Pakar Hukum Sebut UUD ’45 Hasil Amandemen 2002 Tak Lagi Berdasar Pancasila
Praktisi hukum Agus Widjajanto setuju apabila Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 tahun 2002 tidak lagi berdasar pada Pancasila
Praktisi hukum Agus Widjajanto setuju apabila Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 tahun 2002 tidak lagi berdasar pada Pancasila
Pakar Hukum Sebut UUD ’45 Hasil Amandemen 2002 Tak Lagi Berdasar Pancasila
Praktisi hukum Agus Widjajanto setuju apabila Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 tahun 2002 tidak lagi berdasar pada Pancasila. Sebab, amandemen yang dilakukan mengubah sekitar 97 persen UUD 1945.
"Sudah tidak ada lagi (UUD 1945) begitu dilakukan amandemen hingga beberapa kali. Karena telah mengubah pasal-pasal krusial dalam Undang Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi tertulis," tegas Agus, Rabu (15/11).
Menurut Agus, UUD 1945 telah kehilangan ruh-nya sebagai Negara yang berdasar Pancasila.
Padahal, sebelum UUD 1945 diamandemen, Pancasila merupakan Dasar Negara dan Falsafah Hidup Bangsa (Philosofische Grondslag) dan Pandangan Hidup Bangsa (Weltanschauung).
Selain itu, Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia sesuai Tap MPRS/1966 Nomor XX.
"Sejatinya terbentuknya negara ini diilhami Pemerintahan Desa zaman dulu," ujar pemerhati sejarah politik dan budaya tersebut.
Diungkapkan, dalam pemerintahan desa ada Rembug Desa. Dimana dalam musyawarah tertinggi desa itu dihadiri perwakilan dari tokoh agama, tokoh adat, sesepuh desa, tokoh pemuda.
Dan tentunya kepala desa, carik atau sekretaris desa hingga hulu balang desa.
Dalam musyawarah itu, semua dalam posisi yang sama kedudukannya.
Seluruh peserta Rembug Desa kemudian diberikan kesempatan untuk menyampaikan aspirasi dari masyarakat dan seluruh masukan kemudian dibahas bersama untuk kemudian disimpulkan dan diambil keputusan.
Proses pengambilan keputusan inilah hakekat sebenarnya dari permusyawaratan rakyat.
"Itulah sejatinya kedudukan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dimana kedudukan MPR adalah lembaga tertinggi negara sesuai sila ke empat dalam Pancasila yang berbunyi: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan" jelas Agus Widjajanto.
Agus menambahkan, Pancasila dan UUD 1945 adalah Dwi Tunggal yang tidak bisa dipisahkan.
Keduanya adalah soko guru yaitu pondasi dan tiang pancang utama dalam sebuah bangunan ketatanegaraan. Agus prihatin keduanya saat ini tidak lagi sinkron.
"Apakah tetap dinamakan UUD 1945 lagi? Menurut saya UUD 1945 sudah tidak ada, yang ada adalah UUD 2002. Ini masalah serius dalam sistem ketatanegaraan kita," kata Agus.
"Jangan dilihat kita tidak ada masalah, kita punya masalah besar karena menyangkut sistem, menyangkut soko guru terbentuknya Negara yang sudah bergeser pada Negara kekuasaan imperium Liberal," sambung Agus.
Sebelumnya, Guru Besar Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Kaelan, mengatakan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 tahun 2002 tidak lagi berdasar pada Pancasila.
Sebab setelah diteliti dengan seksama, ada sekitar 97 persen pasal yang diubah dalam amandemen tersebut.
"Setelah saya teliti, ini dari hasil penelitian, penelitian hukum normatif dan filosofis, jadi tidak berhenti normatif tapi filosofis, bahwa ternyata konstitusi amandemen 2002 itu sudah bukan lagi amandemen,” ujar Prof Kaelan.
“Karena yang diubah bukan satu pasal atau dua pasal, saya hitung hampir 97 persen. Masya Allah itu sudah bukan lagi amandemen, tetapi ganti. Jadi kita ini sudah tidak berdasarkan Pancasila,"
Guru Besar Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Kaelan
Merdeka.com
Hal itu diungkap saat Prof Kaelan jadi pembicara dalam Seminar Nasional yang diadakan Majelis Dewan Guru Besar Perguruan Perguruan Tinggi Negeri (MDGB PTNBH), Jumat (17/6).Prof Kaelan mencontohkan, pasal yang mengatur tentang HAM hanya mencomot dari HAM Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sementara HAM menurut UUD 1945 hasil amandemen tahun 2002 tidak lagi mencerminkan Pancasila.
"Karena HAM yang ada di dunia itu kan liberal, tidak memperhitungkan realisasi bahwa negara kita memandang HAM dengan nilai nilai luhur yang bertanggung jawab yang tentu juga berketuhanan," ucap Prof Kaelan.