Gaduh Kabasarnas Tersangka Suap, Ini Aturan Hukum KPK Sebenarnya Bisa Tangani Korupsi di TNI
Gaduh Kabasarnas Tersangka Suap, Ini Aturan Hukum KPK Sebenarnya Bisa Tangani Korupsi di TNI
Institusi TNI seharusnya patuh terhadap UU KPK terkait penetapan tersangka Kabasarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi.
Gaduh Kabasarnas Tersangka Suap, Ini Aturan Hukum KPK Sebenarnya Bisa Tangani Korupsi di TNI
Penetapan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfandi sebagai tersangka kasus dugaan suap pengadaan alat pendeteksi korban reruntuhan menjadi polemik.
TNI keberatan atas penetapan Henri sebagai tersangka karena beralasan bukan ranah KPK.
Henri yang merupakan perwira TNI aktif seharusnya diadili berdasarkan peradilan militer
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisaksi Abdul Fickar Hadjar menekankan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki wewenang untuk menangani kasus korupsi di instansi manapun, termasuk militer.
Dia menyampaikan hal itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2022 tentang KPK.
"UU KPK Pasal 6 sampai dengan Pasal 15, KPK itu berwenang memproses korupsi di instansi manapun, termasuk militer,"
jelas Fickar kepada wartawan, Sabtu (29/7).
merdeka.com
Gandeng Penyidik Militer
Saat melakukan penyidikan korupsi yang melibatkan prajurit militer aktif, KPK memang harus menggunakan penyidik militer. Namun, penanganan korupsi tetap menjadi kewenangan KPK bersama oditur militer atau pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum dalam peradilan militer. "Ketika menyidik harus menggunakan penyidik militer (karena tersangkanya militer aktif) tetapi penanganan korupsinya tetap menjadi kewenangan KPK dengan bersama sama oditur militer," katanya.
Aturan KPK Bisa Jerat TNI
Sejalan dengan Fickar, Ketua Dewan Nasional SETARA Institute Hendardi mengatakan, Pasal 42 UU KPK menegaskan kewenangan KPK untuk melingkupi setiap orang yang melakukan tindak pidana korupsi. Termasuk juga bagi anggota TNI yang tunduk pada peradilan militer. Ditambah, Pasal 65 ayat (2) UU TNI menegaskan peradilan militer hanya untuk jenis tindak pidana militer. Anggota TNI juga harus tunduk pada peradilan umum.
"Jadi, tidak ada tafsir lain kecuali bahwa KPK seharusnya tidak menganulir penetapan tersangka tersebut,"
ujar Hendardi dalam keterangannya
Normal dalam UU tentang Peradilan Militer yang mengatur subjek hukum peradilan militer seharusnya batal demi hukum karena UU TNI dan UU KPK telah menegaskan bahwa anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum maka tunduk pada peradilan umum.
"Ketidaksamaan di muka hukum dan privilege hukum bagi anggota TNI harus diakhiri. Presiden dan DPR selama ini terus gagal atau digagalkan untuk menuntaskan reformasi UU Peradilan Militer,"
tegas Hendardi.
Merdeka.com
Menurutnya, keberatan TNI terhadap proses hukum seharusnya tidak dilakukan dalam bentuk intimidasi terhadap institusi. Hendardi mengatakan, argumen usang selalu digunakan TNI untuk melindungi oknum anggota yang terjerat tindak pidana umum. "Keberatan TNI atas suatu proses hukum, tidak seharusnya dilakukan dalam bentuk intimidasi institusi. Dalih anggota TNI tidak tunduk pada peradilan umum adalah argumen usang yang terus digunakan TNI untuk melindungi oknum anggota yang bermasalah dengan hukum. Jika pun TNI tidak sepakat dengan langkah KPK, seharusnya menempuh jalur praperadilan," jelas Hendardi.Dia menyayangkan, KPK malah menunjukkan kelemahan dalam menjaga dan menjalankan fungsinya secara independen dengan meminta maaf atas penetapan tersangkanya.
"KPK memilih tunduk pada intimidasi institusi TNI, yang sebenarnya bertentangan dengan prinsip kesamaan di muka hukum sebagaimana amanat Konstitusi. Peristiwa ini juga menunjukkan supremasi TNI masih teramat kokoh, karena meskipun tertangkap tangan melakukan tindak pidana korupsi, korps TNI pasti akan membela dan KPK melepaskannya," jelas Hendardi."Peragaan ketidakadilan dalam penegakan hukum ini harus diakhiri. Presiden dan DPR tidak bisa membiarkan konflik norma dalam berbagai UU di atas terus menjadi instrumen ketidakadilan yang melembaga,"
tutup Hendardi.
Mabes TNI blak-blakan menyatakan keberatan atas penetapan Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebab, militer mempunyai aturan sendiri.
Penetapan tersangka seorang prajurit militer harus dilakukan oleh TNI.
Tak hanya Marsekal Madya Henri, KPK turut menetapkan tersangka Letkol Adm ABC selaku Koordinator Staf Administrasi dan Kabasarnas atas dugaan suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Kabasarnas.
"Kita dari tim Puspom TNI dengan KPK, kita rapat gelar perkara. Yang pada saat gelar perkara tersebut akan diputuskan bahwa seluruhnya yang terkait saat OTT tersebut akan ditetapkan sebagai tersangka. Karena berdasarkan alat bukti yang sudah cukup," kata Danpuspom TNI Marsekal Muda Agung Handoko saat jumpa pers, Jumat (28/7)."Dari tim kami terus terang keberatan kalau itu ditetapkan sebagai tersangka, khususnya untuk yang militer." "Karena kami punya ketentuan sendiri, punya aturan sendiri," kata Danpuspom TNI Marsekal Muda Agung Handoko.
Namun, Agung mengaku terkejut saat jumpa pers KPK Letkol ABC maupun Kabasarnas Marsdya Henri tetap ditetapkan sebagai tersangka. Keputusan itulah yang mengundang polemik di publik atas operasi tangkap tangan (OTT) KPK.