Pengakuan Dua Kru Rumah Produksi Film Porno di Jaksel, Diajak Sutradara Bikin Film Biasa dan Diupah Per Bulan
Melalui kuasa hukumnya yakni Hika T A Putra, AIS dan JAAS mengaku hanya menjadi korban karena menjalankan sesuai instruksi I, sutradara merangkap produser film.
Melalui kuasa hukumnya yakni Hika T A Putra, AIS dan JAAS mengaku hanya menjadi korban karena menjalankan sesuai instruksi I, sutradara merangkap produser film.
Pengakuan Dua Kru Rumah Produksi Film Porno di Jaksel, Diajak Sutradara Bikin Film Biasa dan Diupah Per Bulan
Dua tersangka kasus produksi film pornografi yakni AIS dan JAAS buka suara terkait perkara hukum menjeratnya.
Melalui kuasa hukumnya yakni Hika T A Putra, AIS dan JAAS mengaku hanya menjadi korban karena menjalankan sesuai instruksi I, sutradara merangkap produser film.
Hika mengatakan, kliennya hanya bekerja sebagai video editor di rumah produksi (PH) didirikan oleh tersangka I.
Keduanya hanya bertugas meramu data-data mentah yang dikirimkan oleh sutradara sehingga menjadi sebuah film yang layak ditonton secara teknik videografi.
Diajak Bikin Film Biasa
Hika menceritakan, pada awalnya materi film yang diproduksi tidak ada yang melanggar asusila dan norma hukum. Film-film yang dibuat diunggah di YouTube semacam web series.
"Jadi diajak itu tidak ada pembahasan sama sekali terkait web yang berbayar, terkait dengan film porno, itu tidak ada sama sekali pembahasan di situ. Hanya diajak memproduksi film memang tidak ada permasalahan dari sisi norma dan kesusilaan," kata Hika di Mapolda Metro Jaya, Jumat (15/9).
Namun seiring berjalannya waktu, menurut Hika, atasan tersangka I mengarahkan memproduksi film vulgar demi mencari market yang lebih besar.
Kliennya dikatakan Hika, sebagai karyawan tidak bisa menolak.
"Nah ini di luar sepengetahuan klien kami dalam hal website dan lain-lain. Ini bukanlah sebuah tim yang dibentuk secara khusus untuk membuat film yang melanggar norma-norma kesusilaan," kata Hika.
Menurut dia, kliennya hanya korban. Keduanya merasa ditipu karena ketika diperingatkan perihal-perihal adegan yang dinilai vulgar, tersangka I selaku atasan selalu meyakinkan bahwa film tak akan bermasalah.
Tersangka I menurut Hika, berdalih perusahaannya punya badan hukum dan semua film menjadi tanggung jawabnya sebagai produser. Bahkan Hika mengatakan, kedua kliennya sempat mewanti-wanti kepada tersangka I apakah beberapa adegan dijalankan para pemeran tidak kelewatan dan berbahaya karena sudah agak vulgar.
"Nah kemudian diiming-imingi oleh pimpinannya itu. 'Kita legal kok, kita bukan porno kok. Ini masih semi kok, ini masih sesuai dengan standar kok. Bahwa perusahaan kita ini ada legalnya, ada kuasa hukumnya'. Jadi karena ketidaktahuan mereka terkait dengan undang-undang pornografi dan undang-undang ITE, mereka mengikuti saja," kata Hika.
Dia menerangkan, kliennya mendapat upah bukan berdasarkan per-judul film atau member, tapi sistem pembayaran per bulan. Upah diterima di bawah upah minimum regional atau provinsi.
"Saya dapat informasi gaji mereka itu di bawah Rp4 juta per bulan," ujar dia.
Terlepas dari itu, Hika mendesak polisi mengusut tuntas kasus industri film porno tersebut.
Sebab informasi dari kliennya, masih ada pelaku lain mungkin sebagai pendana atau otak yang menikamati hasil dari perusahaan ini yang belum ditangkap polisi.
Menurut Hika, saat ini yang diringkus hanyalah karyawan yang hanya menerima gaji di bawah UMR secara bulanan.
"Jadi ini menurut saya tidak fair dan tidak berimbang. Jangan hanya orang-orang kecil yang hanya bekerja sebagai bawahan, yang tidak menikmati hasil dari produksi website berbayar itu yang ditahan. Tapi otak-otak pelaku yang lain yang masih berkeliaran kami harap juga ada rasa keadilan untuk segera diproses juga," ucap Hika.