Kisah S.A.E Nababan, Pendeta Asal Tarutung yang Pelayanannya Dikenal Hingga Dunia Internasional
Pendeta Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) ini memiliki kisah perjuangan dalam persekutuan gereja di Indonesia.
Pendeta Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) ini memiliki kisah perjuangan dalam persekutuan gereja di Indonesia.
Kisah S.A.E Nababan, Pendeta Asal Tarutung yang Pelayanannya Dikenal hingga Dunia Internasional
Masuknya agama kristen ke Tanah Batak tak lepas dari peran seorang misionaris Jerman, Dr. Ludwig Ingwer Nommensen. Ia datang untuk menyebarkan agama yang sebagian masyarakat Batak masih menganut agama Animisme.
Umat Kristiani dari waktu ke waktu terus bertambah hingga melahirkan pendeta-pendeta lokal yang memiliki pengaruh penting bagi gereja baik itu di tempat lahirnya hingga tersebar seluruh Indonesia. (Foto: wikipedia)
-
Siapa yang menyebarkan Kristen di Tanah Batak? Masuknya agama kristen di Tanah Batak ini tak lepas dari peran dan perjuangan seorang misionaris bernama Ludwig Ingwer Nommensen.
-
Siapa yang memulai tradisi Mauludan di Bangka Belitung? Tradisi ini mulai hadir semenjak kedatangan guru besar, Syekh Abdurrahman Siddiq di Pulau Bangka tahun 1898 silam.
-
Siapa yang punya peran penting dalam legenda Situ Bagendit? Legenda Situ Bagendit bercerita tentang seorang janda kaya raya bernama Nyai Endit yang terkenal karena sifatnya yang sangat pelit.
-
Di mana makam pendeta ditemukan? Sebuah penemuan arkeologis yang menarik telah terjadi di utara Peru. Sebuah makam berusia sekitar 3.000 tahun yang diduga merupakan makam seorang pendeta kuno ditemukan di situs arkeologi Pacopampa.
-
Bagaimana cara orang Batak menyembah Mulajadi Nabolon? Di antara ritual Ugamo Malim, salah satunya adalah upacara persembahan atau Pelean kepada Mulajadi Nabolon.
-
Siapa pendiri Tarekat Naqsabandiyah? Melansir dari berbagai sumber, Tarekat Naqsabandiyah menjadi buah pikiran dari Yusuf Hamdani dan Abdul Khaliq Ghajadwani pada abad ke-12 silam.
Seorang putra asal Tarutung bernama Soritua Albert Ernst Nababan atau biasa disingkat S.A.E Nababan merupakan salah satu tokoh pendeta yang cukup berpengaruh di Indonesia bahkan hingga kancah internasional.
Lahir pada 24 Mei 1933, pria dari pasangan Jonathan Laba Nababan dan Erna Intan Dora Lumbantobing ini sudah begitu dekat dengan persekutuan gereja.
Masa Pendidikan
Pria anak ketiga dari sebelas bersaudara itu menempuh jenjang pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Tarutung bersama sang kakak dan abang-abangnya. Kebetulan sang ayah juga bekerja sebagai tenaga pengajar di sekolahan tersebut.
Suatu ketika, sang ayah dipindahtugas ke Seminari Sipoholon seluruh anggota keluarga juga ikut pindah ke sana. Jarak dari HIS ke Seminari harus ditempuh kurang lebih 8 km.
S.A.E Nababan yang masih menempuh pendidikan di HIS harus merasakan perjalanan pulang-pergi yang jaraknya cukup jauh.
Pada tahun 1942, Nababan harus mengungsi ke Siborong-borong karena datangnya pasukan Jepang. Selama mengungsi, Nababan harus merasakan sulitnya kehidupan mulai dari makanan hingga jenjang pendidikan.
Akan tetapi, dari kondisi tersebut justru membuat Nababan belajar dan semakin dekat dengan kehidupan orang-orang Batak, terutama di bidang pertanian.
Ingin Menjadi Dokter
Siborong-borong pada saat itu belum memiliki fasilitas pendidikan. Banyaknya tenaga pengajar di tempat ini muncul inisiatif untuk mendirikan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Nababan kemudian pindah lagi ke Pematang Siantar, di sana ia bisa merasakan SMP di Indlandsche Middlebare School (IMS). Ia memiliki cita-cita menjadi seorang dokter. Namun, sang ayah justru menginginkannya untuk menjadi seorang pendeta.
Memenuhi permintaan sang ayah, Nababan memutuskan merantau ke Jakarta untuk bersekolah di Hoogare Theologische School atau sekolah tinggi teologi. Selama kuliah ia sudah sangat aktif di acara-acara gereja di HKBP Kernolong.
Selama bertugas di HKBP Kernolong, ia mencetuskan ibadah subuh paskah yang dilaksanakan mulai jam 4 pagi di Lapangan Banteng. Kemudian, Nababan juga terlibat di organisasi luar gereja yaitu Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI).
Hadiri Acara Besar
S.A.E Nababan kemudian kerap mengikuti organisasi Oikumene yang nantinya akan melakukan karya pelayanan ke luar negeri. Sejak kecil Nababan sudah memiliki pengetahuan yang luas, ia pun kerap melakukan dialog dengan pendeta gereja hingga pemuka agama lain.
Selama ikut Oikumene, ia sudah pernah menginjakkan kaki di Kottayam, India bersama dengan empat belas orang yang terpilih dari Indonesia.
Pada tahun 1956, Nababan resmi dijadikan sebagai pendeta di HKBP Jalan Gereja, Pematang Siantar.
Menyatukan Gereja Asia Timur
Melansir dari alkitab.or.id, pada tahun 1957 menjadi sejarah baru karena para pemimpin gereja di Asia Timur melakukan pertemuan perdana di Hotel Parapat.
Dalam pertemuan itu membahas kerja sama antara gereja-gereja yang bertetangga di kawasan Asia. Selain itu, pelayanan Nababan pun sudah cukup mendunia.
Melansir dari beberapa sumber, ia pernah menjabat sebagai Sekretaris Pemuda Dewan Gereja Asia (1963-1967), Wakil Ketua dari Komite Sentral Dewan Gereja-gereja se-Dunia (1983—1998), dan Wakil Presiden Federasi Lutheran se-Dunia dan anggota Komite Eksekutif dari lembaga yang sama.
Nababan juga pernah ditunjuk sebagai Ketua pertama dari Vereinte Evangelische Mission (United Evangelical Mission) yaitu sebuah lembaga misi internasional yang terdiri atas 34 gereja anggota yang tersebar di Afrika, Asia, dan Jerman.
Yang paling bersejarah, pada tahun 2006 ia terpilih menjadi seorang presiden dari lembaga persekutuan gereja-gereja sedunia.
Akhir Hayat
S.A.E Nababan tutup usia pada 8 Mei 2021 di umurnya yang ke-87 tahun. Peninggalan kebaikan selama hidupnya pun selalu dikenang oleh orang-orang terdekatnya.
S.A.E Nababan menjadi orang yang penuh semangat juang, kedisplinan tinggi, dan mampu memberikan suntikan motivasi kepada orang-orang banyak. Tak hanya itu, ia juga menyatukan umat-umat beragama dan menjunjung tinggi kemajemukan.
Saat S.A.E Nababan yang tergabung dalam Dewan Gereja Indonesia (DGI) pernah mengundang Abdurrahman Wahid untuk menjadi salah satu panelis dalam Sidang Raya DGI tahun 1989 di Surabaya.