Mencari Keadilan Buat Korban Gugur & Luka Demonstrasi RUU KUHP & UU KPK
Merdeka.com - Demonstrasi penolakan RUU KUHP dan UU KPK memakan korban luka dan jiwa. Total ada lima korban meninggal pasca demo berujung ricuh dengan polisi itu.
Mereka adalah Maulana Suryadi (23), Akbar Alamsyah (19) dan Bagus Putra Mahendra (15) di Jakarta dan dua mahasiswa Universitas Haluoleo yakni Immawan Randi (21) serta Muhammad Yusuf Kardawi (19). Sementara jumlah korban luka tak diketahui persis berapa banyak jumlahnya. Salah satu yang paling parah adalah mahasiswa Universitas Al Azhar Indonesia, Faisal Amir.
Dia ditemukan teman-temannya dalam kondisi luka parah di kepala dan di sekujur tubuh. Faisal Amir mengalami luka di kepala, tengkorak retak, pendarahan di otak, tulang bahu patah dan luka-luka di tubuh. Dia sempat kritis di RS Pelni hingga masuk ICU. Beruntung nyawanya dapat diselamatkan.
-
Siapa yang memprotes kejadian tersebut? Diketahui, terekam video yang beredar di media sosial salah satu pendukung mengacungkan tiga jari saat debat capres berlangsung. Hal tersebut pun menuai protes dari pihak 02 yakni Grace Natalie.
-
Siapa saja yang ikut demo di KPU? Soenarko menambahkan, aksi ini akan diikuti oleh sejumlah elemen masyarakat sampai beberapa organisasi relawan dari pasangan calon 01, Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar (AMIN) dan paslon 03, Ganjar Pranowo - Mahfud MD.
-
Apa tuntutan mahasiswa saat itu? Lahirlah apa yang dinamakan TRITURA. Tritura atau Tri Tuntutan Rakyat 1. Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya 2. Rombak Kabinet Dwikora 3. Turunkan Harga-Harga
-
Siapa saja yang ikut demo? Aksi demo kali ini sangat besar, melibatkan tidak hanya mahasiswa tetapi juga para komika seperti Arie Kriting dan Mamat Alkatiri yang ikut turun berdemo.
-
Kenapa keluarga korban minta pelaku dipenjara? 'Kalau misal ada undang-undangnya saya minta untuk dipenjarakan saja. Biar ada efek jera. Karena itu anak telah melakukan kejadian yang sangat brutal,'
-
Siapa yang ikut demo? Pada Minggu (17/3), warga di sepanjang Jalan Godean, tepatnya di Desa Sumberarum, Kecamatan Moyudan, Sleman, bersama satuan Jaga Warga mengadakan arak-arakan dengan membawa banner.
Aksi penolakan RUU KUHP dan UU KPK terjadi pada 24 hingga 26 September 2019, dan dilakukan oleh ribuan mahasiswa dari berbagai universitas serta pelajar.
Diduga para korban meninggal dunia akibat aksi kekerasan dan ada yang ditembak. Pihak keluarga dan kerabat pun menuntut keadilan yang hingga kini belum ditegakkan. Berikut ulasannya:
Keluarga Akbar Alamsyah Minta Polisi Jujur
Fitria Rahmayani, kakak dari Akbar Alamsyah, korban demonstrasi penolakan RUU KUHP, meminta kepolisian agar berkata jujur atas kematian adiknya itu. Sebab, Fitri mendengar beberapa kabar yang menyebut polisi bersikap represif saat mengamankan seseorang.
"Yang lain jangan menghakimi lah seseorang apalagi dia enggak ada identitas, apalagi saya dengar cerita dari orang yang kemarin ditangkap mereka enggak ada identitas disiksa lho di dalam. Bagaimana adik saya yang tanpa identitas. Kita cuma ingin tahu orangnya siapa. Kita cuma ingin tahu dia ngapain adik saya. Kalau ke depan dijadiin hukum kita enggak tahu. Mau tahu aja orangnya siapa, trus mereka tuh kayak bagaimana sih gituin adik saya," kata Fitria, kakak dari Akbar Alamsyah.
Kabar meninggalnya Akbar Alamsyah masih simpang siur. Akbar sempat menghilang setelah demonstrasi pada 26 September 2019. Kemudian jasad Akbar ditemukan di depan gedung DPR.
Divisi Humas Polri, Kombes Asep Adi Saputra membantah Akbar koma karena kekerasan. Dugaan kuat Polri Akbar kecelakaan saat melompati pagar DPR. Terkait luka lebam, masih dalam penyelidikan.
"Saat itu kita sudah temukan saksi bahwa yang bersangkutan jatuh pada saat melompati pagar tersebut jadi sementara dugaannya bahwa yang bersangkutan luka bukan akibat kekerasan karena adanya insiden itu," tutur Asep.
Namun, pernyataan itu dibantah oleh Fitri. Menurutnya, hal itu sangatlah tak mungkin usai keluarga melihat data-data pelaku kerusuhan di Polres Jakarta Barat.
"(Jatuh dari pagar) Enggak percaya, kalau memang dia terjatuh kenapa ada datanya di Polres Jakarta Barat. Pas saya datang ke sana Polres Jakarta Barat datanya ada," katanya di TPU Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Jumat (11/10).
Dalam kematian adiknya, keluarga menduga ada yang ditutupi oleh kepolisian. Namun, hal itu tak dapat dibuktikan oleh keluarga. "Cuma kan enggak bisa nuntut, enggak ada bukti, nanti malah kita ngomong yang enggak-enggak, ya sudah kita serahkan sama yang di atas," ujarnya.
Menurutnya, Akbar tak mungkin meninggal dunia karena terjatuh dari pagar. Bahkan, Akbar tak memiliki riwayat penyakit.
"Akbar itu enggak punya penyakit apa-apa, tapi tiba-tiba cuci darah. Ada infeksi saluran kandung kemih. (Waktu melihat) Kepalanya besar kayak pakai helm, kayak semacam tumor kepala gede, lebam bibirnya sampe nutupin lubang hidung sangking keluarnya. Jontor," katanya.
Keluarga Maulana Suryadi Ingin Polisi Jujur dan Bertanggung Jawab
Keluarga dari Maulana Suryadi (Yadi), salah satu korban usai demonstrasi di Jakarta, meminta polisi jujur terkait kematian keluarganya. Mereka juga ingin polisi turut bertanggungjawab membiayai kedua anak Yadi dan adik-adiknya.
Maspupah (49), ibu dari Yadi, meminta pihak kepolisian berkata jujur mengenai penyebab kematian anaknya. "Saya sudah ikhlas, tapi saya cuma mau tahu kenapa anak saya bisa meninggal, salah anak saya apa? Itu aja," kata Maspupah ditemui di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat (4/10).
Maspupah juga berharap tak hanya fakta penyebab kematian anaknya tersebut. Dia ingin polisi turut bertanggungjawab membiayai kedua anak Yadi dan adik-adiknya. Karena Yadi merupakan tulang punggung keluarga.
"Yadi itu sudah punya anak dua, umurnya 2 tahun dan 4 tahun, kan sekarang jadi anak yatim. Terus Yadi itu kan udah Yatim, bapaknya, suami saya udah meninggal," ujarnya.
Sementara, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono membantah Maulana dianiaya polisi. Dia meyakini tubuh Maulana bersih tidak ada luka-luka. Dia berdalih polisi sudah menawarkan keluarga Maulana untuk melakukan autopsi. Namun ditolak.
"Ibu kandungnya tidak mau (Maulana) diautopsi, karena memang anaknya punya riwayat sesak napas. Ada pernyataan ditandatangani di atas materai Rp6.000," kata Argo.
Keluarga La Randy Minta Polisi Tanggung Jawab
Keluarga dari La Randy, salah satu korban meninggal demo mahasiswa menolak RUU KUHP dan UU KPK di Kendari, meminta polisi bertanggung jawab karena menjadi penyebab kematian keluarganya tersebut.
"Kami dari pihak keluarga menginginkan bentuk tanggung jawab kepolisian dalam hal ini (kematian La Randy). Jadi bagaimana bentuk tanggung jawabnya, entah seperti apa, kita butuhkan tanggung jawab," kata Rasmi, salah satu keluarga dari Randy, Jumat (27/9).
Seperti diketahui, La Randy meninggal dunia saat melakukan aksi menolak RUU KUHP dan UU KPK di Gedung DPRD Sulawesi Tenggara, Kendari, Kamis, 26 September 2019. Keduanya merupakan mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO).
Randy tertembak dari jarak sekitar 10 meter. Terdapat luka tembak di dada sebelah kanannya.
Sementara itu, pihak kepolisian menyatakan, anggota yang diterjunkan mengawal demonstrasi mahasiswa di depan Gedung DPRD Sulteng, Kendari, hanya menggunakan tameng dan tak ada yang menggunakan peluru tajam maupun peluru karet.
"Di sini dapat saya tegaskan bahwa kami dari aparat kepolisian, dalam memberikan pelayanan kepolisian dalam mengamankan kegiatan unjuk rasa, anggota tidak dibekali, baik itu dengan peluru tajam, peluru karet maupun peluru hampa. Anggota hanya dibekali dengan tameng, tongkat, water canon dan peluru gas air mata," kata Kabid Humas Polda Sultra AKBP Hary Goldenhart Santoso.
Keluarga Yusuf Kardawi Minta Polisi Usut Tuntas
Salah satu keluarga Yusuf Kardawi, Rahmat, meminta agar polisi mengusut tuntas penyebab kematian Yusuf. Karena terlihat ada darah yang keluar dari kepala belakang Yusuf.
"Memang ini sudah ajal, tapi kami minta agar diusut tuntas apa yang menjadi penyebab meninggalnya ini, kami masih tanda tanya besar," kata Rahmat.
Terkait dengan dugaan dianiaya, polisi membantah. Menurut pengakuan pihak kepolisian, anggotanya hanya menggunakan tameng dan tak ada yang menggunakan peluru tajam maupun peluru karet.
"Di sini dapat saya tegaskan bahwa kami dari aparat kepolisian, dalam memberikan pelayanan kepolisian dalam mengamankan kegiatan unjuk rasa, anggota tidak dibekali, baik itu dengan peluru tajam, peluru karet maupun peluru hampa. Anggota hanya dibekali dengan tameng, tongkat, water canon dan peluru gas air mata," kata Kabid Humas Polda Sultra AKBP Hary Goldenhart Santoso.
Keluarga Faisal Amir Mau Pengusutan Tuntas Supaya Asas Keadilan Ditegakkan
Keluarga Faisal Amir, korban kekerasan saat aksi demonstrasi di gedung DPR RI tanggal (24/9) lalu, menuntut pihak berwajib mengusut tuntas kasus dugaan adanya pelanggaran berat hak asasi manusia dan kekerasan. Bahkan mereka berencana akan membawa kasus tersebut ke Komnas Internasional.
Ibunda Faisal, Siti Asma Ratu Agung mengaku telah melayangkan laporan kasus kekerasan yang menimpa putra keduanya itu, ke Komnas Ham dan Bareskrim Mabes Polri. Pasalnya mahasiswa hukum perdata semester 7 Universitas Al Azhar Indonesia itu mengalami pendarahan otak dan sejumlah luka di sekujur kepala hingga badannya.
"Kami ingin ada pengusutan tuntas, supaya asas keadilan ditegakkan, supaya tidak ada praduga. Kami keluarga juga sudah melaporkan ke Komnas Ham dan Bareskrim Mabes Polri. Sampai saat ini kami masih menunggu tindak lanjut dari laporan kami. Kalau nanti tidak ada kemajuan, keluarga akan melaporkan ke Komnas Internasional," katanya saat ditemui di rumahnya di Tangerang.
Dia mengaku, laporan ke Komnas Ham dan Bareskrim telah disampaikan sejak 2 minggu yang lalu. Dengan menyertakan bukti visum yang ada.
"Laporan ke Komnas Ham sudah 3 minggu lalu, Bareskrim 2 minggu lalu. Di Bareskrim minta kelengkapan bukti-bukti nanti tinggal kami berikan. Ada bukti visum, pakaian Faisal saat kejadian dan bukti rekaman video. Semuanya ada, tinggal kami berikan," terangnya.
Meski begitu, Siti mengungkapkan, Faisal menerima dengan ikhlas apa yang telah dialami saat aksi demonstrasi ricuh tersebut.
"Kalau Faisal, dengan apa yang sudah terjadi pada dia ikhlas, ini menjadi konsekuensi dari aksinya menyuarakan hak-hak rakyat. Kami orang tua juga mendukung, karena ini adalah bagian dari perjuangan," tutupnya.
Komnas HAM buat Tim Pemantau Peristiwa September
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 10 Oktober lalu memutuskan membentuk tim khusus untuk menyelidiki kematian lima orang korban usai aksi menolak UU KPK dan sejumlah RUU yang hendak disahkan anggota DPR periode 2014-2019.
Komnas HAM mengaku sudah memantau kasus ini sejak 26 September 2019. Saat itu mereka hanya melakukan pemantauan situasi terhadap dugaan adanya tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi saat demonstrasi di Jakarta.
Dalam kasus demo September itu, LSM merasa polisi melanggar Perkab seperti Pasal 20 Perkap 7 Tahun 2012 tentang gas air mata, Pasal 28 Perkap 7 Tahun 2012 tentang 7 hal kontradiktif saat menangkap pendemo yang melanggar hukum, dan Perkap 8 Tahun 2009 tentang implementasi HAM dalam tugas kepolisian.
Hairansyah menuturkan, tim ini dibentuk dengan tujuan untuk mencari fakta seputar peristiwa yang terjadi di Makassar, Kendari, Jakarta dan tempat lain. Tim ini akan mengumpulkan fakta, data dan melakukan verifikasi kepada setiap pihak yang terlibat. Seperti pihak kepolisian, korban serta keluarga, dan pihak universitas.
(mdk/dan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Setahun lalu, 1 Oktober 2022 peristiwa berdarah yang menewaskan ratusan orang terjadi di Stadion Kanjuruhan Malang. Hingga kini, korban belum dapat keadilan.
Baca SelengkapnyaDemonstrasi yang digelar di depan gedung DPRD Jatim itu mengepung dan meminta paksa agar anggota dewan mau keluar dan menemui massa aksi.
Baca SelengkapnyaKPAI menyesalkan masih banyaknya pelanggaran hak-hak anak yang masih terus terjadi.
Baca SelengkapnyaMahasiswa berangka pukul 11.30 menggunakan 10 kopaja dan 20 angkot. Mereka juga membawa sejumlah spanduk dan poster.
Baca SelengkapnyaKPAI masih menyisir pelajar yang dirawat dan mengalami luka-luka di rumah sakit terdekat dari lokasi unjuk rasa.
Baca SelengkapnyaKomisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memastikan juga memberikan pendampingan terhadap pelajar pelaku kekerasan dan perundungan di SMA Binus School Serpong.
Baca SelengkapnyaKemenPPPA sudah melakukan koordinasi dan pemantauan penanganan peserta unjuk rasa berusia anak di Polda Metro Jaya.
Baca SelengkapnyaRatusan mahasiswa ini menyuarakan penolakan terhadap revisi Undang-Undang Pilkada.
Baca SelengkapnyaMeski revisi UU Pilkada dibatalkan, ribuan mahasiswa di Surabaya tetap berunjuk rasa mengawal putusan MK hingga ditetapkan sebagai PKPU.
Baca SelengkapnyaRibuan orang dari berbagai elemen masyarakat turun ke jalan menentang upaya revisi UU Pilkada, Jumat (23/8).
Baca SelengkapnyaAda indikasi mobilisasi anak-anak sekolah ini dilakukan pada sore hari di batas waktu pelarangan demo dengan pola yang mirip.
Baca SelengkapnyaDalam aksi yang dihelat di depan Kantor KPU RI juga hadir mahasiswa lainnya dari berbagai universitas di Jakarta.
Baca Selengkapnya