Kisah Kakek Penjual Tissue, Kehangatan di Balik Embun Hujan
Namanya adalah Sutomo, pria berusia 70 tahun yang telah menjalani profesi ini selama lebih dari 11 tahun.
Sutomo bangun dengan tekad yang kuat untuk menjalani pekerjaannya sebagai penjual tissue.
Kisah Kakek Penjual Tissue, Kehangatan di Balik Embun Hujan
Di tengah keramaian jalan raya Jakarta yang penuh kesibukan, seorang kakek penjual tissue dan aksesoris yang menyimpan kisah menyentuh hati. Ditemani oleh cucunya, sang kakek menjalani hari-hari dengan penuh kehangatan meski dalam keterbatasan.
Namanya adalah Sutomo, pria berusia 70 tahun yang telah menjalani profesi ini selama lebih dari 11 tahun. Ia tinggal bersama cucunya, Fian yang menjadi satu-satunya keluarga yang tersisa.
Setiap harinya, Sutomo bangun dengan tekad yang kuat untuk menjalani pekerjaannya sebagai penjual tissue.
Berangkat dari rumah yang sederhana di pinggiran kota untuk mencari nafkah dengan menjual tisu dan aksesoris di tengah keramaian.
Berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lain, menawarkan tisu dan aksesoris seperti gelang, pengait masker, kepada para pejalan kaki, pengendara motor, dan pengguna kendaraan umum. Meskipun pendapatannya tidak selalu stabil, Pak Sutomo tetap gigih dan pantang menyerah
"Kalau habis jalan kaki, biasanya di sini lamamya, sekitaran halte Salemba," kata Sutomo kepada Merdeka.com, Senin (18/12).
Ia memilih berjualan di pinggir halte sebab banyaknya orang yang berlalu-lalang menjalani berbagai aktivitas hidup.
"Karena di sini banyak orang. Orang kerja, terus mahasiswa. Saya bisa sambil ngobrol sama orang-orang yang lewat," terangnya.
Keuntungan yang mengalir pun tak menentu. Sekitar Rp2.000 keuntungan yang didapat dari setiap tisu yang diterjual dengan harga Rp5.000. Namun, untuk setiap aksesoris yang terjual, Sutomo mengaku keuntungannya lumayan, bisa mencapai Rp5.000 per-gelangnya.
Gelang cantik dengan berbagai warna didapatnya dari orang lain, lalu dijual kembali mulai dari harga Rp10.000.
"Rp2.000 paling untungnya kalo tiap tisu, jumlahnya mah ga nentu. Kalau gelang tuh lumayan, saya bisa untung sampe Rp5.000, tapi yang lebih laku tisu. Bisa sampe puluhan kadang yang terjual, tapi kalo lagi sepi apalagi pas ujan, itu bisa diitung jari lakunya," tuturnya.
Mengingat usianya yang tak lagi muda, Sutomo tak pernah lupa untuk selalu membawa sejumlah obat-obatan di dalam plastik hitam dagangannya.
"Iya simpan obat-obatan di sini, takut kalo tiba-tiba ngerasa sakit atau bagaimana tinggal minum," timpalnya.
Hari terus berganti hingga memasuki musim penghujan, kala tetesan hujan mulai jatuh dari langit, Sutomo dengan sigap menarik tisu-tisu maupun aksesoris ke dalam kantong plastik yang disimpannya.
Ia merapikan tisu dan aksesoris tersebut agar tetap kering dan terjaga kualitasnya.
Namun, di balik kesibukannya merapikan tisu dan barang lainnya, terdapat kehangatan dari Fian sang cucu, yang ada di sampingnya untuk memberikan dukungan dan keceriaan.
Fian adalah sosok yang penuh semangat dan penuh kasih sayang. Ia membantu kakeknya dengan menggendong tisu-tisu yang sudah terbungkus rapi.
Meski paginya harus bersekolah, Fian tetap semangat membantu sang kakek berjualan sepulang dari sekolahnya.
"Sekolah pulangnya jam 10 atau 11, habis itu nyusulin kakek ke sini," kata Fian.
Fian yang saat ini duduk di bangku kelas 3 SD menjadi sumber kekuatan bagi Pak Sutomo di tengah perjuangannya.
"Iya bareng cucu di sini, berdua saja, enggak ada siapa-siapa soalnya," jelasnya.
Masa mengingat dagangannya yang sempat terkena razia Satpol PP, Sutomo menadah sedih.
"Pernah waktu sebelum Covid, jualan di Rasuna Said itu kena Satpol PP, sedih banyak dagangan yang diambil," ingatnya.
Walaupun hidup dalam keterbatasan di jalanan kota, mereka saling melengkapi satu sama lain dengan rasa kasih sayang dan kebersamaan yang tulus.
Terpaparlah cerita sang cucu. Mata muda itu berbinar-binar, memancarkan api semangat dan cita-cita yang membara di dalamnya.
"Inginnya kayak kakak-kakak yang suka lewat sini, kerja kantor ingin begitu kayaknya enak hehe," jawab Fian tersipu malu.
Pun ketika menemani sang kakek, Sutomo mengatakan Fian sesekali tertidur pulas dengan berbagai suara kendaraan.
"Pulang biasanya jam 8 atau 9 malam, di sini kalau jam-jam mau Maghrib kan orang pada pulang kerja, jadi lumayan banyak orang yang mondar-mandir di halte. Fian kadang suka tidur, enggak tega juga saya," katanya.
Harapan Sutomo pun sederhana, ia selalu berharap agar Fian mendapatkan kehidupan yang lebih baik darinya.
"Semoga saya tetap sehat untuk terus berjualan dan berbagi kebaikan. Semoga cucu saya melanjutkan dengan lebih baik di masa depan," harapnya.