Dipaksa Bohong, Alasan Penggugat Ingin Ada Pilihan Tak Beragama di KTP, Berujung Ditolak MK
Para Pemohon ingin kolom agama tersebut dapat diisi dengan 'tidak beragama'.
Mahkamah Konstitusi menolak permohonan gugatan tentang pilihan kolom tidak beragama di data kependudukan seperti KTP atau Kartu Keluarga (KK).
Apa yang menjadi alasan pemohon ingin adanya pilihan tidak beragama di kolom KTP?
Raymond Kamil (Pemohon I) dan Indra Syahputra (Pemohon II) mengajukan permohonan pengujian materi Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk).
Dua pemohon tersebut khususnya menggugat tentang biodata penduduk yang memuat keterangan agama yang dianut atau kepercayaan dalam Kartu Keluarga (KK) maupun Kartu Tanda Pengenal (KTP).
Pemohon Dirugikan Hak Konstitusionalnya
Para Pemohon ingin kolom agama tersebut dapat diisi dengan ‘tidak beragama’.
“Pada kenyataannya tidak memeluk salah satu dari tujuh pilihan dan yang tidak beragama dipaksa keadaan untuk berbohong atau tidak dilayani,” ujar Pendamping para Pemohon, Teguh Sugiharto, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 146/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat.
Para Pemohon mengaku tidak memeluk agama dan kepercayaan manapun termasuk agama dan kepercayaan yang telah diakui negara Indonesia. Para Pemohon menyatakan telah mengalami kerugian hak konstitusional karena harus mengisi kolom agama tersebut dengan memilih agama atau kepercayaan, padahal dirinya ingin diinput tidak beragama.
Dipaksa Ikut Pendidikan Agama
Para Pemohon menyebut telah mengalami diskriminasi karena petugas Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil menolak agar kolom agama dalam KK maupun KTP dituliskan ‘tidak beragama’.
Menurut Para Pemohon, ketentuan yang diuji mewajibkannya untuk memeluk agama atau kepercayaan tertentu. Para Pemohon mengatakan isian kolom agama tidak bersifat isian terbuka melainkan pilihan tertutup yang memaksa.
Selain itu, Pemohon I juga mengaku mendapat penolakan untuk tidak mengikuti pendidikan agama dari petugas dinas pendidikan. Pemohon I juga berkeinginan untuk menikah kembali, tetapi dirinya tidak mungkin memenuhi hak konstitusional dimaksud kecuali melakukan kebohongan mengaku sebagai penganut agama tertentu yang diakui.
Isi Gugatan
Karena itu, selain UU Adminduk, para Pemohon juga mengajukan permohonan pengujian materi Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 12 ayat (1) huruf a dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta Pasal 302 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam petitumnya, pada pokoknya para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan pasal-pasal yang diuji tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai secara positif dan negatif yaitu setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan bebas untuk tidak memeluk agama dan kepercayaan serta kebebasan untuk mengikuti atau tidak mengikuti pendidikan agama.
Putusan MK
Perkara ini disidangkan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Arsul Sani didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Dalam putusannya, MK menolak gugatan Raymon Kamil dan Indra Syahputra nomor 146/PUU-XXII/2024 yang meminta agar kolom agama dihapus dari pencatatan kependudukan yang diatur dalam Pasal 61 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006.
"Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya," ujar Ketua MK Suhartoyo.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyebut pembatasan kebebasan bagi warga negara Indonesia, di mana setiap warga negara harus menyatakan memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan keniscayaan sebagaimana diharapkan oleh Pancasila dan diamanatkan oleh Konstitusi.
"Pembatasan yang demikian merupakan pembatasan yang proporsional dan tidak diterapkan secara opresif dan sewenang-wenang," ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Kewajiban Negara
Arief mengatakan, setiap warga negara hanya diwajibkan menyebut agama dan kepercayaannya untuk kemudian dicatat dan dibubuhkan dalam data kependudukan tanpa adanya kewajiban hukum lain yang dibebankan oleh negara dalam kaitannya dengan agama atau kepercayaan yang dipilih, selain kewajiban untuk menghormati pembatasan sebagaimana dinyatakan dalam UUD NRI Tahun 1945.
MK menegaskan, dalam amanat UUD NRI 1945 dan dicita-citakan dalam ideologi bangsa, tidak beragama atau tidak menganut kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat dinilai sebagai kebebasan beragama atau kebebasan menganut kepercayaan.
"Dengan demikian, dalil para pemohon mengenai anggapan inkonstitusional Pasal 61 Ayat 1 dan Pasal 64 Ayat 1 UU Administrasi Kependudukan, sebagaimana telah dimaknai Mahkamah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XVI/2016, adalah tidak beralasan menurut hukum," ujarnya.