Polemik OTT Basarnas, Alexander Marwata: Itu Kekhilafan Pimpinan, Saya Tak Salahkan Penyidik
Alexander mengatakan, saat melakukan tangkap tangan, tim dari KPK sudah mendapatkan setidaknya dua alat bukti.
Pimpinan KPK Alexander Marwata memastikan polemik yang terjadi pascapengungkapan kasus suap di lingkungan Basarnas bukan kesalahan penyidik.
Polemik OTT Basarnas, Alexander Marwata: Itu Kekhilafan Pimpinan, Saya Tak Salahkan Penyidik
Penyidik Bekerja Sesuai Tugasnya
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata menyatakan, tidak ada yang salah dengan kerja tim penyelidik, penyidik hingga jaksa atas pengungkapan dan operasi tangkap tangan terkait kasus dugaan suap di lingkungan Basarnas. Menurutnya, apa yang mereka kerjakan sudah sesuai tugas dan fungsi mereka.
"Saya tidak menyalahkan penyelidik atau penyidik maupun jaksa KPK. Mereka sudah bekerja sesuai dengan kapasitas dan tugasnya."
Alexander Marwata kepada wartawan, Sabtu (29/7).
@merdeka.com
Kemudian terkait polemik yang muncul seusai penetapan tersangka. Jika kemudian dianggap ada kesalahan, katanya maka itu karena kekhilafan pimpinan.
"Jika dianggap sebagai kekhilafan, itu kekhilafan pimpinan," kata Alexander menegaskan.
@merdeka.com
Statement itu disampaikan Alexander untuk meluruskan statemen Wakil Ketua KPK Johanis Tanak yang sempat menyatakan tim penyelidik khilaf atas atas penetapan tersangka dua prajurit TNI, Kepala Basarnas Marsekal Muda Henri Alfiandi dan Letkol Adm ABC selaku Koordinator Staf Administrasi. Kekhilafan yang dimaksud telah melampaui kewenangan dari aturan yang berlaku.Proses Penyidik Tetapkan Tersangka
Alexander kemudian menjelaskan bagaimana kerja tim penyelidik hingga penyidik sebelum akhirnya menetapkan seseorang sebagai tersangka. Termasuk pada kasus dua prajurit TNI aktif yang berujung polemik. Menurutnya, saat melakukan tangkap tangan, tim dari KPK sudah mendapatkan setidaknya dua alat bukti. Yaitu keterangan para pihak yang tertangkap dan barang bukti berupa uang. Serta bukti elektronik berupa rekaman penyadapan atau percakapan.
"Artinya dari sisi kecukupan alat bukti sudah cukup untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka," jelas Alexander.
Hal itu sebagaimana pasal 1 butir 14 KUHAP. Adapun penjelasannya, tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Kemudian saat gelar perkara kasus tersebut dilakukan, hadiri lengkap penyelidik, penyidik penuntut umum, pimpinan dan juga diikuti oleh penyidik dari Puspom TNI. Saat itu, tidak ada yang menolak atau keberatan untuk menetapkan lima orang sebagai tersangka.
Di mana ada Henri dan Letkol ABC selaku pihak TNI selaku pihak penerima suap. Kemudian tiga orang dari pihak swasta atau sipil adalah MG Komisaris Utama PT MGCS; MR Direktur Utama PT IGK; dan RA Direktur Utama PT KAU sebagai pemberi suap. "Semua diberi kesempatan berbicara untuk menyampaikan pendapatnya. Dalam ekspose juga disimpulkan untuk oknum TNI penanganannya akan diserahkan ke Puspom TNI," ujar Alexanader.
Dikarenakan kasus ditangani Puspom TNI, KPK kemudian tidak menerbitkan surat perintah penyidikan terhadap anggota TNI yang diduga terkait dalam kasus suap itu. Proses penetapan tersangka nantinya akan dilakukan oleh Puspom TNI untuk dibawa ke peradilan militer. " Secara substansi/materiil sudah cukup alat bukti untuk menetapkan mereka sebagai tersangka." "Secara administratif nanti TNI yang menerbitkan sprindik untuk menetapkan mereka sebagai tersangka setelah menerima laporan terjadinya peristiwa pidana dari KPK," ujar Alexander menambahkan.
Polemik Usai KPK Ngaku Khilaf
Sebelumnya, KPK mengakui khilaf atas penetapan tersangka dua prajurit TNI, Kepala Basarnas Marsekal Muda Henri Alfiandi dan Letkol Adm ABC selaku Koordinator Staf Administrasi. Karena telah melampaui kewenangan dari aturan yang berlaku. Hal itu direspons Direktorat Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka yang merupakan anak buah Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur kecewa dengan pernyataan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak dan merasa mengkambinghitamkan sebagai bawahan