Makna Luhur Tradisi Mudun Lemah untuk Bayi di Cirebon, Berharap Sukses Dunia dan Akhirat
Ada makna luhur dari tradisi Mudun Lemah di Cirebon
Ada makna luhur dari tradisi Mudun Lemah di Cirebon
Makna Luhur Tradisi Mudun Lemah untuk Bayi di Cirebon, Berharap Sukses Dunia dan Akhirat
Orang tua sangat senang memperhatikan tumbuh kembang sang anak. Tiap momen akan diabadikan, salah satunya melalui tradisi Mudun Lemah.
Di wilayah kota dan kabupaten Cirebon, Jawa Barat, tradisi mudun lemah jadi cara orang tua untuk mengucap rasa syukur karena anaknya sudah mulai tumbuh.
Terdapat sejumlah tahapan untuk melaksanakan tradisi ini, sebagai simbolisasi perjalanan agar sukses dunia dan akhirat. Berikut selengkapnya.
-
Apa makna tradisi Tedhak Siten? Tradisi Tedhak Siten merupakan warisan budaya nenek moyang di mana bayi yang berumur 8 bulan diperkenalkan menginjakkan kaki ke tanah.Dalam pelaksanaannya terdapat ubo rampe yang harus dipersiapkan. Ubo rampe merupakan simbol yang digunakan sebagai tanda bahwa anak menginjakkan kaki pertamanya dengan penuh harap dapat menjalani kehidupan yang akan datang dengan baik, sukses tanpa ada rintangan.
-
Kenapa tradisi maca Babad Cirebon dilakukan? Adapun, maca Babad Cirebon merupakan tradisi khas Keraton Kanoman Cirebon untuk mengenang berdirinya Cirebon oleh putra dari raja Pajajaran yakni Pangeran Walangsungsang.
-
Apa itu Tradisi Cikibung? Dahulu, tradisi Cikibung lazim dilakukan oleh ayah di Kabupaten Subang, Jawa Barat, untuk melindungi anaknya. Tradisi ini biasanya digelar di kawasan leuwi atau sejenis sungai yang cukup dalam pada sore hari. Warga setempat juga menyebutnya sebagai kasidah air, lantaran pemainnya yang merupakan ayah dan anak laki-laki menepuk-nepuk air hingga menghasilkan nada tertentu mirip kasidahan.
-
Kenapa Tradisi Cikibung dilakukan? Tradisi Cikibung mulanya dilakukan oleh seorang ayah terhadap anak-anaknya yang tengah belajar mengembala kambing. Agar berani menyeberangi sungai besar, sang ayah akan mendampingi anak-anaknya untuk pelan-pelan melintasi sungai. Di sana sang ayah mulai menepuk-nepuk air di depan anak-anaknya, sekaligus untuk melindungi mereka.
-
Kenapa tradisi Memitu dilakukan? Tradisi ini tak sekedar menampilkan rasa bahagia dan ucapan syukur, namun turut dilaksanakan dengan sejumlah simbol yang dikaitkan dengan makna kebaikan.
-
Bagaimana cara Festival Kedawung Ngesti Luhung melestarikan budaya Cirebon? “Kami berusaha untuk menyeimbangkan antara globalisasi dan modernisasi dan itu bisa tertanam dengan adanya kearifan lokal,“ katanya .
Tradisi menyambut bayi belajar berjalan
Jika dilihat dari pengertiannya, Mudun Lemah berarti turun tanah. Ini menandai seorang bayi yang sudah mulai beraktivitas secara mandiri mulai dari duduk, merangkak sampai berjalan.
Biasanya bayi yang diikutkan dalam tradisi Mudun Lemah sudah memasukki usia 7-8 bulan, setelah kelahiran.
Tradisi ini juga merupakan acara syukuran untuk menyambut sang bayi mulai lepas dari dekapan orang tua (tidak lagi digendong-gendong).
Dilaksanakan sesuai hari lahir
Terdapat sejumlah versi dari tradisi Mudun Lemah, salah satunya adalah pelaksanaannya yang bertepatan dengan hari lahir.
Namun ini tidak semua berlaku karena pelaksanaan sesuai hari lahir hanya bersifat simbol, agar relevan dengan hari dilahirkan ke dunia sebagai tanda dimulainya kehidupan.
Tradisi ini juga diadaptasi dari Tedhak Sinten dari Jawa Tengah, di mana pelaksanaannya biasa dilakukan sesuai weton lahir.
Menginjak bubur tujuh warna
Di tahap awal, bayi akan diajak untuk keluar rumah dan menginjak tujuh warna bubur. Setelahnya, bayi bisa menginjakkan kaki di tanah atau pasir untuk pertama kali.
Gambar: kebudayaan.pdkjateng.go.id
Ketujuh warna itu memiliki arti seperti biru (jati diri), putih (watak dasar), jingga (kekuatan), hijau (lambang kehidupan), kuning (harapan dan cita-cita), merah (semangat) dan hitam (keagungan).
Bubur yang dibuat biasanya menggunakan hasil alam seperti dedaunan untuk perwarna dan lainnya. Selain bubur, tradisi ini juga kerap memakai media jadah kukus atau ketan yang diberi warna.
Melangkahkan kaki di tangga
Setelah sang bayi dibimbing untuk menginjak bubur warna warni, kemudian akan langsung diarahkan menuju tangga buatan berbahan bambu.
Di masing-masing pijakannya tertulis harapan dan doa, serupa dengan bubur di prosesi sebelumnya.
Tangga biasanya dihias dengan berbagai ornamen tradisional, berupa janur kelapa dan hiasan warna warni.
Masuk ke kurungan ayam dan memilih minat
Setelah selesai dituntun di atas bubur atau jadah dan menaikki tangga, bayi tersebut akan diarahkan masuk ke dalam kurungan ayam.
Di sana sudah terdapat sejumlah mainan yang merepresentasikan replika hobi atau minat, seperti buku, mainan dokter-dokteran, perkakas mainan dan yang lainnya.
Ketika sang anak memilih, disimbolkan sebagai kegemarannya kelak yang bisa dibimbing oleh orang tuanya untuk dilatih dan diasah.
Melakukan surak
Setelah tahap demi tahap dilalui sang bayi, orang tua akan langsung melakukan surak atau menebarkan beras yang sudah diberi kunyit dan uang koin.
Beras bercampur uang itu disebar ke segala penjuru dan terdapat banyak warga yang menyaksikan.
Tujuannya adalah agar sang bayi bisa menjadi pribadi yang dermawan saat sudah dewasa nanti, dan gemar bersedekah.