Ini Alasan Mengapa Kita Sering Sulit Tidur saat Berada di Tempat Baru
Banyak orang mengalami kesulitan untuk tidur saat di tempat baru, ini penyebabnya:
Pernahkah Anda mengalami kesulitan tidur nyenyak di malam pertama saat menginap di hotel untuk perjalanan bisnis, atau bahkan di rumah saudara saat liburan? Hal ini ternyata lumrah terjadi, dan ada penjelasan ilmiah di baliknya.
Kita semua pernah mengalaminya. Perasaan gelisah, mata tak kunjung terpejam, padahal besok ada presentasi penting di kantor. Atau mungkin Anda baru saja pindah rumah, seharian sibuk memindahkan barang, dan membutuhkan istirahat berkualitas. Namun, tidur nyenyak di tempat baru bisa jadi tantangan tersendiri.
-
Kenapa manusia sulit tidur di tempat baru? Sebagian besar dari Anda mungkin pernah merasakan kesulitan untuk tidur ketika berada di lingkungan baru. Hal ini ternyata telah dijelaskan dalam sebuah penelitian yang mengungkapkan alasannya.
-
Kenapa sulit tidur bisa membuat tidur jadi nggak berkualitas? Jangan dianggap sepele, karena pikiran tersebut bisa memicu kecemasan yang membuatmu jadi nggak bisa mendapatkan istirahat yang berkualitas di malam hari.
-
Kenapa sulit tidur bisa dikaitkan dengan kesepian? Hubungan antara kesepian dan kurang tidur sebenarnya sudah lama diketahui, tetapi dampak signifikannya pada mahasiswa sangat mengkhawatirkan. Kehidupan kampus sering membawa perubahan besar seperti pindah jauh dari rumah, menciptakan lingkungan sosial baru, dan mengelola tekanan akademis yang meningkat dan emua ini bisa menyebabkan perasaan terisolasi. Kesepian sendiri meningkatkan kepekaan kita terhadap stres dan memicu pikiran berlebihan, menciptakan formula untuk malam-malam tanpa tidur.
-
Apa temuan penelitian tentang tidur di tempat baru? Dalam studi yang dilakukan pada tahun 2016, ilmuwan dari Universitas Brown, Amerika Serikat, menemukan penyebab dari fenomena yang dikenal sebagai efek malam pertama saat kita berada di luar zona nyaman. Masalah ini berkaitan dengan kewaspadaan manusia yang mirip dengan hewan.
-
Kenapa sulit tidur bisa jadi masalah serius? Namun, jika sulit tidur terus berlanjut, itu bisa menjadi tanda adanya masalah yang lebih serius.
-
Kenapa stres bikin sulit tidur? Ketika stres, tubuh memproduksi hormon kortisol yang membuat Anda tetap terjaga.
Dilansir dari Mental Floss, sebuah studi pada tahun 2016 di Universitas Brown mengungkap penyebab kesulitan tidur di malam pertama: kewaspadaan naluriah layaknya hewan. Temuan ini dipublikasikan dalam jurnal Current Biology.
Tidur masih menjadi misteri bagi para ilmuwan. Kebanyakan hewan melakukannya, namun manfaatnya belum sepenuhnya dipahami. Dari sudut pandang bertahan hidup, hewan yang tidak waspada selama beberapa jam setiap hari tentu rentan. Alih-alih berevolusi untuk hidup tanpa istirahat, beberapa hewan justru mengembangkan kemampuan tidur “dengan satu mata terbuka.” Lumba-lumba hidung botol, singa laut selatan, ayam peliharaan, dan paus beluga termasuk spesies yang mempraktikkan tidur gelombang lambat hemisfer tunggal (USWS), di mana hanya separuh otak yang tertidur pada satu waktu.
Hal ini bisa Anda lihat pada barisan bebek yang sedang tertidur. Bebek di ujung barisan biasanya akan memiliki mata yang menghadap ke luar dalam keadaan terbuka. Mata tersebut terhubung dengan hemisfer otak yang masih terjaga. Dengan demikian, meskipun sedang tidur, kemunculan predator dapat memicu kewaspadaan di otak, sehingga bebek bisa segera mengambil tindakan.
Tidur waspada seperti ini tentunya sangat berguna di lingkungan yang berbahaya dan tidak terprediksi. Sayangnya, otak kita mungkin menganggap kamar hotel dan apartemen baru sebagai tempat yang berbahaya. Para ilmuwan telah menemukan USWS pada manusia, atau lebih tepatnya versi ringan dari USWS.
Para peneliti tidur sangat menyadari fenomena "efek malam pertama" (FNE) ini, dan seringkali mengabaikan hasil penelitian tidur malam pertama subjek di laboratorium. Alih-alih mengatasi FNE, tim peneliti memutuskan untuk mengidentifikasi penyebabnya. Mereka merekrut 35 relawan sehat dan membawa mereka ke laboratorium tidur selama dua malam dengan jeda istirahat satu minggu di antaranya. Para relawan dipasangi peralatan yang mengukur detak jantung, kadar oksigen darah, pernapasan, gerakan mata dan kaki, serta aktivitas di kedua sisi otak.
Para ilmuwan berfokus pada aktivitas gelombang lambat (SWA), yaitu pola aktivitas otak yang dapat menunjukkan seberapa nyenyak seseorang tidur. Mereka mengamati SWA pada empat jalur otak yang berbeda dalam kedua sesi tidur, untuk melacak bagaimana kedalaman tidur dipengaruhi oleh gangguan di dalam ruangan.
Tim peneliti tidak mencari perbedaan antara hemisfer otak, namun justru menemukannya. Pada malam pertama tidur, para subjek secara konsisten menunjukkan lebih banyak aktivitas terjaga di bagian kiri otak mereka. Hemisfer kiri juga lebih sensitif terhadap suara-suara asing (yang berpotensi mengancam).
Seminggu kemudian, ketika subjek kembali ke laboratorium tidur, aktivitas otak mereka menunjukkan simetri yang lebih baik, menandakan bahwa mereka sudah terbiasa dengan lingkungan yang sebelumnya asing tersebut. Aktivitas SWA mereka menunjukkan tingkat terjaga, atau kurang terjaga, yang sama pada kedua hemisfer otak.
Meskipun hasil penelitian menunjukkan adanya indikasi USWS pada manusia, penulis bersama Yuka Sasaki dalam sebuah pernyataan mengatakan bahwa "otak kita mungkin memiliki sistem miniatur dari apa yang dimiliki paus dan lumba-lumba."
Sasaki mencatat bahwa pelancong yang sering bepergian mungkin secara tidak sadar melatih otak mereka untuk melewati FNE. Otak kita "sangat fleksibel," katanya. "Oleh karena itu, orang yang sering berada di tempat baru mungkin tidak selalu mengalami kesulitan tidur."
Eksperimen mendatang dari tim peneliti ini akan mencakup upaya untuk menghilangkan FNE sehingga orang bisa mendapatkan tidur malam pertama yang lebih nyenyak.