Sejarah Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Dulu Bangunan Kecil dari Anyaman Bambu
Merdeka.com - Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur merupakan salah satu institusi pendidikan berbasis pesantren yang sangat terkenal di Indonesia. Namun, siapa sangka jika dulunya pondok pesantren ini berupa bangunan kecil yang terbuat dari anyaman bambu.
Tebuireng merupakan nama pedukuhan yang termasuk wilayah administratif Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang. Nama pedukuhan ini kemudian dijadikan nama pesantren yang didirikan oleh KH. M. Hasyim Asy’ari.
Asal Mula Nama Tebuireng
-
Siapa yang membangun Pesantren Bumi Tanah Jawi? Cak Diqin mendirikan Pondok Pesantren (Ponpes) Tahfidz Qur’an Bumi Tanah Jawi di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.
-
Siapa yang pernah belajar di pondok pesantren? Anak sulungnya, Laura Meizani Nasseru Asry, memilih untuk melanjutkan pendidikan di pondok pesantren setelah menyelesaikan Sekolah Dasar.
-
Siapa yang mendirikan pondok pesantren di Kediri? Kiai nyentrik ini mendirikan pesantren tak jauh dari bekas lokalisasi.
-
Apa nama kecil pendiri Pondok Pesantren Tremas? Sang Pendiri Kiai Abdul Manan memiliki nama kecil Bagus Darso.
-
Apa nama asli daerah tempat pondok pesantren Langitan berdiri? Nama Pesantren Langitan berasal dari nama lama daerah tempat pesantren itu berdiri, Plang Wetan atau Plangitan yang kemudian dibaca Langitan.
-
Kapan Pondok Tegalsari didirikan? Selanjutnya, pada tahun 1680, ia mendirikan Pondok Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari.
©2021 Merdeka.com/jawatimuran.disperpusip.jatimprov.go.id
Alhmarhum KH. Ishomuddin Hadzik (Gus Ishom) pernah bercerita mengenai asal usul nama Tebuireng. Konon, nama tersebut berasal dari kata “kebo ireng” yang artinya kerbau hitam. Dulu, ada seorang penduduk yang memiliki kerbau berwarna kuning. Suatu hari kerbau tersebut menghilang.
Setelah dicari ke sana ke mari, kerbau tersebut ditemukan terperosok di rawa-rawa. Tubuhnya penuh lintah dan sekujur kulitnya berubah menjadi hitam. Peristiwa ini membuat pemilik kerbau berteriak “kebo ireng…kebo ireng”. Sejak saat itu, dusun tersebut dikenal dengan nama Kebo Ireng.
Selanjutnya, ketika penduduk dusun mulai ramai, nama Kebo Ireng berubah menjadi Tebuireng. Tidak diketahui pasti kapan perubahan itu terjadi. Penamaan Tebuireng diduga ada kaitannya dengan munculnya pabrik gula di selatan dusun yang mendorong masyarakat menanam tebu.
Ada kemungkinan, tebu yang ditanam berwarna hitam sehingga dusun tersebut dinamakan Tebu Ireng (tebu yang berwarna hitam). Nama Tebu dan Ireng kemudian digabung menjadi Tebuireng, tanpa pemisah spasi. Dalam terminologi Ilmu Nahwu, penggabungan dua nama menjadi satu seperti itu, disebut Murokkab Majzi.
Ada versi lain yang menjelaskan bahwa nama Tebuireng merupakan pemberian dari seorang punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan kemudian tinggal di sana, seperti melansir laman resmi Dinas Perpustakaan dan Arsip Provinsi Jawa Timur (diakses 2 Agustus 2021).
Berdirinya Pesantren Tebuireng
©2021 Merdeka.com/jawatimuran.disperpusip.jatimprov.go.id
Pada penghujung abad ke-19, di sekitar Tebuireng banyak bermunculan pabrik milik orang asing, terutama pabrik gula. Dilihat dari sisi ekonomi, keberadaan pabrik-pabrik tersebut menguntungkan karena akan membuka banyak lapangan kerja. Tetapi dari sisi psikologis justru merugikan, lantaran masyarakat belum siap menghadapi industrialisasi.
Masyarakat belum terbiasa menerima upah sebagai buruh pabrik. Akhirnya, upah yang mereka terima digunakan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif-hedonis, seperti berjudi dan pesta miras.
Ketergantungan rakyat terhadap pabrik berlanjut pada penjualan tanah-tanah rakyat yang memungkinkan hilangnya hak milik atas tanah. Hal ini diperparah dengan gaya hidup masyarakat yang sangat jauh dari nilai-nilai agama.
Kondisi masyarakat yang demikian menimbulkan keprihatinan mendalam pada diri Kiai Hasyim. Beliau kemudian membeli sebidang tanah milik seorang dalang terkenal di dusun Tebuireng. Pada 26 Rabiul Awal 1317 H atau 3 Agustus 1899, Kiai Hasyim mendirikan sebuah bangunan kecil yang terbuat dari anyaman bambu berukuran 6x8 meter.
Bangunan sederhana itu disekat menjadi dua bagian. Bagian belakang dijadikan tempat tinggal Kiai Hasyim bersama istrinya, Nyai Khodijah. Sementara bagian depan dijadikan musala. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang. Tiga bulan kemudian jumlahnya meningkat menjadi 28 orang.
Intimidasi dan Fitnah
©2021 Merdeka.com/jawatimuran.disperpusip.jatimprov.go.id
Kehadiran Kiai Hasyim dan Pondok Pesantren Tebuireng tidak langsung mendapat sambutan baik oleh masyarakat setempat. Intimidasi dan fitnah datang silih berganti.
Selain Kiai Hasyim, para santri juga sering mendapat teror dari kelompok-kelompok yang tidak menyukai keberadaan pesantren di Tebuireng. Teror yang membayangi Pesantren Tebuireng kala itu beraneka ragam.
Mulai pelemparan batu, kayu, atau penusukkan senjata tajam ke bilik bambu yang menjadi bangunan pondok. Para santri seringkali tidur bergerombol di tengah-tengah ruangan lantaran takut tertusuk benda tajam.
Di luar pondok, para santri juga mengalami gangguan. Mereka diancam untuk meninggalkan pengaruh Kiai Hasyim. Gangguan-gangguan tersebut berlangsung selama dua setengah tahun. Untuk menghadapi hal tersebut, para santri disiagakan berjaga secara bergiliran.
Latih Pencak Silat dan Kanuragan
Saat gangguan semakin membahayakan dan menghalangi sejumlah aktivitas santri, Kiai Hasyim mengutus seorang santri pergi ke Cirebon, Jawa Barat guna menemui Kiai Saleh Benda, Kiai Abdullah Panguragan, Kiai Sansuri Wanantara, dan Kiai Abdul Jamil Buntet. Keempatnya merupakan sahabat karib Kiai Hasyim.
Keempat kiai tersebut diundang Kiai Hasyim ke Tebuireng untuk melatih pencak silat dan kanuragan para santri selama kurang lebih delapan bulan.
Berbekal kanuragan dan ilmu pencak silat, para santri tidak khawatir lagi terhadap gangguan dari luar. Bahkan Kiai Hasyim sering mengadakan ronda malam seorang diri. Kawanan penjahat sering beradu fisik dengannya, namun dapat diatasi dengan mudah.
Banyak di antara kawanan penjahat yang kemudian meminta diajari ilmu pencak silat dan bersedia menjadi pengikut Kiai Hasyim. Sejak saat itu Kiai Hasyim mulai diakui sebagai bapak, guru, sekaligus pemimpin masyarakat.
Selain dikenal ahli dalam ilmu pencak silat, Kiai Hasyim juga dikenal ahli dalam bidang pertanian, pertanahan, serta produktif dalam menulis. Kiai Hasyim menjadi teladan bagi masyarakat sekitar yang mayoritas berprofesi sebagai petani.
Suatu ketika anak seorang majikan Pabrik Gula Tjoekir berkebangsaan Belanda menderita sakit parah dan dalam keadaan kritis. Setelah dimintakan air doa kepada Kiai Hasyim, anak tersebut sembuh. (mdk/rka)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Sang pendiri pondok pesantren terkenal cerdas sejak kecil
Baca SelengkapnyaPesantren ini terkenal dengan program pemberdayaan masyarakat sekitar.
Baca SelengkapnyaPondok pesantren ini pernah beberapa kali menjadi basis perjuangan rakyat melawan penjajah.
Baca SelengkapnyaPesantren ini berencana mendirikan Posyandu Center of Excellent.
Baca SelengkapnyaSang pendiri, Kiai Nur baru mendirikan surau saat puluhan santri datang untuk berguru padanya.
Baca SelengkapnyaPada masa Perang Kemerdekaan, sekolah ini digunakan sebagai markas para pemuda pejuang.
Baca SelengkapnyaNamanya sempat menjadi bagian dari pendidikan Islam masa pergerakan nasional yang diadopsi dari pendidikan tinggi masa kekhalifahan Turki Usmani.
Baca SelengkapnyaRumah Joglo ini jadi ikon Desa Wisata Tanjung di Kabupaten Sleman DIY.
Baca SelengkapnyaRumah Tuo Rantau Panjang jadi salah satu warisan nenek moyang Jambi 700 tahun silam yang masih bisa disaksikan hingga sekarang.
Baca SelengkapnyaBegini sejarah Masjid Ats Tsauroh Serang yang bergaya pendopo kuno
Baca SelengkapnyaPondok Pesantren Al Fatah di Desa Temboro Kabupaten Magetan ini jadi pusat Jemaah Tabligh terbesar di Asia Tenggara. Santrinya bisa naik kuda hingga unta.
Baca SelengkapnyaTempat sejumlah tokoh besar Indonesia menimba ilmu agama dan pengetahuan umum.
Baca Selengkapnya