Herlina Kasim, Satu-satunya Perempuan Dalam Operasi Trikora
Wanita ini pernah diberikan emas oleh Soekarno, namun ditolak mentah-mentah.
Siti Rachmad Herlina atau Herlina Kasim adalah satu-satunya pejuang wanita yang ikut dalam operasi Trikora pada tahun 1961-1962. Herlina dijuluki sebagai ‘Perempuan Pending Emas’.
Herlina Kasim lahir pada 24 Februari 1941 di Malang, Jawa Timur. Herlina muda yang memiliki jiwa petualang dan nasionalisme mendedikasikan dirinya bergabung dengan Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora).
Pada awal tahun 1960-an, Belanda berhasil menguasai Irian Barat. Untuk merebut kembali dari tangan Belanda, maka tentara Indonesia mengerahkan seluruh pasukannya untuk melancarkan operasi militer yang dikenal sebagai Trikora.
Pada saat itu, kesempatan bagi warga sipil untuk menjadi relawan perang dibuka, dan Herlina pun terdorong untuk ikut serta di medan pertempuran.
Diketahui, Herlina adalah satu-satunya pejuang wanita yang ikut dalam Operasi Trikora. Herlina menceritakan dalam buku biografinya, Herlina Si Pending Emas, bahwa ia lolos seleksi sebagai relawan perang karena latar belakang wartawannya.
Padahal, secara fisik ia dianggap kurang memenuhi syarat karena bertubuh kecil.Memang, sebelum terjun di medan perang Herlina adalah seorang mahasiswa dan wartawan.
Herlina mengungkapkan bahwa Pangdam Kodam XVI Pattimura sangat terkesan dengan kemampuannya menulis saat ia bekerja sebagai wartawan di Maluku.
“Saya bersyukur jadi wartawan. Saya yakin, andai bukan wartawan, pasti tak akan memiliki nilai plus sehingga lolos tes ikut dalam Operasi Militer Trikora di Irian,” ungkap Herlina Kasim dalam Herlina Si Pending Emas.
Tempur di Raja Ampat
Melansir esi.kemdikbud.go.id, pada 15 Juli 1962, bersama beberapa rekannya, Herlina melakukan penyusupan ke Irian Barat melalui Soasiau menuju Pulau Gebe.
Mereka bergabung dengan pasukan PG-500 yang dipimpin oleh Jonkey Hobert Rumontoy, yang terdiri dari 87 orang, dan berangkat dari Pulau Gebe menuju Waigeo.
Herlina ikut bertempur melawan Belanda di Teluk Arago, Kepulauan Raja Ampat, dan berhasil melaksanakan tugas mendirikan pos bayangan untuk perlindungan dan pertahanan diri, serta memasuki desa-desa di Kepulauan Raja Ampat.
Pada 15 Agustus 1962, Herlina berada di Pulau Waigeo ketika pasukan Belanda menyerang. Ia juga tercatat ikut melakukan terjun payung bersama pasukan RPKAD yang dipimpin oleh Letnan dr. Ben Mboy dan Letnan Benny Moerdani.
Selain itu, Herlina juga aktif di dunia pers dengan berusaha meraih dukungan dan simpati masyarakat Irian Barat untuk memilih Indonesia. Ia menerbitkan surat kabar dan buletin Tjendrawasih serta Gelora Kotabaru di Pulau Gebe dan Pulau Waigeo, yang kemudian disebarkan ke berbagai desa.
Isinya memuat pesan perjuangan untuk membebaskan Irian Barat, memperkenalkan Indonesia, lagu Indonesia Raya, dan lagu-lagu perjuangan.
Herlina juga mendekati perempuan Papua melalui berbagai kegiatan kewanitaan, dengan tujuan agar mereka mendukung dan memilih Indonesia jika pemilihan dalam Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) diselenggarakan.
Curi Perhatian Soekarno
Berkat kepiawaian dan keaktifannya ini ia mendapat perhatian dari Presiden Sukarno. Presiden Sukarno ingin memberikan anugerah tanda jasa kepada Herlina berupa pending emas (ikat pinggang) emas murni seberat 500 gram dan uang senilai Rp10 juta, namun Herlina mengembalikan pemberian tersebut dengan alasan bahwa ia tulus berjuang untuk bangsa.
Ia tak mau perjuangannya dianggap semata-mata untuk menerima imbalan materi. Oleh karena itu, ia juga dijuluki sebagai Perempuan Pending Emas.
Herlina wafat pada 17 Januari 2017, ketika berusia 75 tahun karena menderita sakit komplikasi. Ia dimakamkan di TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur.
Semasih hidup, Herlina pernah berpesan bahwa ia tidak ingin dikebumikan di taman makam pahlawan karena merasa perjuangannya masih belum apa-apa. Wasiatnya ini dikonfirmasi langsung oleh sang anak.
“Ibu sudah mengamanahkan demikian. Beliau tidak mau disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta,” ujar Rigel Wahyu Nugroho, anak Herlina Kasim saat berada di pemakaman ibunya, pada 17/01/2017 lalu.
Reporter Magang: Yulisha Kirani Rizkya Pangestuti