Kejagung Tetapkan Helena Lim Tersangka Kasus Korupsi Komoditas Timah, Langsung Ditahan di Rutan Salemba
Penetapan Helena Lim sebagai tersangka setelah menjalani pemeriksaan di Kejagung.
Penetapan Helena Lim sebagai tersangka setelah menjalani pemeriksaan di Kejagung.
Kejagung Tetapkan Helena Lim Tersangka Kasus Korupsi Komoditas Timah, Langsung Ditahan di Rutan Salemba
Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Helena Lim yang dijuluki crazy rich PIK sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022. Penetapan Helena Lim sebagai tersangka setelah menjalani pemeriksaan di Kejagung.
"HLN selaku Manajer PT QSE, berdasarkan alat bukti yang telah ditemukan dan setelah dilakukan pemeriksaan secara intensif, penyidik menyimpulkan telah cukup alat bukti untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka," kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Kuntadi di Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa (26/3).
Kejagung memutuskan langsung menahanan Helena Lim di Rutan Salemba Cabang Kejagung usai ditetapkan sebagai tersangka.
Penahanan dilakukan 20 hari ke depan untuk kepentingan penyidikan.
Peran Helena Lim
Kejagung menjelaskan peran Helena Lim dalam perkara tersebut. Helena Lim selaku manajer PT QSE diduga kuat telah memberikan bantuan mengelola hasil tindak pidana kerja sama penyewaan peralatan proses peleburan timah.
"Di mana yang bersangkutan memberikan sarana dan prasarana melalui PT QSE untuk kepentingan dan keuntungan yang bersangkutan dan para peserta yang lain, dengan dalih dalam rangka untuk penyaluran CSR," kata Kuntadi.
Helena Lim diduga telah melanggar ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 56 KUHP.
Penggeledahan Kejagung
Penyidik Kejagung sebelumnya diketahui telah melakukan rangkaian penggeledahan di beberapa tempat terkait kasus korupsi komoditi timah, yakni kantor PT QSE, PT SD, dan rumah tinggal HL di wilayah DKI Jakarta.
"Dari penggeledahan tersebut, tim penyidik berhasil melakukan penyitaan terhadap barang bukti elektronik, kumpulan dokumen terkait, serta uang tunai sebesar Rp10 miliar dan SGD 2 juta yang diduga kuat berhubungan atau merupakan hasil tindak kejahatan," kata Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana dalam keterangannya, Sabtu (9/3).
Menurut Ketut, penggeledahan dan penyitaan itu dilakukan untuk menindaklanjuti kesesuaian hasil dari pemeriksaan para tersangka dan saksi, mengenai aliran dana yang diduga berasal dari beberapa perusahaan terkait dengan kegiatan tata niaga timah ilegal.
"Selanjutnya tim penyidik akan terus menggali fakta-fakta baru dari barang bukti tersebut guna membuat terang suatu tindak pidana yang tengah dilakukan penyidikan," ujar Ketut.
Jumlah Tersangka
Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan lagi satu tersangka baru terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015 sampai dengan 2022.
“Kamis 7 Maret 2024, Tim Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) kembali menetapkan satu orang tersangka baru,” tutur Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana dalam keterangannya, Minggu (10/3).
Menurut Ketut, tersangka adalah yakni ALW selaku Direktur Operasional tahun 2017, 2018, 2021 dan Direktur Pengembangan Usaha tahun 2019-2020 PT Timah Tbk. Dengan begitu, total tersangka dalam kasus korupsi komoditi timah yakni 14 orang, termasuk yang berkaitan dengan perkara menghalangi penyidikan atau Obstruction of Justice.
“Hingga saat ini, tim penyidik telah memeriksa total 139 orang saksi dalam perkara ini. Berdasarkan hasil pemeriksaan dan dikaitkan dengan alat bukti yang cukup, tim penyidik telah menaikkan status satu orang saksi menjadi tersangka,” ujar Ketut.
Adapun secara singkat posisi kasus yang menjerat ALW yaitu pada tahun 2018, tersangka selaku Direktur Operasi PT Timah Tbk periode 2017-2018 bersama tersangka MRPT selaku Direktur Utama PT Timah Tbk dan Tersangka EE selaku Direktur Keuangan PT Timah Tbk menyadari pasokan bijih timah yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan dengan perusahaan smelter swasta lainnya. Hal itu diakibatkan oleh masifnya penambangan liar yang dilakukan dalam wilayah IUP PT Timah Tbk.
“Atas kondisi tersebut, tersangka ALW bersama dengan tersangka MRPT dan tersangka EE yang seharusnya melakukan penindakan terhadap kompetitor, justru menawarkan pemilik smelter untuk bekerja sama dengan membeli hasil penambangan ilegal melebihi harga standar yang ditetapkan oleh PT Timah Tbk tanpa melalui kajian terlebih dahulu,” ungkap Ketut.
Guna melancarkan aksinya untuk mengakomodir penambangan ilegal tersebut, lanjutnya, ALW bersama dengan MRPT dan EE menyetujui untuk membuat perjanjian, seolah-olah terdapat kerja sama sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah dengan para smelter.
“Tersangka ALW tidak dilakukan penahanan karena yang bersangkutan sedang menjalani penahanan dalam penyidikan perkara lain yang tengah diproses oleh Kejaksaan Tinggi Kepulauan Bangka Belitung,” Ketut menandaskan.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan 13 tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015 sampai dengan 2022.
Para tersangka adalah Suparta (SP) selaku Dirut PT Refined Bangka, dan Reza Andriansyah (RA) selaku Direktur Business Development, RL selaku General Manager PT TIN, dan BY selaku mantan Komisaris CV VIP.
Kemudian RI selaku Direktur Utama (Dirut) PT SBS, SG alias AW selaku Pengusaha Tambang di Kota Pangkalpinang, MBG selaku Pengusaha Tambang di Kota Pangkalpinang, dan HT alias ASN selaku Direktur Utama CV VIP yang merupakan perusahaan milik tersangka TN alias AN.
Selanjutnya, MRPT alias RZ selaku Direktur Utama PT Timah tahun 2016-2021 dan EE alias EML selaku Direktur Keuangan PT Timah tahun 2017-2018, Tamron (TN) alias AN selaku Beneficial Ownership CV VIP dan PT MCM, dan Achmad Albani (AA) selaku Manager Operasional Tambang CV VIP dan PT MCM.
Sementara satu tersangka lagi masuk dalam perkara menghalangi penyidikan atau obstruction of justice, yakni Toni Tamsil (TT) yang merupakan adik dari tersangka Tamron. Dari tangannya, penyidik menyita satu unit mobil Porsche, satu unit mobil Suzuki Swift, dan uang tunai sebesar Rp1.074.346.700.
Kemudian di rumah milik Tamron dan menemukan uang tunai sebesar Rp6.070.850.000 dan 32 ribu dolar Singapura, serta beberapa mata uang asing yang dibungkus dalam kardus rokok di ruang gudang. Tidak ketinggalan menyita 55 alat berat yang terdiri dari 53 unit excavator dan dua unit bulldozer, yang diduga kuat miliknya.
Serta penyitaan terhadap emas logam mulia seberat 1.062 gram, uang tunai baik mata uang asing maupun mata uang rupiah dengan rincian Rp83.835.196.700; USD 1.547.400; SGD 443.400; dan AUS 1.840.
Adapun kasus posisi dalam perkara ini yaitu sekitar tahun 2018, CV VIP telah melakukan perjanjian kerja sama sewa peralatan processing peleburan timah dengan PT Timah Tbk. Kemudian tersangka TN alias AN selaku pemilik CV VIP memerintahkan tersangka AA selaku Manager Operasional Tambang CV VIP untuk menyediakan bijih timah, dengan cara membentuk beberapa perusahaan boneka seperti CV SEP, CV MJP, dan CV MB guna mengumpulkan bijih timah ilegal dari IUP PT Timah Tbk.
Untuk melegalkan kegiatan perusahaan boneka tersebut, lanjut Kuntadi, PT Timah menerbitkan Surat Perintah Kerja seolah-olah terdapat kegiatan borongan pengangkutan sisa hasil mineral timah.
Tersangka Suparta (SP) dan tersangka Reza Andriansyah (RA) merupakan pihak yang menginisiasi pertemuan dengan pihak PT Timah, yang dihadiri oleh MRPT alias RZ selaku Direktur Utama PT Timah dan tersangka EE alias EML selaku Direktur Keuangan PT Timah dalam rangka mengakomodir penambang timah ilegal di wilayah IUP PT Timah.
Sementara, tersangka tersangka SG alias AW dan tersangka MBG memiliki perusahaan yang melakukan perjanjian kerja sama dengan PT Timah pada tahun 2018 tentang sewa menyewa peralatan processing peleburan timah. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh tersangka MRPT alias RZ selaku Direktur Utama PT Timah, tersangka EE alias EML selaku Direktur Keuangan PT Timah, dan tersangka RL selaku General Manager Operasional PT TIN.
Tersangka BY selaku Mantan Komisaris CV VIP dan tersangka RI selaku Dirut PT SBS juga nyatanya turut terlibat bersama dengan tersangka MRPT alias RZ dan tersangka EE dalam pengakomodiran penambang timah ilegal di wilayah IUP PT Timah.
Bijih timah yang diproduksi oleh tersangka MBG tersebut perolehannya berasal dari IUP PT Timah atas persetujuan dari PT Timah. Kemudian, baik bijih maupun logam timahnya dijual ke PT Timah Tbk.
Untuk mengumpulkan bijih timah yang ditambang secara ilegal, tersangka MBG atas persetujuan tersangka SG alias AW membentuk perusahaan boneka yaitu CV Bangka Jaya Abadi (BJA) dan CV Rajawali Total Persada (RTP).
Untuk melegalkan kegiatan perusahaan-perusahaan boneka tersebut, PT Timah menerbitkan Surat Perintah Kerja Borongan Pengangkutan Sisa Hasil Pengolahan (SHP) mineral timah, di mana keuntungan atas transaksi pembelian bijih timah tersebut dinikmati oleh tersangka MBG dan tersangka SG alias AW.
Selain membentuk perusahaan boneka, tersangka MBG atas persetujuan tersangka SG alias AW juga mengakomodir penambang-penambang timah ilegal di wilayah IUP PT Timah. Nantinya, mineral biji timah yang diperoleh dikirimkan ke smelter milik tersangka SG alias AW.