Belajar dari Tradisi Panah Kasumedangan, Olahraga Tradisional Khas Sumedang Sarat Makna
Keunikan lain dari tradisi panahan ini adalah cara membidiknya yang tidak menggunakan mata, melainkan menggunakan hati.
Keunikan lain dari tradisi panahan ini adalah cara membidiknya yang tidak menggunakan mata, melainkan menggunakan hati.
Belajar dari Tradisi Panah Kasumedangan, Olahraga Tradisional Khas Sumedang Sarat Makna
Kabupaten Sumedang memiliki julukan sebagai pusat budaya Sunda. Ini karena di kota kecil nan sejuk itu berbagai tradisi buhun atau lama lahir, salah satunya Panah Kasumedangan yang mengajarkan berbagai makna kehidupan.
Bertandang ke Sumedang tak afdol rasanya jika tidak mendalami warisan nenek moyang yang satu ini. Panah Kasumedangan menjadi kearifan lokal setempat yang hingga sekarang terus dilestarikan.
-
Dimana tradisi ini dilakukan di Sumedang? Kebiasaan ini masih dijalankan oleh masyarakat di beberapa desa seperti Kadu, Lebaksiuh, Cintajaya, dan Cipicung, Kecamatan Jatigede.
-
Bagaimana Sumando dilakukan di Tapanuli Tengah? Biasanya kegiatan sumando berlangsung selama tiga hari tiga malam.
-
Apa kegunaan anak panah kuno tersebut? Anak panah ini diyakini milik pemburu rusa kutub sekitar 3.000 tahun lalu.
-
Apa keunikan Kampung Paniis di Sumedang? Kampung Paniis di Desa Cienteung, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, memiliki bentuk atap bangunan yang unik. Tiap warga di sana masih mempertahankan bentuk suhunan atau atap rumah yang bergaya khas zaman penjajahan Jepang.
-
Apa kegunaan anak panah kuno itu? Temuan ini diyakini milik pemburu-pemburu kuno yang memburu rusa kutub pada ribuan tahun lalu yang hidup diatas salju dan es pada bulan-bulan musim panas. "Terkadang, ketika sebuah panah meleset dari sasaran, ia menancap dalam salju dan hilang," tulis Pilø. "Menyedihkan bagi pemburu tetapi sangat berharga bagi arkeologi!"
-
Apa itu Kupat Tahu Sumedang? Kupat tahu menjadi salah satu kuliner andalan di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.Penganan ini biasanya disantap sebelum memulai aktivitas di pagi hari. Rasanya khas, dengan perpaduan rasa manis dan gurih yang menggugah selera. Kupat tahu wajib dicicipi saat mencari sarapan di kota tersebut.
Masa kelahiran tradisi Panah Kasumedangan tidak bisa dilepaskan dari para pembesar kerajaan Sunda terakhir di Jawa Barat yakni Sumedang Larang. Mereka menjadikan alat panah sebagai salah satu peralatan wajib yang ada di keraton.
“Ini mulanya berawal dari raja pertama yakni Prabu Geusan Ulun yang membawa Panah Kasumedangan,” kata Ketua Wadah Endong Panah Kasumedangan Bayu Gustia Nugraha, menguntip YouTube Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah IX.
Jadi Tradisi Perang Khas Kerajaan Sumedang Larang
Pada abad ke-15, Panah Kasumedangan pernah populer di kalangan rakyat Sumedang yang kala itu dipimpin oleh pemerintahan Kerajaan Sumedang Larang.
Rajanya, era Prabu Geusan Ulun, mengenalkan ini sebagai tradisi perang dan kehidupan sehari-hari di daerah kekuasaan kerajaan tersebut. Sejak itu, panahan banyak dikuasai oleh warga kerajaan sebagai bentuk penjagaan diri.
“Fungsi panahan ini adalah sebagai pasukan dari Kerajaan Sumedang Larang pada masa itu,” kata Bayu Gustia Nugraha lagi.
Pemanah Menggunakan Kuda
Para warga kerajaan yang pandai memanah kemudian dijadikan sebagai pasukan perang panahan. Sambil menunggangi kuda saat berhadapan dengan musuh, mereka juga mengayunkan busur panah.
Yang unik, busur panah tidak dalam posisi vertikal, melainkan tetap miring sehingga tidak teramati oleh musuh jika hendak menyerang.
“Yang namanya pasukan panah, digunakannya berbagai macam, salah satunya dengan menunggangi kuda. Ini cara menggunakannya itu lurus (dimiringkan) tidak ke atas, walaupun sedang berkuda,” kata Bayu Gustia Nugraha.
Dijadikan sebagai Budaya Kerajaan Sumedang Larang
Saking gemarnya memakai panahan, para punggawa keraton di Sumedang dulu juga menjadikan panahan ini sebagai sebuah acara yang mendekatkan dengan masyarakat.
Mereka menjalankan berbagai acara mulai dari berburu hama dari atas bukit, memanah di tanah kosong sampai melaksanakan Pasanggiri Panahan atau acara memanah berbentuk sayembara.
“Para abdi dalem waktu itu mengusulkan kepada raja untuk membikinkan sayembara yang namanya tradisi Pasanggiri Panahan Kasumedangan, di sana kemudian muncul tradisi lainnya yakni memanah sembari bersila, tidak berdiri,” katanya lagi.
Ajarkan Manusia untuk Bertahan Hidup
Sebagai tradisi dan budaya yang terus dirawat, Panah Kasumedang turut memiliki makna yakni sebagai salah satu cara manusia untuk bertahan hidup.
Merujuk laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi ini di antaranya kerja keras, kerja sama, persaingan, kecermatan, ketertiban dan sportivitas. Untuk kerja keras terlihat dari proses latihan awal sampai mahir. Nilai kerja sama tercermin dari kegiatannya yang melibatkan banyak pihak di dalam acara Pasanggiri, yakni pemanahnya, warganya, juri, dan penonton.
Kemudian persaingan terlihat dari cara para pemanah menarik busur panah dan membidik sasaran. Mereka akan berusaha agar bidikannya dapat mengenai bagian-bagian tertentu dari tubuh Dasamuka. Nilai besar dari panahan adalah bagaimana mempertahankan kerajaan dari serangan musuh lewat sportivitas dan mengandalkan kebersamaan.
Membidik Menggunakan Hati
Keunikan lain dari tradisi panahan ini adalah cara membidiknya yang tidak menggunakan mata, melainkan menggunakan hati.
Ini karena ujung belakang anak panah diletakkan tepat di depan dada saat membidik sasaran target.
Dengan tekad dan keyakinkan kuat untuk mempertahankan kerajaan, maka musuh atau buruan akan langsung terkena busur panah.
“Uniknya Panah Kasumedangan itu tidak ada yang dibidik, karena dibidiknya memakai hati,” tambah Bayu Gustia Nugraha.