangan Indonesia dengan berbekal brosur, foto, dan poster.
Ia juga mewakili Indonesia di Konferensi Kalkuta pada 1948, di mana namanya tercatat sebagai tokoh perempuan yang menyuarakan kemerdekaan Indonesia.
Meski perannya tidak dicatat dalam sejarah nasional, Konferensi Kalkuta mengabadikan namanya. Setelah Pesindo berubah menjadi Pemuda Rakyat pada 1950, Francisca sempat menjadi pemimpinnya namun kemudian mengundurkan diri. Ia beralih ke dunia jurnalistik, bekerja di kantor berita Antara, dan aktif di berbagai organisasi.
Pada 1957, ia terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), serta menjadi penasihat Presiden Sukarno pada 1964.
Ketika Gerakan 30 September 1965 terjadi, Francisca sedang berada di Chile mewakili Indonesia dalam Kongres Organisasi Wartawan Internasional.
Hubungannya dengan Soekarno dan Pemuda Rakyat membuatnya tidak bisa kembali ke Indonesia, sehingga ia terpaksa tinggal di Tiongkok selama 20 tahun dan kemudian pindah ke Belanda. Selama menjadi eksil, namanya tak pernah terdengar.
Setelah 38 tahun hidup di pengasingan, ia baru kembali ke Indonesia pada 2003. Francisca meninggal di Zeist, Belanda tahun 2013, ketika ia menginjak usia yang ke 88 tahun.
Reporter Magang: Yulisha Kirani Rizkya Pangestuti