Mengkritisi pragmatisme PDIP di balik revisi UU MD3
Merdeka.com - Salah satu alasan PDIP mendorong revisi Undang-undang No17 tahun 2014 tentang MPR, DPR dan DPD (MD3) adalah untuk mendapat jatah kursi pimpinan dewan. Sebab, sebagai pemenang pemilu 2014, PDIP justru diganjal oleh sistem paket yang diatur dalam UU MD3 tersebut.
Keinginan PDIP ini rupanya ditanggapi baik di Senayan. Sepuluh fraksi di DPR menyatakan persetujuan dalam rapat paripurna mengesahkan revisi UU MD3, Selasa (24/1) kemarin.
Namun, peneliti senior Formappi, Lucius Karus menilai, nuansa politik pragmatis masih kentara dalam revisi terbaru ini. PDIP, kata Lucius tidak bisa keluar dari kepentingan Pilpres 2019, bukan pada semangat mematenkan sistem yang ada.
-
Bagaimana PDIP memenangkan pemilu? Kemenangan ini menunjukkan bahwa citra dan program kerja yang ditawarkan oleh PDIP dapat diterima oleh masyarakat luas.Hal ini juga menegaskan bahwa visi dan misi partai ini sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat Indonesia.
-
Kenapa PDIP melobi PKB untuk Pilkada Jakarta? 'Atas dasar fakta itu, kami berniat menjalin kerja sama politik dengan PKB. Waktu itu kan PDIP belum bisa mengajukan calon sendiri sebab Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60 yang membolehkan kami mengajukan calon sendiri belum ada,' tambah dia.
-
Siapa yang diusung PDIP? Tri Rismaharini dengan Zahrul Azhar Asumta atau Gus Hans yang diusung PDIP.
-
Mengapa PDIP menjadi partai pemenang? PDIP berhasil menjadi partai pemenang pemilu 2019 dengan memperoleh dukungan yang signifikan dari masyarakat.
-
Siapa yang memimpin konsolidasi PDIP di Bali? 'Hari ini Ibu Megawati akan memimpin langsung konsolidasi PDIP di Bali, di mana seluruh kader partai dihadirkan untuk mengompakkan suatu semangat juang dan kita lihat Bali ini militansinya sangat tinggi.'
"Sayang sebenarnya dengan upaya-upaya revisi MD3 ini. Revisi tersebut tak akan banyak membantu bangsa Indonesia untuk segera melihat institusi parlemen yang kuat. Atas nama kepentingan sesaat dan nafsu kekuasaan, UU bikinan DPR sendiri rela diobok-obok," jelas Lucius.
Agar tidak sekadar revisi dan mengakomodir kepentingan, PDIP, kata Lucius harus konsisten pada perubahan sistem proporsional. Menurut dia, sistem proporsional membuka ruang seluas-luasnya bagi pemenang pemilu untuk menduduki kursi pimpinan.
Menurut Lucius, masalah utama soal sistem pemilihan pimpinan tetap menjadi problem DPR selanjutnya. Itu berarti dalam waktu yang tidak terlalu lama, menjelang pelaksanaan Pemilu 2019, UU MD3 ini masih mungkin akan dirombak lagi demi mengakomodasi konfigurasi politik baru dalam Pemilu 2019.
"Kompromi di UU MD3 akan diteruskan dengan kompromi-kompromi lain pada RUU tertentu, yang penting semuanya bisa terpuaskan selera kekuasaannya," jelasnya.
Meski sudah disahkan dalam rapat paripurna, nasib undang-undang ini akan ditentukan di Badan Legislasi (Baleg) DPR. Sejalan dengan itu, dua partai lain seperti Gerindra dan PKB juga mengincar masing-masing satu kursi.
Ketua DPP Partai Gerindra, Desmond J Mahesa mengatakan, usulan penambahan pimpinan DPR/MPR ini didorong karena tidak ingin lembaga parlemen hanya dijadikan alat untuk mengakomodir kepentingan PDIP sebagai partai penguasa.
"Jangan sampai memaksakan kehendak ya membuat tontonan enggak lucu, parlemen ada sejarahnya. Kok PDIP lucu, atau betapa bodohnya tunduk sama PDIP. Proporsi keadilannya jangan mentang-mentang sedang berkuasa," kata Desmond di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/1).
Perombakan atau penambahan jajaran pimpinan DPR/MPR, kata dia, harus didasarkan pada asas keadilan dan proporsionalitas. Untuk itu, pihaknya mengaku siap apabila kocok ulang membuat posisi wakil Ketua DPR dari Gerindra berubah.
"Bagi Gerindra, ya kita selesaikan dengan kondisi yang ada, siap menang siap kalah, kalau mengincar jabatan berarti enggak siap kalah, kenapa bongkar-bongkar. Kalau dibongkar asas proporsionalitasnya, Gerindra berubah enggak apa-apa, ini keadilan," tegasnya.
Desmond menilai sebenarnya tidak ada hak bagi PDIP untuk meminta jatah pimpinan DPR dalam UU MD3 yang sekarang. Dugaannya, ada kompromi atau 'kongkalikong' antarfraksi partai agar PDIP bisa menempatkan kadernya di pimpinan dewan.
"Pemenang pemilu dengan UU MD3 baru enggak ada hak-haknya, ini kan kompromi-kompromi. Koalisi Merah Putih (KMP) menang di parlemen tidak harus dibongkar berarti siap kalah, kenyataan tidak kalah," klaim Desmond.
Sementara itu, Lucius Karus mengatakan, permintaan kursi pimpinan yang juga diajukan oleh fraksi PKB dan Gerindra merupakan sebuah keniscayaan jika alasan yang digunakan oleh PDIP mengacu pada perolehan suara dan kursi pemilu 2014.
Sebab hal yang tak bisa dihindari PDIP jika kedua fraksi ini menuntut yang sama. "Saya kira dengan alasan tersebut, memang tak terhindarkan tuntutan fraksi lain yang juga secara proporsional menempati rangking lima besar untuk menuntut kursi pimpinan sebagaimana kini akan diberikan kepada PDIP," tegasnya.
Lucius menilai PDIP harus konsisten dengan memperjuangkan penggantian sistem pemilihan dari sekarang yang bersistem paket ke proporsional. Dengan sistem proporsional PDIP akan otomatis mendapatkan jatah kursi pimpinan.
Sayangnya, kata Lucius, kesan bagi-bagi jatah yang terbaca ketika PDIP merasa sudah cukup dengan adanya tambahan satu kursi pimpinan tanpa perlu mengubah sistem pemilihan pimpinan.
"Memang akhirnya dibalik alasan mulia yang disampaikan PDIP sesungguhnya yang paling kental tetap saja alasan bagi-bagi jatah alias transaksional," tukasnya.
Pengamat politik Lingkar Madani Ray Rangkuti menilai, semangat revisi ini tidak lari jauh alasan kepentingan PDIP semata. Menjelang Pilpres 2019, kata dia, PDIP tentunya ingin 'merebut' kursi pimpinan.
"Ini kalau kita baca draf revisi UU MD3 itu hanya semata-mata untuk mengakomodir pemenang pemilu jadi pimpinan. Enggak ada yang urgent. Makanya mereka bilang ini revisi terbatas," kata Ray kepada merdeka.com dalam sebuah diskusi di kantor Formappi, Matraman, Jakarta Pusat beberapa waktu lalu.
Menurut Ray, revisi terbatas ini masih jauh dari harapan untuk kepentingan publik tapi lebih pada mengakomodir kepentingan PDIP sebagai pemenang pemilu. Alih-alih menghasilkan sebuah undang-undang yang berkualitas, Ray menduga revisi ini akan dilakukan pasca Pilpres 2019 nanti.
"Jadi 2019 mereka akan revisi lagi. Kenapa, ya karena ini hanya menjawab kepentingan dua tahun ini gitu lho. Bagaimana caranya supaya PDIP dapat kursi pimpinan," jelas Ray. (mdk/bal)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
PDIP menjadi partai politik yang berhasil meraih kemenangan pada pemilihan legislatif (Pileg) 2024.
Baca SelengkapnyaPDIP menilai sangat berbahaya jika Revisi Undang-Undang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Agung untuk mengakomodir kepentingan
Baca SelengkapnyaSaid menyatakan bahwa para pimpinan partai politik sepakat tidak akan ada revisi UU MD3.
Baca SelengkapnyaPDIP menilai dengan bertambahnya jumlah kementerian artinya menambah jumlah anggaran atau tidak efisien.
Baca SelengkapnyaGerindra tidak mendukung wacana revisi Undang-Undang MD3 soal kursi Ketua DPR.
Baca SelengkapnyaPKS Usul Pimpinan DPR Diisi Seluruh Fraksi, Cak Imin: Prosesnya Agak Sulit
Baca SelengkapnyaGerindra menyebut mekanisme pemilihan ketua DPR masih sesuai UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (UU MD3).
Baca SelengkapnyaSekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto tersenyum lebar saat mendengar keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah ambang batas atau threshold
Baca SelengkapnyaKemungkinan itu terbuka tentunya menyikapi putusan Mahkamah Konsitusi (MK) memutuskan pengusungan Calon Kepala Daerah tidak lagi bergantung jumlah kursi DPRD.
Baca SelengkapnyaFraksi PDIP menyatakan sikap setuju dengan beberapa catatan.
Baca SelengkapnyaSekjen PDIP Hasto menyampaikan terima kasih kepada MK.
Baca SelengkapnyaHasto menyebut keputusan MK itu membuat PDIP bisa mengusung calon Gubernur di Jakarta
Baca Selengkapnya