Membedah Dua Sisi Rokok: Penerimaan dan Beban Negara
Merdeka.com - Setiap tahun, tarif cukai rokok selalu naik. Hanya ada dua tahun di mana tidak terjadi kenaikan tarif cukai rokok. Yaitu 2014 dan 2019. Kenaikan tarif cukai rokok tertinggi pada 2020. Kenaikannya mencapai 23 persen.
Tahun depan, tarif cukai rokok diketok naik 12 persen. Keputusan berlaku mulai 1 Januari 2022. Kenaikan tarif ini diharap mendukung tercapainya target penerimaan cukai rokok 2022 sebesar Rp193 triliun.
©2021 Merdeka.com-
Bagaimana cukai rokok mempengaruhi industri? 'Ini kelihatannya sudah mulai jenuh. Ini kelihatan bahwa mungkin cukai ini akan menjadi pengendali dari industri hasil tembakau,' ujar Benny, Jakarta, Rabu (29/5).
-
Apa dampak dari perokok? Kebiasaan merokok ini dapat menyebabkan masalah paru-paru dan berkontribusi pada risiko stunting jangka panjang pada anak.
-
Dimana cukai rokok menjadi pengendali industri? 'Ini kelihatannya sudah mulai jenuh. Ini kelihatan bahwa mungkin cukai ini akan menjadi pengendali dari industri hasil tembakau,' ujar Benny, Jakarta, Rabu (29/5).
-
Apa dampak buruk merokok? Zat-zat kimia yang terdapat dalam rokok merusak kolagen pada kulit, yang mengakibatkan kulit menjadi kusam dan munculnya keriput.
-
Apa penyebab turunnya cukai rokok? Adapun penurunan penerimaan negara ini disebabkan oleh penurunan produksi sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) atau rokok putih, membuat pemesanan pita cukai lebih rendah.
-
Siapa yang terkena dampak buruk dari merokok? Tidak hanya perokok aktif, perokok pasif juga terkena dampak serius dari paparan asap rokok.
Selama ini cukai rokok menjadi penyumbang terbesar dalam penerimaan cukai negara. Bea cukai mencatat kontribusi rokok mencapai 96 persen.
Kebijakan kenaikan cukai rokok setiap tahun merupakan amanat UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai. UU ini memiliki dua fungsi. Pertama, fungsi pengendalian. Naik dari sisi konsumsi maupun produksi. Kedua, budgeter atau penerimaan negara.
"Hanya 2019 karena tidak ada kebijakan, (pertumbuhan produksi) mengalami peningkatan, tapi di luar itu growth selalu turun. Itu langkah pengendalian," kata Kepala Subdirektorat Tarif Cukai dan Harga, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, Akbar Harfianto kepada merdeka.com, pekan lalu.
Berangkat dari data Kementerian Perindustrian. Pada 2014 terdapat 700 perusahaan rokok dengan kemampuan produksi 346,3 miliar batang. Pada 2015, jumlah perusahaan rokok turun menjadi 600. Namun produksi justru meningkat menjadi 348,1 miliar batang. Kembali naik menjadi 350 miliar batang di 2016.
Sejak 2017, menurut catatan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), produksi rokok mencapai 336,34 miliar batang, 2018 menjadi 332,68 miliar batang. Pada 2019 produksinya sempat 363,56 miliar batang. Lalu kembali turun pada 2020 menjadi 330,59 miliar batang. Tahun ini, 297,53 miliar batang.
Turun naiknya jumlah produksi rokok, tidak berbanding lurus dengan penerimaan negara dari cukai rokok. Angkanya terus naik. Dalam tiga tahun terakhir, kenaikannya cukup signifikan. Pada 2020 saja, penerimaan cukai rokok mencapai Rp179,83 triliun.
"Penerimaan negara dari cukai rokok sebenarnya bukan tujuan utama. Tujuan utama dari cukai adalah menurunkan konsumsi, prevalensi, dan persentase orang yang merokok," ujar ekonom Universitas Indonesia yang juga Direktur SDM UI, Abdillah Ahsan.
Penerimaan negara dari cukai rokok, mengalir juga daerah untuk berbagai program. Disebut dengan istilah Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT). Tahun ini ada tiga provinsi penerima terbesar Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT). Terbesar diberikan kepada Jawa Timur Rp1,93 miliar. Kedua Jawa Tengah sebesar Rp743,46 juta. Jawa Barat berada di posisi tiga dengan Rp401,65 juta.
DBH CHT digunakan untuk mendanai lima program. Yaitu peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal.
"DBH CHT juga ambil andil dalam pembiayaan untuk penanganan Covid-19," ucap Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar-Lembaga Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Syarif Hidayat pada merdeka.com.
DBH CHT juga berperan dalam 96 pembangunan dan 370 rehabilitasi fasilitas kesehatan, penyediaan alat kesehatan, obat-obatan, pembayaran iuran jaminan kesehatan hingga pelatihan tenaga administrasi dan kesehatan.
"Minimal 37 persen digunakan untuk pembiayaan pemeliharaan kesehatan. Atau digunakan untuk memperbaiki meningkatkan kapasitas fasilitas kesehatan misalnya untuk memelihara puskesmas dan sebagainya," ujar Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, Achmad Yurianto.
Benarkah jadi Beban Negara?
Bagai dua sisi. Rokok memberi sumbangan besar pada kas negara. Tapi perokok, dinilai sebagai beban negara. Selama ini, rokok menyebabkan beban keuangan negara. Menteri Sri Mulyani mencatat, biaya kesehatan akibat merokok mencapai Rp17,9 triliun hingga Rp27,7 triliun setahun. BPJS Kesehatan harus menanggung Rp10,5-15,6 triliun dari total biaya kesehatan penyakit akibat rokok. Data ini sejalan dengan riset Center for Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI) sepanjang 2019.
Menurut Sri Mulyani, 20-30 persen dari subsidi Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN per tahunnya adalah untuk membiayai perawatan akibat rokok. Sementara alokasi penerimaan cukai rokok untuk BPJS Kesehatan biayai penyakit peserta terkait rokok hanya Rp7,4 triliun.
Jika melihat data yang dipaparkan BPJS Kesehatan, posisi pertama penyakit katastropik atau penyakit berbiaya mahal adalah jantung. Proporsi pembiayaan mencapai 49 persen. Kemudian disusul kanker 18 persen, stroke 13 persen, gagal ginjal 11 persen.
Dari Rp20 triliun biaya untuk penyakit berbiaya mahal, sekitar Rp9,8 triliun dikeluarkan BPJS Kesehatan untuk membayar pelayanan kesehatan peserta JKN-KIS yang mengidap jantung. Jumlah kasus mencapai 12,9 juta. Kanker di posisi kedua dengan biaya sebesar Rp3,5 triliun untuk 2,5 juta kasus. Lalu penyakit stroke dengan jumlah kasus 2 juta dan menghabiskan anggaran Rp2,5 triliun.
BPJS Kesehatan tidak serta merta mengambil kesimpulan penyakit berbiaya besar adalah penyakit akibat rokok.
"Berapa persen yang menjadi beban klaim yang harus dibayar BPJS terhadap penyakit yang disebabkan karena rokok, ini masih belum ada datanya. Jadi tidak selalu penyakit akibat rokok itu kena di paru-paru saja kan," kata Achmad Yurianto.
Achmad Yurianto punya penjelasan belum adanya kesimpulan besarnya biaya penyakit akibat rokok. BPJS belum menerapkan sistem jaminan sosial dengan konsep covering. Konsep yang diterapkan negara maju. Konsep ini memungkinkan beban biaya kesehatan bagi perokok tidak sepenuhnya ditanggung negara. Jika konsep ini dijalankan, lebih terlihat data kas negara yang digunakan untuk biaya kesehatan penyakit akibat rokok.
Dia memberikan contoh. Ketika ada pasien datang dengan keluhan penyakit dan didiagnosis tak ada riwayat rokok, maka negara menanggung sepenuhnya biaya kesehatan. Sebaliknya, jika penyakit pasien ada korelasi dengan rokok, maka pasien harus menanggung sebagian biaya kesehatan.
"Maka anda tidak ditanggung semua atas cost sharing atau negara-negara lain mengatakan 25 persen anda bayar sendiri," jelasnya.
Indonesia belum bisa menerapkan konsep itu. BPJS mengejar agar semua orang menjadi peserta JKN. Karena itu BPJS tidak mengurusi mengenai asal usul penyakit. Termasuk akibat rokok. Rekam jejak penyakit pasien BPJS hanya diketahui di fasilitas kesehatan saja.
Dengan kata lain, hanya dokter yang bisa memberikan kesimpulan. Dia mencontohkan penyakit kanker. Tidak serta merta hanya diderita orang yang merokok. Meski demikian Yurianto mengamini. Penyakit karena rokok makin meningkat. Relevansinya dengan jumlah perokok aktif.
Kenaikan Cukai dan Jumlah Perokok
Mayoritas negara menunjukkan tren penurunan dalam prevalensi merokok usia di atas 15. Termasuk Indonesia. Berdasar analisis historis pola konsumsi rokok yang diproduksi melalui prevalensi merokok usia di atas 15 tahun di negara-negara anggota OECD dan 6 mitra strategis OECD.
"Kenaikan harga cukai rokok di Indonesia sudah berhasil menurunkan prevalensi merokok," ujar Peneliti Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Padjajaran (Unpad), Wawan Hermawan dalam diskusi Kebijakan Cukai Rokok & Masa Depan Industri Hasil Tembakau.
Data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah perokok di bawah usia 18 tahun dalam tiga tahun terakhir berhasil dikendalikan. Pada 2018 misalnya. Jumlah presentase perokok di bawah 18 tahun secara nasional mencapai 9,65 persen. Angka ini berhasil dikendalikan pada 2019 menjadi 3,87 persen. Sedangkan di 2020 angkanya turun tipis dan menjadi 3,81 persen.
Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat Badan Pusat Statistik (BPS), Ahmad Avenzora mengungkapkan, penduduk berumur 30 tahun ke atas menjadi kelompok yang paling banyak dalam merokok sebulan.
Rata-rata konsumsi rokok dan tembakau per kapita seminggu untuk jenis rokok filter adalah yang terbesar. Baik tahun 2019 maupun tahun 2020 yaitu 12,56 batang dan 12,34 batang.
"Tahun 2019 maupun tahun 2020 yaitu Rp12.876 dan Rp13.424," ucapnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra, Ronald, Wilfridus Setu Embu, Harwanto Bimo Pratomo
(mdk/noe)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Pengusaha menyoroti kinerja fungsi cukai yang tidak tercapai sebagai sumber penerimaan negara serta pengendalian konsumsi.
Baca SelengkapnyaBerdasarkan data penindakan Bea Cukai, 94,96 persen rokok ilegal tidak menggunakan pita cukai.
Baca SelengkapnyaPenurunan produksi industri rokok diakibatkan kenaikan cukai eksesif pada periode 2023–2024.
Baca SelengkapnyaKenaikan tarif cukai rokok sangat berpengaruh pada keputusan seseorang untuk merokok, semakin mahal maka prevalensi perokok semakin bisa ditekan.
Baca SelengkapnyaMeskipun kebijakan kenaikan harga dan tarif cukai rokok bertujuan untuk mengurangi konsumsi, namun mayoritas konsumen lebih memilih rokok ilegal.
Baca SelengkapnyaSemakin tingginya harga rokok mendorong perokok pindah ke alternatif rokok yang lebih murah.
Baca Selengkapnya"Beban kesehatan yang dikeluarkan karena penyakit paru kronis itu jauh lebih besar dari pendapatan Bea Cukai," kata Budi.
Baca SelengkapnyaPengeluaran rumah tangga untuk kesehatan akibat konsumsi rokok secara langsung dan tidak langsung sebesar sebesar Rp34,1 triliun.
Baca SelengkapnyaDari empat pilar dalam penyusunan kebijakan produksi hasil tembakau, ekosistem pertembakauan di Indonesia harus diperhatikan secara keseluruhan.
Baca SelengkapnyaAngka prevalensi perokok tetap tinggi dan penerimaan negara belum optimal
Baca SelengkapnyaRokok menjadi salah satu penyebab atau biang kerok kemiskinan di Indonesia.
Baca SelengkapnyaRPP Kesehatan yang dikeluarkan oleh pemerintah terdiri dari 1.166 pasal. Dari 26 pasal yang ada, cenderung melarang terhadap IHT.
Baca Selengkapnya