Novel Baswedan Ungkap Modus Pelemahan KPK Sekarang: Pegawai yang ASN Rentan Diintervensi
Novel Baswedan membongkar pelemahan di KPK saat ini dilakukan lewat pegawainya yang berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).
Mantan penyidik Senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan membongkar pelemahan di KPK saat ini dilakukan lewat pegawainya yang berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Menurut dia, status ASN pegawai KPK dianggap rentan diintervensi.
"Kondisi pegawai KPK sekarang ASN itu menjadi sangat mudah atau rentan diintervensi bagaimana mungkin mereka bisa bekerja dengan baik ketika kondisi mudah terintervensi ini yang menjadi persoalan," ungkap Novel Baswedan dalam Podcast merdeka.com yang dikutip, Senin (22/7).
Dia menyebut, peraturan tersebut diteken oleh Presiden Joko Widodo tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN pada 2020 lalu. Peraturan itu dianggap mempengaruhi kinerja pada pegawai antirasuah. Di saat yang bersamaan, hal tersebut menyebabkan penurunan motivasi dalam bekerja.
"Di KPK rasanya mulai banyak kok yang dipindah-pindahkan dari penindakan ke pencegahan segala macam padahal orang-orang yang dipindahkan orang-orang kerja baik Kalau dipindah-pindahkan itu kan kemudian motivasinya menjadi akan turun," beber Novel.
Di saat yang bersamaan adanya proses peralihan pegawai KPK menjadi ASN itu, tentunya diselingi dengan proses Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) berdasarkan Undang-Undang 5 Tahun 2014 tentang ASN.
Pada proses ini sebanyak 56 orang mantan pegawai KPK dan Novel harus terdepak dari KPK dengan cara yang melanggar hukum dan manipulatif.
"Ini kata ombudsman dan Komnas HAM dan bukti-buktinya jelas dengan cara menyelundupkan aturan segala macam itulah dengan cara-cara begitu tapi yang melakukan pimpinan KPK loh yang harusnya berintegritas," tegasnya.
Lebih lanjut, Novel membeberkan salah satu tahapan dalam proses rekrutmen pegawai KPK yang dihilangkan.
Padahal pada bagian itu menjadi nilai krusial untuk menunjukan betapa berintegritasnya antirasuah. Bagian yang dimaksud itu adalah proses persistensi.
"Kalau persistensi diharapkan orng betul-betul teguh dan betul-betul siap bekerja dalam tekanan nah inilah dihilangkan karena barangkali menurut pimpinan yang sekarang persistensi itu dianggap suatu pembangkangan ini yang lucu karena di KPK itu sebetulnya ada budaya kita bekerja dengan egaliter kita kritis tapi dalam konteks yang betul-betul menjaga nilai-nilai kesopanan menghormati yang lebih tua dan banyak lagi yang lain," ujar dia.
Padahal dalam budaya egaliter di KPK, kata Novel, merupakan bentuk kesetaraan antara pegawai dengan para pimpinan. Hal itu malah disambut negatif dengan alasan sifat kritis dianggap buruk. Umumnya sifat egaliter juga ada di dalam suatu organisasi dan telah menjadi budaya.
"Inilah cara-cara yang kemudian membuat budaya KPK akan berlemah dan akhirnya berdampak pada kehidupan sosial," pungkasnya.