Kemenperin Pecat ASN Diduga Membuat Surat Perintah Kerja Fiktif
Keputusan ini dibuat setelah Kemenperin melakukan pemeriksaan internal terhadap ASN tersebut.
Kementerian Perindustrian telah menindak telah oknum ASN berinisial LHS yang membuat Surat Perintah Kerja (SPK) fiktif pada tahun 2023. Tindakan tersebut berupa pencopotan dari jabatan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan pemecatan sebagai ASN Kemenperin.
Keputusan ini dibuat setelah Kemenperin melakukan pemeriksaan internal terhadap oknum tersebut.
"Kami telah mencopot yang bersangkutan dari jabatan dan memecatnya karena terbukti membuat Surat Perintah kerja (SPK) fiktif saat menjabat sebagai PPK di Direktorat Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil," kata Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif dalam keterangan resminya di Jakarta, Senin (13/1).
LHS diduga telah menyalahgunakan kewenangan yang diberikannya sebagai PPK untuk membuat SPK fiktif, menerima dana dari vendor, wakil investor atau investor, dan menggunakan dana tersebut untuk melaksanakan kegiatan yang seakan-akan merupakan kegiatan resmi Kemenperin.
"Bahkan setelah diberhentikan sebagai PPK pun, yang bersangkutan masih membuat SPK lagi yang tentu saja tidak sah. Hal ini jelas mengindikasikan adanya niatan jahat atau melawan hukum oleh yang bersangkutan," imbuh Febri.
Adapun, pada masa jabatannya, LHS bertugas sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), sebagai bagian tata kelola anggaran/keuangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Febri menuturkan, Kemenperin selama ini tidak tinggal diam dan sudah melakukan investigasi internal pada Februari 2024.
"Dan telah mencopot jabatan dan memecat yang bersangkutan agar tidak merugikan masyarakat lebih luas," jelasnya.
Febri juga bukan suara terkait tuduhan terhadap Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasmita yang dianggap memberi perintah pada oknum ASN tersebut untuk membuat SPK fiktif.
Febri mengaku, pendelegasian kewenangan pengelolaan anggaran dari Menperin sebagai Pengguna Anggaran kepada Kuasa Pengguna Anggaran atau pengangkatan yang bersangkutan sebagai PPK di Direktorat Kimia Hilir Ditjen IKFT sudah sesuai dengan peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Febri menjelaskan, pengangkatan LHS ditujukan untuk tugas sebagai PPK dalam pengelolaan anggaran pada Direktorat Kimia Hilir. Bukan memberi kewenangan atau tugas membuat SPK fiktif.
"Tuduhan terhadap Menperin adalah tuduhan tidak benar. Perbuatan oknum ASN tersebut merupakan perbuatan pribadi tanpa ada perintah dari Menteri Perindustrian. Silakan ungkap bukti atas tuduhan tersebut. Kalau tidak ada bukti maka kami mempertimbangkan proses hukum atas pihak-pihak yang melontarkan tuduhan yang tidak benar tersebut," tegas Febri.
Pengembalian Uang
Febri menegaskan, Kementerian Perindustrian tidak akan mengganti uang yang telah ditransfer atau diberikan langsung oleh vendor atau wakil investor pada oknum ASN tersebut.
Sebab, pada dasarnya kegiatan-kegiatan yang tercantum dalam SPK fiktif tersebut tidak ada dalam anggaran Kemenperin.
"Artinya, tidak ada alokasi anggaran untuk kegiatan-kegiatan tersebut dalam anggaran Kemenperin, sehingga atas dasar apa kami membayarnya?" ujarnya.
Febri menambahkan, kasus dugaan SPK fiktif juga telah masuk dalam proses penyidikan penegak hukum atas beberapa laporan masyarakat mengenai dugaan penipuan, penggelapan, dan tidak pidana pencucian uang.
"Penegak hukum perlu mengusut tuntas dugaan penipuan dan penggelapan ini terutama asal muasal uang dan modus operandi, sehingga kejadian seperti ini tidak terulang lagi," kata Febri.
Dia melanjutkan, sesuai hasil pemeriksaan internal, diketahui seluruh paket pekerjaan yang diadukan tersebut tidak terdaftar pada Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) tahun 2023 karena paket pekerjaan dimaksud memang tidak terdapat dalam alokasi DIPA Kemenperin Tahun Anggaran 2023.
"Sehingga tidak benar tuduhan bahwa ada koordinasi gelap di internal Kemenperin tentang penerbitan SPK tersebut, karena SPK fiktif merupakan dokumen yang dipalsukan atau direkayasa," jelas Febri.
Kronologi
Kasus ini sendiri berawal dari Kementerian Perindustrian yang merespons pengaduan masyarakat terkait beberapa Surat Perintah Kerja (SPK) yang diduga bermasalah di Direktorat Industri Kimia Hilir dan Farmasi (Direktorat IKHF) Tahun Anggaran 2023.
"Terhadap pengaduan tersebut, Kemenperin telah melakukan pemeriksaan internal dan menemukan telah terjadi penipuan yang dilakukan oleh Sdr. LHS yang menyalahgunakan jabatannya sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Direktorat IKHF," kata Febri.
Dia menyampaikan, bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan internal, seluruh paket pekerjaan yang diadukan tersebut tidak terdaftar pada Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) tahun 2023 karena paket pekerjaan dimaksud memang tidak terdapat dalam alokasi DIPA Kemenperin Tahun Anggaran 2023.
"Hasil pemeriksaan internal kami menemukan adanya penipuan yang dilakukan oleh Sdr. LHS dengan membuat Surat Perintah Kerja (SPK) fiktif. Yang perlu ditegaskan adalah kasus ini tidak menimbulkan kerugian pada keuangan negara," jelas Febri.
Dia mengungkapkan, perbuatan ini dilakukan oleh oknum pegawai berinisial LHS yang mengatasnamakan jabatannya sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Direktorat Industri Kimia Hilir dan Farmasi. LHS membuat Surat Perintah Kerja (SPK) kepada pihak lain seolah-olah SPK tersebut merupakan SPK resmi dari Kementerian Perindustrian.
"Perbuatan Sdr. LHS ini tidak diketahui ataupun diperintahkan oleh atasan atau pimpinannya dan merupakan perbuatan pribadi yang bersangkutan," tegas Febri.
Febri mengungkapkan, dari laporan/pengaduan yang masuk, terdapat SPK fiktif yang diterbitkan oleh LHS selaku PPK untuk kegiatan Fasilitasi Pendampingan IKHF. Salah satu di antaranya senilai Rp23 miliar.
Nilai tersebut tidak sesuai dengan anggaran dan jenis kegiatan Fasilitasi Pendampingan IKHF sebagaimana tercantum dalam DIPA Direktorat IKHF Tahun 2023 yang hanya sebesar Rp590 juta dari total pagu anggaran sebesar Rp10 miliar.
Kemenperin pun mengimbau masyarakat termasuk para penyedia jasa untuk memperhatikan secara seksama kegiatan-kegiatan pengadaan barang jasa di Kemenperin melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).