Apakah Kebiasaan Menimbun Barang atau Hoarding Disorder Merupakan Penyakit Mental?
Hoarding disorder atau kebiasaan menimbun barang merupakan gangguan kepribadian yang perlu kita waspadai.
Kita semua mungkin pernah menyimpan baju lama yang sudah tidak muat atau sepatu usang karena memiliki nilai sentimental. Namun, kebiasaan menimbun barang (hoarding) menjadi masalah ketika kita kesulitan membuang banyak barang yang tidak diperlukan, dan justru terus menambah lebih banyak daripada yang dibuang.
Hoarding disorder atau gangguan menimbun barang, adalah penyakit mental yang diakui dalam edisi kelima Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5). Dilansir dari Healtshots, psikolog dan psikoterapis Priyanka Kapoor menjelaskan, "Meskipun pernah dianggap sebagai bagian dari gangguan obsesif-kompulsif (OCD), hoarding disorder kini dikategorikan sebagai gangguan terpisah."
-
Apa yang disimpan oleh penderita hoarding? Gangguan ini ditandai ketika seseorang merasa cemas atau khawatir secara berlebihan karena hasrat menyimpan barang yang sudah tidak dipakai lagi sangat tinggi.
-
Kenapa penderita hoarding sulit membuang barang? Gangguan ini menyebabkan penderita memiliki keinginan yang kuat untuk menyimpan barang tersebut karena rasa cemas dan takut akan terjadi sesuatu yang buruk jika barang tersebut dibuang.
-
Bagaimana cara mengatasi hoarding? Gangguan hoarding disorder dalam kondisi kronis mungkin tidak bisa disembuhkan seratus persen. Sehingga, cara penyembuhan kondisi ini dilakukan untuk upaya meredakan gejalanya.
-
Siapa yang bisa terkena hoarding? Hoarding disorder dapat dialami oleh setiap orang, meski sering dialami pada orang dewasa, namun gangguan ini juga bisa terjadi pada usia anak-anak dan remaja.
-
Apa saja tanda gangguan kesehatan mental? Berikut ini adalah beberapa tanda atau gejala yang bisa menjadi indikasi bahwa kita perlu memeriksakan kesehatan mental kita: Perubahan suasana hati yang ekstrem atau tidak stabil. Misalnya, merasa sangat sedih, marah, cemas, takut, atau bahagia tanpa alasan yang jelas. Perubahan perilaku yang signifikan atau tidak biasa. Misalnya, menjadi penyendiri, agresif, impulsif, atau tidak peduli dengan orang lain. Perubahan pola tidur atau nafsu makan yang drastis. Misalnya, sulit tidur atau tidur terlalu banyak; tidak nafsu makan atau makan terlalu banyak. Perubahan kinerja atau produktivitas di sekolah atau tempat kerja. Misalnya, sulit berkonsentrasi, sering lupa, kurang motivasi, atau sering absen. Perubahan minat atau kesenangan terhadap aktivitas yang biasa dilakukan. Misalnya, tidak lagi menikmati hobi, olahraga, atau bersosialisasi dengan teman. Perasaan tidak berharga, bersalah, putus asa, atau ingin bunuh diri. Mengalami halusinasi (melihat atau mendengar sesuatu yang tidak ada) atau delusi (percaya pada sesuatu yang tidak nyata). Mengonsumsi alkohol atau obat-obatan secara berlebihan untuk mengatasi masalah. Mengalami gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan secara medis. Misalnya, sakit kepala, nyeri dada, mual, atau sesak napas.
-
Apa penyakit keterbelakangan mental itu? Keterbelakangan mental merupakan suatu kondisi medis yang memengaruhi fungsi intelektual dan keterampilan adaptif seseorang.
Gejala Hoarding Disorder
Hoarding disorder dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Kapoor menjelaskan, gejala kecemasan seperti jantung berdebar, sesak napas, insomnia, berkeringat, atau gejala psikosomatis seperti otot tegang, masalah perut, atau nyeri tubuh, umum terjadi pada gangguan ini. Gejala lain termasuk:
Kesulitan Membuang Barang: Ada tekanan kuat saat mencoba membuang barang, khawatir akan membutuhkannya nanti, ketidakpastian di mana harus meletakkan barang, dan takut orang lain akan mengambilnya.
Ruangan Tidak Terpakai: Akibat penumpukan barang, ruang hidup menjadi tidak bisa digunakan sebagaimana mestinya.
Menarik Diri dari Pergaulan: Penderita sering menarik diri dari teman dan keluarga.
Menurut NHS Inggris, barang yang biasa ditimbun antara lain koran, buku, pakaian, dan barang daur ulang. Penderita hoarding disorder biasanya enggan meminta bantuan karena takut barang-barang mereka akan diambil. Mereka juga sering merasa malu dan terisolasi dari keluarga.
Penyebab Hoarding Disorder
Hoarding disorder sering menjadi cara dalam mengatasi ketidakamanan dan kecemasan yang dialami. Gangguan ini terbilang umum, dengan International OCD Foundation memperkirakan 2-6 persen orang mengalaminya. Seseorang dari segala usia bisa menderita hoarding disorder, namun lansia memiliki risiko lebih tinggi. Gejalanya bisa muncul sejak usia 11-15 tahun dan memburuk seiring bertambahnya usia.
Beberapa faktor yang dapat memicu hoarding disorder:
Genetika: Hoarding disorder lebih mungkin terjadi pada keluarga dengan riwayat kecemasan atau masalah kesehatan mental lainnya. Sebuah studi oleh Departemen Urusan Veteran AS menyebutkan 50% faktor penyebab hoarding disorder berasal dari genetika.
Trauma Masa Kecil: Trauma masa kecil dapat menyebabkan berbagai masalah, termasuk kecemasan, kesedihan, OCD, fobia, dan perilaku menimbun barang.
Kondisi Kesehatan Mental: Hoarding disorder dapat terjadi bersamaan dengan gejala OCD lainnya atau gangguan lain seperti ADHD dan gangguan kepribadian ambang (borderline personality disorder).
Harga Diri Rendah: Harga diri yang rendah dan ego yang rapuh dapat berkontribusi pada hoarding disorder. Penderita mungkin merasa divalidasi dan aman karena barang-barang yang mereka timbun.
Diagnosis dan Pengobatan Hoarding Disorder
Psikolog klinis akan mendiagnosis hoarding disorder dan gangguan kecemasan lainnya melalui riwayat pasien, evaluasi mental, dan alat diagnostik lain. Kapoor menjelaskan, pengobatan utama untuk hoarding disorder adalah terapi perilaku kognitif (CBT). Terapi ini dapat dilakukan secara individual atau kelompok, dengan fokus pada alasan di balik kesulitan membuang barang. CBT bertujuan untuk mengubah pola pikir terkait kebiasaan menimbun barang.
Jenis terapi lain yang dapat digunakan:
Desensitisasi Sistematis: Terapi ini berfokus pada pengobatan kecemasan dan fobia. Pasien secara bertahap akan terpapar benda dan situasi yang memicu kecemasan, sambil melakukan aktivitas relaksasi.
Terapi Dialektis-Behavioral (DBT): Berfokus pada peningkatan keterampilan regulasi emosi dan penanganan stres.
Terapi Komitmen (Commitment Therapy): Membantu pasien mengidentifikasi nilai-nilai inti dan menetapkan tujuan untuk hidup lebih sesuai dengan nilai tersebut.
Dalam kasus yang parah, obat-obatan psikiatri mungkin diperlukan untuk membantu mengendalikan gejala. Kapoor menekankan bahwa hoarding disorder disebabkan oleh masalah terpendam yang memerlukan penanganan melalui psikoterapi.
Mencegah Hoarding Disorder Semakin Parah
Meskipun pencegahan mutlak mungkin sulit dilakukan, ada beberapa cara untuk mencegah keparahannya:
Identifikasi Tanda Awal Trauma, Kecemasan, dan Depresi: Gejala-gejala ini dapat berkembang menjadi hoarding disorder jika diabaikan.
Cari Bantuan Profesional: Kapoor menyarankan untuk mencari terapi segera ketika masalah emosional muncul. Mengembangkan kemampuan mengatasi tantangan sejak dini sangat penting.
Atasi Kesulitan Lain: Masalah dalam hubungan atau karier juga perlu ditangani agar tidak memicu perkembangan hoarding disorder.
Jaga Harga Diri: Mengatasi masalah harga diri rendah penting karena merupakan akar dari banyak gangguan.
Hidup dengan Hoarding Disorder
Tinggal dengan hoarding disorder bisa sangat sulit. Berikut beberapa tips untuk mengelolanya:
Menjaga Keseimbangan Hidup: Yoga, pernapasan, meditasi, dan aktivitas fisik penting untuk menjaga keseimbangan mental.
Terapi Berkelanjutan: Terapi diperlukan selama penyebab yang mendasari masalah belum teratasi.
Dukungan Kelompok: Bergabung dengan kelompok pendukung dapat membantu penderita merasa tidak sendirian dan termotivasi untuk sembuh.
Keselamatan: Pastikan jalur keluar dan detektor asap berfungsi dengan baik untuk mencegah bahaya kebakaran.
Selain itu, penting untuk bersabar dan pengertian. Mengatasi hoarding disorder membutuhkan waktu dan usaha.