KPK Kembali Tangani Kasus Suap Dana Hibah Pemprov Jatim, Geledah Rumah Anggota DPRD
Penggeledahan hasil pengembangan kasus suap dana hibah yang menjerat mantan Wakil Ketua DPRD Provinsi Jatim, Sahat.
KPK Kembali Tangani Kasus Suap Dana Hibah Pemprov Jatim, Geledah Rumah Anggota DPRD
Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kediaman salah satu anggota DPRD Jawa timur terkait kasus korupsi. Penggeledahan tersebut dibenarkan oleh wakil ketua KPK, Alexander Marwata.
"Iyes (ada penggeledahan)," kata Alex saat dikonfirmasi melalui pesan singkat, Rabu (10/7).
Alex menyebut penggeledahan itu merupakan hasil pengembangan dari kasus suap pengelolaan dana hibah yang sempat menjerat mantan Wakil Ketua DPRD Provinsi Jatim, Sahat Tua P Simandjuntak (STPS).
Pengembangan itu pun juga telah masuk dalam tahap penyidikan oleh sebab itu penyidik melakukan upaya penggeledahan.
"Penggeledahan kan salah satu giat di penyidikan untuk melengkapi alat bukti," ujar Alex.
Namun demikian, belum diketahui identitas dari anggota DPRD Jatim yang kediamannya digeledah oleh tim penyidik antirasuah.
Dalam kasus korupsi Sahat, KPK menyebut, untuk tahun anggaran 2020 dan 2021 dalam APBD Pemprov Jatim merealisasikan dana belanja hibah dengan jumlah seluruhnya sekitar Rp7,8 triliun kepada badan, lembaga, hingga organisasi kemasyarakatan (ormas) yang ada di Pemprov Jatim.
Distribusi penyalurannya antara lain melalui Kelompok Masyarakat (Pokmas) untuk proyek infrastruktur hingga sampai tingkat pedesaan.
Terkait pengusulan dana belanja hibah tersebut merupakan penyampaian aspirasi dan usulan dari para anggota DPRD Jatim, salah satunya adalah Sahat.
Sahat menawarkan diri membantu dan memperlancar pengusulan pemberian dana hibah tersebut dengan adanya kesepakatan pemberian sejumlah uang sebagai uang muka alias ijon. Kemudian Abdul Hamid menerima tawaran tersebut.
Diduga Sahat mendapat bagian 20 persen dari nilai penyaluran dana hibah yang akan disalurkan, sedangkan Abdul Hamid mendapatkan bagian 10 persen.
Adapun besaran nilai dana hibah yaitu di tahun 2021 dan 2022 telah disalurkan masing-masing sebesar Rp40 miliar.
Agar alokasi dana hibah untuk tahun 2023 dan 2024 bisa kembali diperoleh Pokmas, Abdul Hamid kemudian kembali menghubungi Sahat dan sepakat menyerahkan sejumlah uang sebagai ijon sebesar Rp2 miliar.
Sahat pun dinyatakan terbukti bersalah oleh Majelis Hakim PN Tipikor Surabaya atas kasus korupsinya dengan pidana penjara selama 9 tahun.
Dia terbukti melanggar pasal 12 a juncto pasal 18 undang-undang RI nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Hakim juga memperberat hukuman Sahat dengan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan. Lalu hakim memerintahkan Sahat mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 39,5 miliar.