Mengenal Mandi Gading, Upacara Ritual Meminta Hujan dari Masyarakat Gunung Kerinci
Bukan hanya gunungnya saja yang menyimpan misteri dan legenda, namun masyarakatnya juga memiliki ritual yang begitu unik.

Bukan hanya gunungnya saja yang menyimpan misteri dan legenda, namun masyarakatnya juga memiliki ritual yang begitu unik.

Mengenal Mandi Gading, Upacara Ritual Meminta Hujan dari Masyarakat Gunung Kerinci
Musim hujan ada kalanya sudah dinanti-nanti oleh tiap masyarakat yang bermukim di Indonesia. Terlebih, mengingat kondisi iklim saat ini sudah tak lagi stabil, membuat musim kemarau terasa lebih lama bahkan siklus iklim yang terbalik.
Musim hujan tentu memberikan manfaat bagi setiap orang, mulai dari untuk kegiatan bertani, hingga menjaga ekosistem alam sekitar sehingga tidak mudah mati. Begitu pula di Kabupaten Kerinci, apabila kemarau berkepanjangan mereka akan melakukan sebuah ritual.
Ritual itu bernama Mandi Gading yang sudah menjadi tradisi leluhur yang sampai saat ini masih terus dilaksanakan. Mandi Gading bertujuan untuk meminta hujan yang dilakukan oleh masyarakat adat nenek Limo Hiang Tinggi.
Dilanda Kemarau
Masyarakat adat nenek Limo Hiang Tinggi di Kecamatan Sitinjau Laut, Kabupaten Kerinci ini biasanya akan melaksanakan ritual Mandi Gading ketika wilayahnya sudah dilanda musim kemarau berkepanjangan.
Sebelum pelaksanaan Mandi Gading, masyarakat setempat sudah lebih dulu melaksanakan puasa selama tiga hari, lazimnya mulai dari Kamis hingga Sabtu. Mandi Gading nanti akan dilaksanakan dalam satu rangkaian dengan salat Istisqa'.
Tradisi Mandi Gading adalah pencucian benda-benda pusaka milik masyarakat berupa gading gajah yang terletak di rumah salah satu warga, yakni anak betino atau rumah gedang. Tradisi ini masih sangat kental dengan kearifan lokal, hanya saja berpadu dengan konsep keagamaan.
Merendam Gading
Kemudian, Mandi Ganding turut menghadirkan upacara merendam gading yang berlangsung di Sungai Batang Sangkir yang airnya mengalir ke hulu Hiang Tinggi dan membelah wilayah Sitinjau Laut.
Saat pelaksanaan salat Istisqa', ada serangkaian khotbah sekaligus kegiatan mengalihkan selendang yang menurut kepercayaan bisa membalikkan hari atau musim.
Setelah salat, mereka bergegas bersiap menuju penyimpanan pusaka. Upacara pembersihan diawali dengan pemangku adat dan beberapa orang dipimpin salah seorang pemangku adat dengan menggunakan tangga menuju loteng rumah.
Benda-benda pusaka itu terdiri dari tanduk kerbau, tanduk kambing, gading gajah, dan tikar salat. Kemudian, uniknya benda tersebut disiram menggunakan air jeruk atau limau.
Dibawa ke Lubuk
Dari sekian banyak pusaka yang dimandikan, hanya gading gajah dengan bobot 10 kilogram yang hanya diperlihatkan ke masyarakat. Gading itu dibawa ke aliran Sungai Batang Sangkir yang mengalir deras.
Sebelum gading direndam, terdapat pembacaan doa terlebih dahulu. Kemudian barulah gading itu direndam dan masyarakat berlomba-lomba memperebutkan gading gajah tersebut.
Apabila salah seorang berhasil mendapatkan gading gajah, maka puluhan masyarakat yang lain berebutan untuk mendapatkannya. Lalu, gading gajah tersebut berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain.