Koalisi Disabilitas Berharap Dilibatkan Bahas RPP Konsesi Penyandang Disabilitas
Penyusunan RPP Konsesi harus ada pelibatan bermakna Penyandang Disabilitas dalam semua tahap.
Penyusunan RPP Konsesi harus ada pelibatan bermakna Penyandang Disabilitas dalam semua tahap.
Koalisi Disabilitas Berharap Dilibatkan Bahas RPP Konsesi Penyandang Disabilitas
Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas untuk Perlindungan Sosial yang Inklusif menyampaikan gugatan dalam bentuk surat terbuka terkait Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Konsesi dan Insentif bagi Penyandang Disabilitas.
Koalisi yang terdiri dari 46 organisasi disabilitas serta penyakit langka dari seluruh Indonesia mengaku tidak dilibatkan dalam proses penyusunan RPP tersebut.
Koordinator Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas Nena Hutahaean mengatakan, tujuan dibentuknya Koalisi ini adalah sebagai langkah untuk mengadvokasi kebijakan perlindungan sosial yang ada agar dapat menjamin pemenuhan hak Penyandang Disabilitas tanpa melihat derajat kedisabilitasannya serta status sosial ekonomi. Sehingga semua Penyandang Disabilitas dapat hidup mandiri di dalam masyarakat.
Nena bilang, Koalisi telah memperjuangkan perlindungan sosial yang Inklusif bagi seluruh Penyandang Disabilitas sejak 2022. Koalisi menyusun dan menerbitkan Policy Brief terkait Perlindungan Sosial sebagai langkah awal memetakan kebutuhan perlindungan sosial bagi Penyandang Disabilitas. Kemudian dilanjutkan dengan menerbitkan Naskah Akademik dan draf RPP Konsesi untuk mendorong pemerintah segera penyusunan RPP Konsesi di 2023.
Namun pada 1 Juni 2024, Koalisi menerima naskah draf RPP Konsesi dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu. Penyusunan draf RPP Konsesi ini tanpa melibatkan Penyandang Disabilitas.
"Kami diberi waktu seminggu dan hanya diberi pilihan setuju atau tidak dengan draf tersebut," kata Nena saat menyampaikan surat terbuka di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (13/6).
Padahal, lanjut dia, penyusunan RPP Konsesi harus ada pelibatan bermakna Penyandang Disabilitas dalam semua tahap penyusunan. RPP Konsesi ini juga harus segera disahkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2024 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah yang saat ini telah masuk dalam tahap Rapat Antar Kementerian.
"Koalisi menyayangkan tindakan BKF selaku leading sector Penyusunan RPP ini yang sama sekali tidak melibatkan Penyandang Disabilitas, bagi koalisi pelibatan Penyandang Disabilitas dalam proses penyusunan RPP Konsesi sangatlah penting karena hanya Penyandang Disabilitas sendirilah yang memahami apa saja hambatan yang dihadapi," ucap Nena.
Apalagi, sambung Nena, kebutuhan masing-masing Penyandang Disabilitas berbeda-beda sehingga tanpa adanya keterlibatan Penyandang Disabilitas akan membuka peluang aturan ini tidak implementatif.
Koalisi juga mencatat dalam Pasal-Pasal RPP yang telah disusun oleh BKF, masih tidak mencerminkan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. BKF tidak merinci secara jelas siapa saja pihak selain pemerintah yang harus menyediakan Konsesi bagi Penyandang Disabilitas.
Hal krusial yang juga menjadi perhatian Koalisi adalah dalam RPP ini yang dapat menerima konsesi hanya Penyandang Disabilitas yang memiliki kartu disabilitas. Padahal realitanya kebijakan kartu disabilitas masih sangat bermasalah karena belum menjamin kemudahan akses dalam pendaftarannya khususnya bagi teman-teman di daerah kepulauan dan jauh dari pusat pemerintahan.
"Koalisi melihat bahwa BKF hanya berfokus pada hal-hal teknis, tidak pada pemenuhan hak Penyandang Disabilitas secara utuh. Koalisi meminta agar sesegera mungkin Kementerian Keuangan dan BKF membuka ruang seluas-luasnya untuk berdiskusi dan mendengarkan suara Penyandang Disabilitas," tegasnya.
Tim penyusun Naskah Akademik dan RPP Konsesi versi koalisi Anthoni Tsaputra menyoroti, bahwa pendekatan perlindungan sosial saat ini tidak tepat, karena masih berbasiskan pendapatan rumah tangga dan kemiskinan.
Menurut dia, pendekatan ini tidak mencerminkan keadaan hidup masyarakat, khususnya Penyandang Disabilitas di Indonesia. Masih banyak Penyandang Disabilitas yang hidupnya jauh dari kesejahteraan, meskipun keluarga atau pendampingnya tidak masuk kategori miskin milik pemerintah.
"Hal ini dikarenakan Penyandang Disabilitas memiliki extra cost disability atau biaya lebih disabilitas," ujar Anthoni.
Contoh konkret yang terjadi di masyarakat, tambah Mahmud Fasa, perwakilan dari Koalisi dan juga seorang penyandang disabilitas fisik adalah beban biaya yang harus ditanggung sehari-hari disabilitas fisik dan netra, tuli serta intelektual, ataupun mental yang terpaksa harus naik kendaraan online. Karena kondisi transportasi di Indonesia ini tidak ramah disabilitas sehingga biaya yang ditanggung sangat besar dibandingkan non-disabilitas.
Ketua Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (YAPESDI) Dewi Tjakra mengungkapkan, biaya akan semakin meningkat ketika disabilitas perlu didampingi oleh Pendamping/Orang Tuanya. Seperti penyandang Down Sindrome, mereka harus selalu didampingi oleh Pendamping sehingga ketika akan bepergian biaya yang ditanggung dua kali lebih besar.
"Teman-teman ini kebanyakan tidak punya akses untuk pekerjaan agar dapat hidup layak dan mandiri," ujarnya.
Perwakilan dari Perhimpunan Jiwa Sehat Yeni Rosa menyebut, Kementerian/Lembaga sering yang sering kali luput mempertimbangkan bahwa sampai hari ini masih banyak Penyandang Disabilitas yang tidak memiliki ijazah sekolah, dikarenakan masih belum tersedianya pendidikan yang aksesibel bagi Penyandang Disabilitas.
Sehingga banyak disabilitas harus hidup tergantung pada keluarga atau pendamping dan tidak memiliki pekerjaan yang layak atau menganggur. Akibatnya banyak disabilitas yang ditelantarkan atau dibuang oleh keluarga, karena beban pengeluaran yang sangat besar namun tidak mendapat akses perlindungan sosial karena kondisi keluarga yang ditinggali tidak masuk dalam kategori miskin.
Hal lain yang juga sering tidak dipertimbangkan adalah akses lapangan pekerjaan yang sangat sempit bagi Penyandang Disabilitas. Sehingga sebagian besar Penyandang Disabilitas bekerja di sektor informal dengan pendapatan yang masih jauh dari kata cukup untuk menutupi kebutuhannya.
"Tentunya kondisi ini akan semakin terasa berat apabila rumah tangga tersebut terdiri dari orang tua disabilitas dan anak dengan disabilitas," pungkasnya.