Potret Prajurit Madura di Kasunanan Surakarta, Masih Eksis hingga Dekade 1950-an
Di Kraton Surakarta, pasukan Panyutra ini menjadi salah satu angkatan perang.

Di Kraton Surakarta, pasukan Panyutra ini menjadi salah satu angkatan perang.

Potret Prajurit Madura di Kasunanan Surakarta, Masih Eksis hingga Dekade 1950-an
Dalam sebuah foto hitam putih yang diposting akun Instagram @sejarahjogya pada Rabu (22/5), tampak seorang anak kecil bertelanjang dada mengenakan sebuah kain untuk bawahan serta sebuah topi berbentuk aneh.


Dijelaskan dalam keterangan unggahan bahwasanya topi itu merupakan lilitan ikat kepala bernama “undheg-gilig”. Jejaknya disebut terlihat pada prajurit Panyutra (Kasunanan) dan Nyutra (Kasultanan).
Disebutkan pula bahwa sejarah prajurit itu cukup panjang. Konon prajurit itu merupakan hadiah dari Madura. Pada zaman Sultan Agung, nama “Panyutra” telah disebutkan di antara nama abdi dalem di Kraton Kerta pada tahun 1556. Nama itu juga tercatat pada era Kartasura bahkan dipertahankan hingga perpindahan ke Surakarta.
Dalam gambar pada slide kedua, dijelaskan bahwa Panyutra di Kasunanan Surakarta memakai sejenis undheng lilit yang menjadi ciri khas Madura. Di Kraton Surakarta, pasukan Panyutra ini menjadi salah satu angkatan perang. Keberadaannya masih dapat dijumpai hingga dekade 1950.
Keputusan untuk membubarkan pasukan itu diterbitkan dalam “Poetoesan Rembag Parepatan Badan Karaton Soerakarta Ingkang Kaping XXIII Ing Dinten Kemis Kaping 25 November 1954.
Dalam slide tiga, terdapat gambar prajurit dari Bregada Nyutra di Kasultanan Yogyakarta. Saat itu Bregada Nyutra terdiri dari Nyutra, Miji Soemapratama (penjaga sultan), dan Miji Soemaatmaja (penjaga putra mahkota).
Bersama dengan Bregada Surakarsa, Nyutra ditempatkan di timur kraton (Mergangsan) dan membentuk Kampung Surakarsan dan Kampung Nyutran.

Bercampur Baur
Melihat postingan tersebut, salah seorang warganet, @prince_of_austronesia penasaran apakah saat menjadi prajurit mereka tetap menjaga adat tradisi budaya mereka atau tidak.
Dalam hal ini pemilik akun Instagram @sejarahjogya menjawab kalau mereka sudah bercampur baur dengan budaya lain mengingat keberadaan mereka yang sudah ada sejak zaman Sultan Agung. Hal ini sedikit berbeda dengan prajurit dari daerah lain.
“Bregada dari Sulawesi seperti Dhaeng dan Bugis masih mempertahankan lagu dalam bahasa asal saat defile. Tapi mungkin bahasa kuno karena orang Bugis Makassar pun juga tidak paham,” jawab @sejarahjogya.