Kementerian HAM Beberkan Alasan Dwifungsi ABRI Tidak Mungkin Muncul lagi
Kementerian HAM buka suara mengenai riuhnya pendapat pro dan kontra tentang perubahan Undang-Undang TNI yang dikaitkan dengan dwifungsi TNI.

Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) buka suara mengenai riuhnya pendapat pro dan kontra tentang perubahan Undang-Undang TNI yang dikaitkan dengan dwifungsi TNI.
Menurut Kementerian HAM, konteks sejarah dan politik antara masa berlakunya dwifungsi ABRI pada masa lalu dan kini sangat berbeda.
"Konteks sejarah dan politik antara masa berlakunya dwifungsi ABRI pada masa lalu danmasa sekarang sangat jauh berbeda. Saat ini tidak ada prasyarat politik yang memungkinkan munculnya kembali dwifungsi tentara seperti masa lalu," kata Dirjen Pelayanan dan Kepatuhan HAM, Kementerian HAM RI Munafrizal Manan melalui keterangannya, Kamis (20/3).
Munafrizal menuturkan, dwifungsi ABRI masa lalu terjadi karena ada kekuatan politik yang dominan, sentralistik, monolitik dan hegemonik. Menurutnya, saat ini prasyarat politik itu tidak ada karena kekuatan politik sudah tersebar ke banyak ranah seperti sistem multi partai, ada kontestasi politik elektoral, UUD 1945 yang sudah diamandemen, serta MA dan MK sebagai kekuasaankehakiman yang merdeka.
"Dan lembaga-lembaga negara independen sebagai pengawas, ada media massa yang bebas, ada masyarakat sipil dan netizen yang kritis," ucapnya.
Menurutnya, dwifungsi ABRI pada masa lalu tidak hanya bertumpu pada UU yang berdimensi militer, tapi juga UU berdimensi politik. Dia menyebut, peran sosial politik ABRI pada masa Orde Baru justru dipertegas dalam UU No.2 Tahun 1985 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD yang memberi wewenang pada Presiden mengangkat Anggota DPR dari unsur ABRI anpa melalui Pemilu.
"Dwifungsi tentara terlalu besar untuk hanya diatur dalam UU TNI, RUU TNI tidak mengatur tentang fungsi sosial politik tentara," jelasnya.
"Berbeda dengan UU Nomor 20 Tahun 1982 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara RI yang tegas mengatur Angkatan Bersenjata mempunyai fungsi sebagai kekuatan pertahanan keamanan negara dan sebagaikekuatan sosial (politik)," sambungnya.
Munafrizal menjelaskan, kekhawatiran bahwa perubahan UU TNI akan potensial menimbulkan pelanggaran HAM oleh TNI merupakan kesimpulan yang terlalu dipaksakan. Dia berkata, sejak dipisahkan fokus domain TNI dan Polri pada awal era reformasi hingga kini, urusan keamanan tidak lagi menjadi domain TNI tapi Polri.
"Inisiatif tindakan represif TNI terhadap masyarakat sipil tidak dapat seleluasa dahulu karena TNI dibatasi hanya di domain pertahanan. Keterlibatan TNI dalam domain keamanan hanya dimungkinkan atas dasar permintaan Polri dan di bawah kendali operasi Polri," terangnya.
Dia melanjutkan, tidak ada korelasi antara tambahan pos jabatan untuk personel TNI yang diatur dalam perubahan UU TNI dan potensi pelanggaran HAM. Dia menilai, jabatan-jabatan yang dapat diisi oleh TNI itu tidak ada hubungannya dengan otoritas untuk memerintahkan pasukan bertindak represif atau koersif.
"Oleh karena itu, terlalu berlebihan mengaitkannya dengan aspek potensi pelanggaran HAM," ujarnya.
Meski begitu, Munafrizal menilai, perbedaan pendapat tentang perubahan UU TNI adalah hal wajar dan dijamin oleh Konstitusi. Namun, menjadi berlebihan jika merasa pendapatnya paling benar dan memaksakan pendapatnya itu.
"Pihak yang tidak sependapat terhadap perubahan UU TNI dapat mengujinya di Mahkamah Konstitusi," pungkasnya.
RUU Undang-Undang (RUU) TNI kini telah disahkan DPR RI menjadi Undang-Undang melalui sidang paripurna pada hari ini, Kamis (20/3). RUU tersebut memicu pro kontra luas di masyarakat karna di khawatirkan menghidupkan dwifungsi ABRI.