Pakar Ingatkan Hati-Hati Penanganan Kasus Tambang karena Bisa Pengaruhi Iklim Investasi di Indonesia
Kejagung saat ini diketahui telah menetapkan lima korporasi sebagai tersangka dalam kasus korupsi tata niaga timah.
Pemerintah diingatkan untuk berhati-hati dan tak bertindak serampangan dalam penegakan hukum, di sektor pertambangan karena akan berdampak buruk terhadap kondisi APBN dan investor yang akan menanamkan modalnya di Tanah Air.
Pakar hukum pidana korporasi dan korupsi dari Universitas Pelita Harapan, Jamin Ginting menilai kasus lima perusahaan yang ditersangkakan Kejagung terkait dugaan korupsi tata niaga timah dengan kerugian Rp300 triliun hanyalah pihak yang menjalankan pekerjaan sesuai kontrak dengan PT Timah.
Dia menilai perusahaan-perusahaan tersebut tak layak dimasukkan sebagai tersangka korporasi dalam tindak pidana korupsi.
"Iya. Kalau dia menyuap pimpinan PT Timah untuk mendapatkan pekerjaan. Nah itu korupsi. Itu bagiannya dalam tipikor. Atau pejabat di PT Timah yang merupakan penyelenggara negara menyalahgunakan kewenangannya gitu. Jadi nggak bisa dinyatakan sebagai tipikor kalau hanya cuma terkait dengan kerusakan lingkungan di daerah IUP nya yang dikerjakan oleh swasta dan diminta pertanggungjawabannya sebagai tipikor. Nggak nyambung gitu, nggak ada kaitannya dengan tipikor harusnya ya," kata Jamin, Rabu (8/1).
Menyoal kerugian negara yang disebut mencapai Rp300 triliun, Jamin menyebut tak ada dalam pertimbangan Majelis Hakim. Menurutnya, kerugian negara itu hanya diungkap dalam dakwaan saja.
Lebih jauh, dia meyinggung keberadaan Pasal 14 di Undang-undang Tipikor yang berfungsi sebagai penentu apakah perbuatan pidana lain dapat dianggap sebagai tindak pidana korupsi seperti merugikan keuangan negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
“Kita patuh dengan aturan yang sudah tertuliskan. Nggak boleh diabaikan. Jadi, sekarang ada paradigma seakan-akan kejaksaan itu berwenang untuk menyatakan Tipikor semua perbuatan yang terkait dengan penambangan ilegal, perambahan hutan, kerusakan lingkungan hidup. Jadi, dalam perluasan makna kewenangannya terlalu jauh. Semua ditarik Tipikor. Padahal ada undang-undang lain yang sudah mengatur secara jelas, Secara cermat, sudah mengatur. Tapi nggak pernah dipakai,” tegasnya.
“Jadi, buat apa ada pidana dalam undang-undangan Lingkungan Hidup kalau semuanya dijadikan Tipikor. Kalau memang kerugian negara, ya pasti rugi. Nggak mungkin nggak ada rugi. Tapi nggak semua kerugian negara itu adalah tipikor. Kalau begitu, orang nggak bayar pajak, masukin aja tipikor,” timpalnya.
Efek domino terhadap sektor pertambangan juga disuarakan Pakar Hukum Pertambangan Abrar Saleng ini. Dia menyebut ada bahaya pelaku tambang bisa 'ditipikorkan'.
"Yang pasti dengan putusan-putusan hakim yang tidak mempertimbangkan aspek teknis dan hukum pertambangan itu akan mempengaruhi investasi pertambangan. Karena penambang-penambang akan takut ditipikorkan. Kalau dulu ada istilah kriminalisasi, kalau sekarang ini ditipikorkan. Kalau namanya korupsi kan semua takut. Karena korupsi itu perbuatan yang sangat tercela, bahkan di dalam hukum disebut extra ordinary crime,” ungkap Abrar.
"Kalau semua Tipikor, tidak ada lagi orang menambang. Dan ingat, bukan hanya Indonesia ada tambang, tempat lain juga ada. Malaysia ada, laos ada, kamboja ada. Ini mempengaruhi iklim investasi. Dan akan mempengaruhi penerimaan negara yang sangat besar, khususnya sektor migas dan minerba," tandasnya.
Kejagung saat ini diketahui telah menetapkan lima korporasi sebagai tersangka dalam kasus korupsi tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah pada tahun 2015 - 2022.
Jampidsus Febrie Adriansyah mengemukakan korporasi yang ditetapkan tersangka yaitu PT RBT, PT SIP, PT TIN, PT SB dan CV VIP.
"Jaksa Agung memutuskan bahwa kerugian kerusakan lingkungan hidup akan dibebankan kepada perusahaan sesuai kerusakan yang ditimbulkan masing-masing perusahaan tersebut," kata Febrie saar konferensi pers di Kejagung, Kamis (2/1).