Mengenal Kecamatan Gegesik Cirebon yang Kaya Kearifan Lokal, Ada Tradisi Berburu Tikus
Selain identik dengan kuliner Gayamnya, ternyata Gegesik juga dikenal sebagai pelestari budaya lokal, salah satunya berburu tikus.
Selain identik dengan kuliner Gayamnya, ternyata Gegesik juga dikenal sebagai pelestari budaya lokal, salah satunya berburu tikus.
Mengenal Kecamatan Gegesik Cirebon yang Kaya Kearifan Lokal, Ada Tradisi Berburu Tikus
Masyarakat Cirebon mengenal Gegesik sebagai salah satu kecamatan yang terletak di sisi barat kota tersebut.
Selain identik dengan kuliner Gayamnya, ternyata wilayah ini juga dikenal sebagai pelestari budaya lokal, salah satu yang unik adalah berburu tikus.
Memang terdengar aneh dan tidak biasa, namun warga di Kecamatan Gegesik masih memelihara kebiasaan nenek moyang tersebut. Ini karena sebagian besar wilayahnya ditanami padi dan perkebunan palawija.
-
Kenapa cecak banyak diburu di Cirebon? Dia akhirnya mengetahui, hasil buruannya itu diekspor ke China sebagai bahan baku obat tradisional.
-
Bagaimana proses penangkapan cecak di Cirebon? 'Warga kampung membantu menangkap, mengumpulkan, memilah berdasarkan ukuran, mengeringkan dan akhirnya dikemas,' kata Satyawan.
-
Apa itu Tradisi Cikibung? Dahulu, tradisi Cikibung lazim dilakukan oleh ayah di Kabupaten Subang, Jawa Barat, untuk melindungi anaknya. Tradisi ini biasanya digelar di kawasan leuwi atau sejenis sungai yang cukup dalam pada sore hari. Warga setempat juga menyebutnya sebagai kasidah air, lantaran pemainnya yang merupakan ayah dan anak laki-laki menepuk-nepuk air hingga menghasilkan nada tertentu mirip kasidahan.
-
Dimana Tradisi Cikibung dilakukan? Tradisi ini biasanya digelar di kawasan leuwi atau sejenis sungai yang cukup dalam pada sore hari.
-
Apa keunikan kuliner Cirebon? Namun selain empal gentong dan tahu gejrot, terdapat kuliner lainnya yang jarang diketahui bernama Sate Kalong dan Tongseng Jagal.
-
Kenapa Tradisi Cikibung dilakukan? Tradisi Cikibung mulanya dilakukan oleh seorang ayah terhadap anak-anaknya yang tengah belajar mengembala kambing. Agar berani menyeberangi sungai besar, sang ayah akan mendampingi anak-anaknya untuk pelan-pelan melintasi sungai. Di sana sang ayah mulai menepuk-nepuk air di depan anak-anaknya, sekaligus untuk melindungi mereka.
Saat pelaksanaannya, tradisi ini akan melibatkan puluhan hingga belasan petani dengan berbagai peralatan mulai dari bambu, cangkul sampai arit. Yuk kenali kearifan lokal Kecamatan Gegesik di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
Foto: gegesikkec.cirebonkab.go.id
Gegesik Tercipta dari Adu Kesaktian
Melansir kebudayaan.kemdikbud.go.id, asal usul nama Gegesik berangkat dari perebutan kekuasaan oleh empat anak raja di masa lampau.
Dahulu, wilayah ini memang dihadiahkan kepada salah seorang di antaranya yang kemudian justru diperebutkan.
Masing-masing anak raja tersebut yakni Ki Jagabaya, Ki Sumareng, Ki Baluran, dan Nyi Mertasari.
Mereka adalah keturunan dari penguasa di wilayah Cirebon bernama Pangeran Gesang atau yang lebih dikenal dengan julukan Ki Gesang atau Ki Gede Gesik
Mulanya, daerah Gegesik merupakan area berpasir yang juga terkait dengan penamaannya yakni geusik/keusik atau tanah berpasir.
Tanah ini kemudian terkena api yang semula dinyalakan Ki Gesang untuk mendirikan keraton di wilayah Kedawung.
Diperebutkan Melalui Sayembara
Menurut sejarawan dan budayawan setempat, H. Mansyur, pembagian tanah sebenarnya telah disepakti untuk keempat anaknya berdasarkan perhitungan sepikulan bagi laki-laki dan segendongan untuk perempuan.
Arti dari perhitungan tersebut adalah, besaran lahan yang diterima laki-laki dua kali lipat dari perempuan.
Anak perempuan sultan yang sangat cantik bernama Nyi Mertasari tidak dapat menerima kesepakatan ini. Nyi Mertasari ingin pembagian yang sama rata dengan ketiga saudara laki-lakinya.
Dari sana dibuatlah sayembara dengan cara mengeluarkan kesaktian masing-masing berupa hewan peliharaan.
Siapa yang Sakti Berhak Menempati Gegesik
Ki Jagabaya, dengan kesaktiannya menginjak bumi berhasil menciptakan kuda bersayap yang berekor panjang serta seekor anjing berbulu tebal
Ki Sumerang, anak kedua Ki Gesang, dengan kekuatannya menepuk sungai hingga kering dan mengeluarkan buaya putih besar.
Ki Baluran berhasil memunculkan ular besar usai menusuk bumi menggunakan jarinya. Namun, ketiganya tidak memenuhi syarat sayembara yang mengharuskan peserta menciptakan hewan ternak.
Nyi Mertasari kemudian menunjukkan kesaktiannya dengan menciptakan bandeng (sapi jantan), macan, dan kerbau. Dengan hewan-hewan yang sesuai dengan ketentuan sayembara, Nyi Mertasari berhasil memenuhi syarat yang ditetapkan oleh panitia.
Kental dengan Nilai Budaya
Dari cerita turun temurun ini kemudian melahirkan kebiasaan atau kebudayaan yang masih dilestarikan seperti ngunjung buyut atau mendoakan leluhur, mengangkat kesenian tari topeng serta arak-arakan barongan dan kesenian lokal lainnya.
Belakangan, Kecamatan Gegesik juga dikenal sebagai salah satu kecamatan yang kental dengan adat istiadat khas Cirebon, dan telah menjadi daerah wisata lokal yang kesohor.
Ini berkat masyarakatnya masih nguri-uri kebudayaan, dan mengenalkannya kepada generasi muda. Di Gegesik, juga terkenal sebagai kampung literasi karena warganya menggerakkan budaya membaca gratis.
Lestarikan Tradisi Berburu Tikus
Salah satu tradisi unik di Gegesik adalah Nikus atau berburu tikus bersama. Hewan pengerat memang dianggap hama di sana, lantaran seringkali merusak pertanian sawah hingga palawija.
Tradisi ini merupakan kebiasaan menangkap tikus yang dijalankan oleh warga khusus yang dan terdiri dari satu orang dengan 4 ekor anjing.
Tim ini ditemani oleh sang petani, untuk membantu proses penangkapan menggunakan alat berupa cangkul, bambu, jaring dan karung.
Anjing-anjing biasanya akan mengendus dan menggonggong di sekitar lubang sarang tikus. Petunjuk itu ditindak lanjuti oleh tukang cangkul dengan mencangkul dan menggali lubang tersebut lebih dalam lagi agar tikus keluar dari sarangnya.
Tikus yang keluar kemudian dicangkul sampai mati, lalu dikubur di sekitar lubang tersebut menjelang tengah hari.
Masih Ada Ngerawun
Selain Nikus, tradisi Ngerawun juga masih dilestarikan oleh masyarakat Gegesik sebagai kearifan lokal atas budaya pertanian.
Salah satu cara mitigasi bencana dalam bidang pertanian adalah dengan mengusir hama menggunakan metode pembakaran daun-daun yang dipercaya memiliki kekuatan magis. Daun-daun yang digunakan adalah daun sukun, daun kelor, dan daun bambu.
Daun-daun tersebut dibakar di tempat-tempat tertentu sesuai keinginan pemilik sawah, seperti di sudut-sudut sawah. Metode ini diyakini efektif dalam melindungi tanaman dari serangan hama.