Melihat Lukisan Mataram Abad ke-19, Dokumentasikan Tradisi Masyarakat yang Kini Telah Hilang
Lukisan itu menggambarkan tradisi masyarakat di Ibu Kota Mataram pada masa itu
Dijelaskan bahwa lukisan itu dibuat pada tahun 1860-an atau sekitar abad ke-19.
Melihat Lukisan Mataram Abad ke-19, Dokumentasikan Tradisi Masyarakat yang Kini Telah Hilang
Dalam postingan akun Instagram @sejarahjogya, tampak beberapa lukisan yang menggambarkan suasana Mataram era Hindia Belanda. Dijelaskan bahwa lukisan itu dibuat pada tahun 1860-an atau sekitar abad ke-19.
-
Di mana lukisan batu kuno ditemukan? Kelompok peneliti Italia menemukan lukisan tersebut di dalam rongga yang kemudian dinamai 'Gua Orang Tua,' selama ekspedisi lapangan di dataran tinggi Gilf Al-Kebir dan Lembah Nil.
-
Apa yang digambarkan oleh pahatan batu kuno di Malaysia? Para peneliti baru-baru ini menemukan dua pahatan antropomorfik yang menggambarkan pejuang dari kelompok suku asli berkonflik dengan kelas penguasa dan suku-suku lain.
-
Siapa yang menemukan lukisan prasejarah? Arkeolog di Spanyol menemukan gua purba yang sulit dijangkau dan mengerahkan drone untuk melihat isi gua tersebut.
-
Dimana lukisan batu itu ditemukan? Fjeld kemudian mengamati batu besar itu dan melihat warna aneh disertai lukisan kuno. Sumber: Ancient Pages Dia lalu memotret lukisan kuno itu menggunakan ponselnya.
-
Kenapa Mataram Culture Festival diadakan? Menurut Wabup Bantul, selain sebagai wadah untuk mengenalkan aktivitas budaya khas Kabupaten Bantul, ajang tersebut juga sebagai upaya dalam menarik wisatawan dan meningkatkan perekonomian masyarakat.
-
Apa yang digambarkan di lukisan batu tersebut? Lukisan batu ini menggambarkan bayi baru lahir di antara orang tua, dengan bintang di timur dan dua hewan.
Dalam postingan pertama, tampak sebuah lukisan, yang berdasarkan keterangan, menggambarkan suasana kota utama Mataram yaitu "Kuta Gedhe”. Pada bagian kiri lukisan tersebut, terdapat bangunan yang dinarasikan sebagai pasar.
Lalu di kejauhan, tampak benteng dengan bangunan Joglo. Di bagian kanan terdapat pohon besar serta Watu Gilang dan Watu Gatheng, yang dulunya menjadi tempat sujud Panembahan Senopati dan taman bermain Raden Ronggo.
“Foto ini memang seperti ‘menumpuk’ spot-spot penting di Kotagede dalam satu frame dan tidak terlalu menggambarkan sesuai lokasinya. Bagaimanapun gambaran ini sangat membantu kita dalam berkhayal seperti apa suasana ibu kota pertama Mataram Islam pada waktu itu,” tulis keterangan foto itu dari @sejarahjogya.
Lalu pada postingan kedua, ada sebuah lukisan yang dibuat sekitar tahun 1865-1876. Dalam lukisan itu, pelukis merekonstruksikan tradisi khas Mataraman setiap hari Senin dan Sabtu yang disebut “Senenan dan Setonan”.
Dalam keterangan foto disebutkan bahwa Senenan dan Setonan merupakan latihan perang dengan menggunakan tombak tumpul sambil menunggangi kuda yang dilakukan di alun-alun depan istana keraton.
Sebagai contoh pada tahun 1670, Susuhunan Amangkurat I di Pleret memerintahkan bahwa setiap bangsawan wajib melaksanakan perang-perangan dengan seragam besi, mantel kain merah, dan kopiah berwarna merah.
Tradisi Setonan ini dihentikan pada masa pemerintahan Pakubuwono VII (1830-1858) di Surakarta. Jadi kemungkinan saat gambar itu dilukis pada tahun 1960-an, tradisi tersebut telah dihentikan.
Postingan berikutnya adalah lukisan yang kemungkinan dibuat pada tahun 1883 yang menggambarkan tradisi “rampokkan sima”.
Dalam tradisi itu rakyat berkumpul dengan membawa tombak lalu seekor sima atau macan dilepas di tengah-tengah kabupaten.
Disebutkan dalam caption Instagram bahwa tradisi tersebut biasanya dilakukan pada masa lebaran. Dalam keterangan postingan, disebutkan pula bahwa tradisi itu bermula dari ibu kota Mataram.
Di Yogya masih tersisa kandang sima yang letaknya di timur pagelaran (sebelah SD Keputran). Letaknya sama persis dengan Kandhang Sima pada denah Kraton Plered.