Bukan Sekali, Ini Deretan Gugatan Terkait Kolom Agama di KTP yang Ditangani MK
Gugatan terhadap kewajiban mencantumkan kolom agama pada KTP memicu pro kontra di masyarakat.
Gugatan terhadap kewajiban mencantumkan kolom agama pada KTP memicu pro kontra di masyarakat. Sebagian pihak mendukung langkah ini sebagai upaya menjaga identitas dan keutuhan bangsa, sedangkan yang lain menilai bahwa kolom agama tersebut melanggar prinsip kebebasan beragama.
Perdebatan ini semakin hangat menyusul munculnya gugatan hukum yang menggugat kebijakan tersebut. Terbaru, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi yang meminta agar kolom agama dihapus dari Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Aturan wajib menulis kolom agama di dokumen kependudukan itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk).
"Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya," ujar Ketua MK Suhartoyo dilihat dari situs resmi MK, Minggu (5/1).
Gugatan ini dilayangkan Raymond Kamil dan Teguh Sugiharto. Keduanya yang mengaku tidak memeluk agama dan kepercayaan tertentu, mempersoalkan Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Adminduk.
Dalam gugatannya, kedua pemohon mendalilkan seharusnya data kependudukan di KK dan KTP dapat tidak mencantumkan kolom agama atau kepercayaan bagi warga negara yang tidak ingin memeluk agama atau kepercayaan tertentu.
Namun, hakim konstitusi berpandangan sebaliknya. Hakim konstitusi menilai pembatasan kebebasan bagi warga negara Indonesia, di mana setiap warga negara harus menyatakan memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, merupakan keniscayaan sebagaimana diharapkan Pancasila dan diamanatkan konstitusi.
"Pembatasan yang demikian merupakan pembatasan yang proporsional, dan tidak diterapkan secara opresif dan sewenang-wenang," kata hakim konstitusi, Arief Hidayat.
Menilik pada tahun 2017, MK pernah mengabulkan gugatan terkait kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan KK dengan nomor perkara 97/PUU-XIV/2016 yang diajukan oleh beberapa penganut kepercayaan. Ke depan, mereka bisa mencantumkan kepercayaan pada kolom agama di KTP dan KK.
Gugatan ini diajukan oleh empat penganut kepercayaan, yaitu Ngaay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim.
Dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa Pasal 61 UU No. 23/2006 dan Pasal 64 UU No. 24/2013 bertentangan dengan UUD 1945. MK juga menegaskan bahwa hak untuk menganut agama atau kepercayaan merupakan hak konstitusional warga negara.
Putusan MK ini memungkinkan penganut kepercayaan untuk mencantumkan aliran kepercayaan di kolom agama KTP. Hal ini menghapus pembatasan hak beragama pada agama yang diakui negara.
Keputusan ini mengakomodasi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, terutama bagi mereka yang tidak menganut agama yang diakui negara.
Ketua MK saat itu, Arief Hidayat beralasan para pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan dan pokok permohonan beralasan menurut hukum.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Arief.
MK pula menyatakan kata "agama" dalam pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 (1) UU Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 23/2006 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk "kepercayaan".
"Menyatakan pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 (1) UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2006 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ujar Arief.
Sementara itu, Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar merespons positif putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak gugatan terkait penghapusan kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Sebelumnya dua warga Raymond Kamil dan Indra Syahputra, mengajukan permohonan pengujian materiil terhadap 5 ketentuan yakni Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013.
Nasaruddin menilai keputusan MK yang menolak gugatan Raymond dan Indra sangat penting bagi Indonesia.
"Kemarin kita lihat MK menetapkan keputusan sangat penting. Ada sekelompok masyarakat minta supaya diberi kebebasan untuk tidak beragama. Diberi kebebasan untuk tidak mencantumkan agamanya dalam KTP dan MK menolak," ujar Nasaruddin.
Potensi Kekacauan Beragam Jika Gugatan Dikabulkan MK
Nasaruddin mengaku jika MK menerima gugatan tersebut akan terjadi kekacauan dalam beragama di Indonesia. Bagi Imam Masjid Istiqlal ini, adanya kolom agama di KTP akan memudahkan untuk mengenali seseorang dari agamannya.
"Jika itu dibenarkan (gugatan diterima), maka masyarakat itu akan kacau. Kita tidak tahu agamanya orang itu apa. Kalau ada KTP-nya masih bisa terdeteksi," kata dia.
Dia mencontohkan pentingnya kolom agama dalam KTP yakni untuk pernikahan. Dengan adanya kolom agama di KTP, bisa memperkuat Undang Undang Nomor 1 tahun 1074 tentang perkawinan.
"Nanti dia mau nikah dengan lintas agama. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, perkawinan yang sah manakala dilakukan sesuai dengan agamanya masing-masing," tegasnya.
Menag Ingatkan Pentingnya Jaga NKRI
Dalam kegiatan tersebut Nasaruddin juga mengingatkan pentingnya menjaga kerukunan umat beragama. Hal itu sebagai kunci utama keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Satu-satunya cara untuk menghancurkan Indonesia adalah dengan mengadu domba umat beragama. Jika kita solid, tidak ada kekuatan apapun yang mampu memecah NKRI," tegas Nasaruddin Umar.