Mengenal Cerita Sangkuriang Versi Purwakarta, Kisahkan Raja yang Rela Turun Takhta demi Nikahi Rakyat Biasa
Sangkuriang versi Purwakarta mengajarkan pentingnya pengorbanan demi meraih apa yang diinginkan.
Pernah dengar cerita Sangkuriang versi Purwakarta? Rupanya, kisah turun temurun di sana berbeda dari yang umum dikenal oleh masyarakat Jawa Barat.
Jika legenda tersebut sebelumnya menceritakan tentang Dayang Sumbi, versi lainnya mengisahkan tentang seorang raja yang tela turun takhta demi menikahi rakyat biasa.
-
Siapa raja pertama Kerajaan Kanjuruhan? Melalui prasasti ini, diketahui bahwa raja pertama kerajaan ini adalah Dewasimha, yang kemudian digantikan oleh Sang Liswa.
-
Siapa raja yang memerintah Pajajaran tahun 1521? Surawisesa mengantikan ayahnya, Sri Baduga Maharaja menjadi Raja di Pakuan Pajajaran tahun 1521.
-
Siapa yang memimpin Pajajaran di masa kejayaan? Kerajaan Pakuan Pajajaran berdiri di Jawa Barat dan berpusat di Bogor. Mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja yang memerintah tahun 1482-1521. Orang Sunda memanggilnya Prabu Siliwangi.
-
Siapa yang memimpin Kerajaan Pajajaran saat runtuh? Di masa ini, Raga Mulya gagal mempertahankan keutuhan kerajaan Pajajaran.
-
Kenapa Kerajaan Pajajaran runtuh? Terlebih setelah itu, batu untuk penobatan raja kemudian diambil alih oleh pasukan Kesultanan Banten sehingga di masa-masa setelahnya tidak ada lagi penobatan. Sejak itu, Kerajaan Pajajaran jadi mudah diserang hingga akhirnya runtuh pada 1579.
-
Apa penyebab runtuhnya Pajajaran? Di masa berikutnya, terjadi perpecahan besar hingga internal kerajaan berhasil ditembus dan kerajaan sudah tidak bisa diselamatkan.
Kisah Sangkuriang di sini juga mengandung pesan ketulusan dan pengorbanan besar terhadap seseorang yang dicintainya.
Sangkuriang versi Purwakarta mengajarkan pentingnya pengorbanan demi meraih apa yang diinginkan. Berikut informasi selengkapnya.
Sangkuriang Versi Purwakarta
Mengutip disipusda.purwakartakab.go.id, kisah ini dimulai di sebuah kerajaan yang makmur di sebelah barat Jatiluhur bernama Kutatandinga. Negara ini memiliki raja yang tampan rupawan dan mementingkan asas keadilan serta kesejahteraan rakyat bernama Prabu Tandinganjaya.
Kerajaan tersebut dijalankan dengan sangat baik oleh abdi dalem kerajaan dari seorang patih bernama Pranggongjaya, panglima yakni Purbakuta dan pendeta kerajaan bernama Permana Rasa.
Kehidupan di kerajaan pun damai dan tentram, karena rakyat di sini sangat diperhatikan oleh raja bersama punggawa kerajaan.
Kerajaan Tiba-tiba Alami Paceklik
Sayang kondisi aman, damai, tentram dan makmur di kerajaan tersebut tidak berlangsung selamanya. Tiba-tiba wilayah tersebut mengalami cuaca yang buruk, hasil pertanian diserang hama dan terjadi bencana di banyak tempat.
Raja Prabu Tandingjaya kemudian mengadakan rapat besar dengan para unsur kerajaan. Dalam musyawarah tersebut, seorang ajudan bernama Lengser mengatakan jika sumber malapetaka berasal dari seekor banteng muda bernama Andaga.
Andaga kerap membuat kekacauan dan menyebabkan bencana alam. Ia diketahui tinggal di tengah hutan yang sulit dijangkau oleh manusia.
Perburuan Banteng dan Raja Diminta Tidak Ikut
Setelah rapat, maka diputuskan untuk memburu dan membunuh banteng Andaga tersebut. Namun, para patih, ajudan dan pendeta meminta agar raja berdiam di istana untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Raja pun manut, dan hanya ingin melihat dari kejauhan.
Ketika di hutan, rombongan sudah siap dengan persenjataan masing-masing. Mereka membawa tombak, panah, pedang, obor dan lainnya. Pasukan lantas menyebar, hingga tak berapa lama ajudan bernama Lengser berhasil menemukan Andaga
Sayangnya, hewan tersebut sukar dibunuh dan justru balik menyerang. Di saat yang bersamaan, banteng terlihat hendak menyerang seorang perempuan dan menjerit dengan kencang.
Raja Turun Tangan dan Meninggal
Melihat rakyatnya terancam, raja yang dari jauh sudah mengintai lantas berlari untuk melindungi perempuan tersebut. Dalam benak sang raja adalah, jika ia tidak menolong maka hilang wibawanya dan jika ia membunuh banteng maka ia tidak mematuhi kesepakatan yang dibuat bersama pembesar kerajaan.
Namun, ia lebih mengutamakan hati Nurani sehingga Prabu Tandinganjaya berupaya melindungi perempuan tersebut. Sebelumnya, ia sempat dihalangi oleh patih agar nyawa raja terselamatkan.
Seketika raja pun terseruduk banteng dan meninggal di tempat. Sementara, perempuan tersebut tersadar bahwa sosok yang hendak menolongnya adalah seorang raja yang tampan dan rupawan. Ia segera membawa cupu yang berisi air suci dan diusapkan kewajahnya. Raja langsung tersadar dan sehat kembali.
Raja Jatuh Cinta dengan Rakyat Biasa
Ketika tersadar, raja langsung menatap wajah perempuan cantik tersebut dan merasa jatuh cinta. Ia kemudian berniat menjadikannya permaisuri. Namun, Lengser, yang merasa dendam, berusaha membunuh perempuan tersebut.
Seorang pria tua tiba-tiba menghalangi niat tersebut, ia merupakan pendeta sakti bernama Ajar Dumadi, yang merupakan ayah dari perempuan tersebut. Ajar menyebut bahwa perempuan tersebut bernama Nyi Sundi Amara, yang dianggap Lengser telah mencelakakan rajanya hingga tewas diserang Banteng Andaga.
Setelah Banteng Andaga menjadi jinak, Pendeta Permana Rasa bertanya mengapa ia berada di hutan Kutatandingan. Banteng Andaga menjelaskan bahwa dirinya adalah utusan para dewa dari kahyangan.
Berniat Menjadikan Nyi Sundi Asmara sebagai Istri
Setelah keadaan kembali tenang, raja Prabu Tandinganjaya berniat mengungkapkan perasaannya kepada Nyi Sundi Asmara. Keduanya kemudian menjalin hubungan dan berniat untuk menikah.
Namun, banyak yang tak setuju, baik dari rakyat hingga pembesar kerajaan. Sebabnya, raja Prabu Tandinganjaya merupakan pemimpin tertinggi kerajaan sedangkan Nyi Sundi Asmara merupakan perempuan biasa.
Jika, raja benar-benar menikahi rakyatnya takhta dan derajatnya akan turun. Namun, raja kemudian memilih untuk teguh pada niatnya hingga dirinya bersedia menjalankan syarat serta menanggung akibatnya.
Ia pun bertanya syarat kepada banteng Andaga yang kini sudah tenang dan menjadi anggota kerajaan. Kemudian, jawaban dari kahyangan turun dan meminta agar raja membendung sungai Citarum untuk kepentingan dewa dan wajib selesai dalam satu malam.
Perjuangan Keras Prabu Tandinganjaya Menikahi Nyi Sundi Asmara
Hari yang dinanti kemudian datang. Raja bersama rakyat mulai membendung sungai, dan dirinya juga bertugas membuat kapal besar sebagai persembahan kepada dewa. Rakyat dengan suka cita memecah batu, menyusun kayu dan menguras sungai agar mudah dibendung.
Nyi Sundi Asmara pun kegirangan menyaksikan perjuangan tersebut. Namun, tanpa sadar dirinya membunyikan benda-benda di sana hingga pada tengah malam ayam-ayam jantan pun berkokok. Rakyat dan raja terkejut, karena mengira sudah siang.
Nyi Sundi Asmara tak habis akal. Ia meminta para perempuan menyalakan api unggun, sebagai tanda masih tengah malam. Kemudian, ia mengibas-ngibas selendangnya agar rakyat dan raja terus bekerja. Namun, maksud justru diterima lain sehingga mereka kecewa karena dikira sudah habis waktunya.
Menendang Perahu Menjadi Gunung Tangkuban Parahu
Di kondisi itu, raja kemudian marah dan kecewa karena gagal menyelesaikan misi tersebut. Namun, Nyi Sundi Asmara berupaya mengejar raja yang menceburkan diri ke Citarum. Ia menarik tangan raja, dan meyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja dan pekerjaan bisa dilanjutkan.
Namun, raja sudah terlajur patah arang. Raja tersebut mengira warna merah menyala dari api unggun adalah matahari. Ia kemudian menendang perahu hingga menjadi gunung Tangkuban Parahu, kemudian menumpahkan perdupaan hingga menjadi Sangiangparako.
Bekas kayu dan ranting kecil kemudian dilempar hingga menjadi Gunung Burangrang dan Bukit Tunggul, lalu air suci dalam kendi dibuang hingga menjadi Sangiangkendit. Bekas hamparan tempat duduk dihanyutkan ke sungai dan tenggelam, menjadikan tempat tersebut disebut leuwi Amparan.
Tak ketinggalan, Raja membanting Banteng Andaga, yang dianggap sebagai penyebab malapetaka, hingga menjadi gunung yang sekarang dikenal sebagai Gunung Andaga.
Ketulusan Akan Saling Bertemu
Namun akhirnya, raja luluh karena melihat Nyi Sundi Asmara yang tulus. Ia kemudian berniat meluruskan niatnya untuk kembali menikahinya. Keduanya kemudian pergi ke kahyangan untuk menikah.
Untuk kepemimpinan kemudian diserahkan kepada Lengser dan Jaksa Agung, sedang raja dan para pembesar Kutatandingan yang lain akan menanti di kahyangan sampai saat perkawinan, yaitu pada waktu bendungan dibangun untuk kedua kalinya.
Dari sana, pendeta menancapkan sebuah pohon di mana dia tidak akan mati sebelum bendungan selesai dibangun. Pohon yang juga bersama tongkat itu kemudian bisa mengangkat doa-doa hingga ke Tuhan dan konon dipercaya sebagai asal usul nama Jatiluhur.