Sejarah DPA, Dibentuk Soekarno Hingga Dihapus Era Megawati, Kini Diusulkan Diaktifkan lagi
DPA dibentuk Soekarno sebagai lembaga tinggi negara untuk memberi pertimbangan pada presiden.
Sejarah DPA, Dibentuk Soekarno Hingga Dihapus Era Megawati, Kini Diusulkan Diaktifkan lagi
Dewan Pertimbangan Agung (DPA) merupakan salah satu lembaga penting setelah Indonesia jadi negara merdeka, sebelum akhirnya diberhentikan di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri pada 31 Juli 2003. Kini muncul wacana pengaktifan DPA kembali.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengusulkan pengaktifan kembali lembaga DPA.
Hal ini menyusul pernyataan soal pembentukan presidential club yang dituturkan presiden terpilih Prabowo Subianto.
Bamsoet menyambut baik ide soal presidential club yang menurutnya bisa diformalkan lewat pengaktifan kembali DPA.
"Kalau bisa mau diformalkan kita pernah punya lembaga Dewan Pertimbangan Agung, yang bisa diisi oleh mantan-mantan presiden maupun wakil presiden"
"Kalau mau diformalkan kalau Pak Prabowo setuju," kata Bamsoet, Selasa (7/5).
Lalu apa sebenarnya DPA yang dulu pernah jadi lembaga penting di Indonesia?
Informasi dirangkung, berikut sejarah DPA dari awal pembentukannya hingga diberhentikan saat kepemimpinan Megawati.
DPA pertama kali dibentuk di era kepemimpinan Presiden Soekarno setelah kemerdekaan Indonesia pada 25 September 1945.
Lembaga ini jadi lembaga tinggi negara, seperti yang telah diatur UUD 1945 sebelum amandemen, yaitu pada Pasal 16 ayat 2 yang menyatakan DPA memiliki kewajiban untuk memberi jawaban dari pertanyaan presiden. Selain itu DPA juga berhak memberi usulan kepada pemerintah.
Dalam pasal 16 juga tertulis DPA berbentuk dewan negara dengan tugas memberi pertimbangan kepada negara.
Di mana fungsinya adalah sebagai lembaga yang memberi masukan dan pertimbangan kepada presiden.
Pembentukan DPA tidak dengan UU melainkan lewat Pengumuman Pemerintahan yang dimuat di Berita Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1945.
Dari pengumuman Pemerintah tersebut 11 orang ditunjuk menjadi anggota DPA, yaitu R Margono Djojohadikusumo, KRT Radjiman Widiodiningrat, Syekh Djamil Djambek, Agus Salim, KRMT Wurjaningrat, Adnan Moh Enoch, Latumeten, Pangeran Moch Noor, Soekiman Wirjosandjojo dan Soewarni Pringgodigdo.
Namun setelah Indonesia alami pergantian sistem pemerintahan menjadi parlementer, fungsi DPA tidak lagi berjalan efektif.
Lalu pada masa kepemimpinan Megawati, lembaga ini dihapus lewat perubahan amandemen UUD 1945 dan keputusan Presiden Nomor 135/M/2003 pada tanggal 31 Juli 2003.
Penghapusan DPA dikarenakan lembaga tersebut dinilai sudah tidak relevan dan tidak banyak mengerjakan pekerjaan pemerintah.
Keberadaan DPA akhirnya digantikan oleh dewan yang diatur dalam bab III kekuasaan pemerintahan negara. Dalam arti lain, keberadaan dewan untuk memberi nasihat kepada presiden masih dibutuhkan.
Namun posisi dewan sudah tidak lagi sejajar dengan presiden, melainkan jadi bagian dari kekuasaan pemerintah di bawah presiden yang memiliki tanggung jawab pada presiden.
Seperti yang tertuang dalam UU Nomor 19 tahun 2006 Tentang Dewan petimbangan Presiden (watimpres).
Wantimpres bertugas untuk memberi nasihat dan pertimbangan kepada presiden yang sifatnya wajib, baik diminta atau tidak.
Wantimpres juga dilarang menyebarluaskan isi nasihat dan pertimbangan untuk Presiden kepada pihak manapun.
Reporter magang: Antik Widaya Gita Asmara