Mengenal Upacara Martarsik, Ritual Tradisional Pemanggil Hujan Warisan Raja Bius di Tanah Batak
Martarsik merupakan salah satu ritual tradisional yang diwariskan secara turun-temurun kepada masyarakat Batak.
Martarsik merupakan salah satu ritual tradisional yang diwariskan secara turun-temurun kepada masyarakat Batak.
Mengenal Upacara Martarsik, Ritual Tradisional Pemanggil Hujan Warisan Raja Bius di Tanah Batak
Akibat pemanasan global, perubahan cuaca kini sulit untuk ditebak. Perubahan iklim juga dapat menyebabkan cuaca ekstrim yang tidak dapat diprediksikan.
Padahal dalam sektor pertanian, para petani mengandalkan kondisi cuaca dan iklim agar menghasilkan panen yang melimpah.
-
Siapa yang menjalani ritual adat Batak? Chen Giovani menjalani ritual adat Batak menjelang pernikahannya dengan Fritz Hutapea.
-
Bagaimana ritual memanggil hujan? Dipercaya mengarak kucing, binatang yang secara tradisional tidak menyukai air, akan memikat para dewa hujan untuk mendatangkan hujan yang penting bagi tanaman dan hidup mereka.
-
Mengapa tradisi Ruwat Jagat Mapag Hujan penting bagi masyarakat Subang? Pasalnya di musim kering air kerap kali tidak mengalir, dan membuat masyarakat setempat kesulitan.
-
Dimana tradisi Mengkong Hujan dilakukan? Warga di Desa Bojongkoneng, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, masih melestarikan sebuah tradisi unik bernama Mengkong Hujan.
-
Kenapa orang Batak melakukan Martarombo? Selain mengetahui garis keturunan, juga bertujuan untuk menentukan kelas kekerabatan mereka dengan sesama suku.
-
Bagaimana orang Batak menjalankan prinsip 'Marsipature Hutana Be'? Arti dari Marsipature Hutana Be yaitu membenahi kampung halaman masing-masing. Prinsip ini sebagai pemanggil orang Batak diperantauan yang sukses untuk kembali dan membenahi kampung halamannya.
Seperti salah satunya di Suku Batak, terdapat ritual memanggil hujan yang sudah diwariskan secara turun-temurun bernama Martarsik. Tak hanya unik, ritual ini juga melibatkan roh halus agar ritual ini bisa berjalan dengan baik.
Asal-usul Martarsik
Melansir dari kanal Youtube Romauli Edukasi, upacara Martarsik ini merupakan warisan dari Raja Bius ketika musim kemarau panjang telah melanda kawasan tempat tinggal sang raja.
Dulunya ritual ini dilaksanakan oleh istri para Raja ke XII yang berlangsung di sebuah tempat bernama Homban. Tempat ini konon dimiliki oleh setiap marga Batak.
Tidak diketahui pasti apakah ritual Martarsik sampai sekarang masih terus dilakukan. Tetapi, upacara ritual pemanggil hujan ini menjadi warisan budaya dari Raja Bius kepada orang-orang Batak.
Dilaksanakan Tanpa Busana
Ketika ritual ini berlangsung, biasanya akan dilakukan oleh para istri Raja XII di sebuah daerah bernama Pea Porohan Salaon. Lalu mereka mandi bersama dengan penuh suka cita.
Keunikan dari ritual Martarsik ini, setiap istri dari Raja XII melakukannya tanpa busana. Hal ini dilakukan di bawah alam sadar mereka alias ketika sudah dipengaruhi roh-roh halus.Selama ini ketika orang kerasukan roh-roh halus pastinya akan melakukan hal yang tidak terkontrol.
Namun, berbeda ketika pelaksanaan Martarsik ini, mereka justru dipengaruhi roh-roh yang positif, penuh suka cita, hingga sikap dan perilaku kebahagiaan. Ketika ritual ini berlangsung, kaum laki-laki diwajibkan untuk menghormati para perempuan yang sedang melakukan ritual. Mereka tentu tidak boleh keluar rumah, bahkan mengintip sekalipun.
Apabila aturan tersebut dilanggar, lelaki tersebut akan menerima hukuman dirajam hingga jera dan berjanji tidak merusak ritual Martarsik di kemudian hari.
Ada Kesengsaraan di Balik Kebahagiaan
Secara kasat mata, mereka memang kerasukan roh-roh kebahagiaan. Akan tetapi, di balik itu mereka justru merasakan kesengsaraan, seperti kehausan karena kemarau yang panjang.
Selain kesengsaraan, mereka juga terancam karena hutan-hutan yang tumbuh di sekitar tempat tinggal mereka mulai kekeringan dan lahan pertanian rusak karena musim kemarau.
Sembari mereka berenang dan mandi bersama, di antara mereka ada yang memohon agar segera turun hujan agar kekeringan bisa segera diatasi. Biasanya, mereka sambil berteriak dengan kalimat: 'Roho, Roho, Udan'.