Sejarah Pesantren NU Tertua di Pulau Sumatera, Didirikan oleh Ulama Tersohor Berdarah Batak
Bukan hanya di Pulau Jawa saja, pondok pesantren juga berdiri di Pulau Sumatera yang usianya sudah lebih dari ratusan tahun.

Bukan hanya di Pulau Jawa saja, pondok pesantren juga berdiri di Pulau Sumatera yang usianya sudah lebih dari ratusan tahun.

Sejarah Pesantren NU Tertua di Pulau Sumatera, Didirikan Oleh Ulama Tersohor Berdarah Batak
Penyebaran agama Islam di Indonesia tak lepas dari berdirinya pondok-pondok pesantren tua yang sudah berusia ratusan tahun. Pondok pesantren cukup identik dengan wilayah di Pulau Jawa, khususnya di bagian Timur.
Lantas, apakah di luar Pulau Jawa terdapat pondok pesantren yang serupa? Jawabannya tentu saja ada, yakni tepatnya di wilayah Sumatera bernama Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru.
Usia ponpes ini diperkiran sudah mencapai 1 abad atau 100 tahun.
Berdirinya Pondok Pesantren Musthafawiyah ini menjadi bukti bahwa penyebaran agama Islam telah tersebar hingga luar Pulau Jawa.
Tak hanya itu, santri di ponpes tersebut sudah melahirkan ribuan ulama besar di Indonesia.
Simak perjalanan sejarah Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru yang dirangkum merdeka.com berikut ini.
Didirikan Abad 20
Melansir dari beberapa sumber, ponpes ini didirikan pada 12 November 1912 oleh Syeikh Musthafa bin Husein bin Umar Nasution Al-Mandaily.
Beliau merupakan ulama besar yang lahir dari keturunan orang Batak.
Awalnya, ponpes ini berada di Desa Tanobato, Kabupaten Mandailing Natal. Lantaran daerah tersebut dilanda banjir, maka ponpes terpaksa dipindahkan ke Desa Purba Baru sampai sekarang ini.
Penyematan nama 'Purba' pada ponpes ini lahir dari penyebutan orang-orang terhadap ponpes ini karena lokasinya yang berada di Purba Baru.
Kisah Sang Pendiri
Pendiri ponpes yang memiliki nama kecil Muhammad Yatim ini lahir dari keluarga pedagang. Tepat tahun 1900, ia memutuskan untuk berangkat ke Tanah Suci sewaktu haji.
Di sana, Muhammad Yatim mendapat sorotan dari gurunya, sehingga diberi nama Musthafa yang artinya 'Sang Terpilih'.

Melansir dari situs nu.or.id, Musthafa diminta untuk kembali ke Sumatera setelah orang tuanya wafat. Ketika ia kembali, Musthafa mendapat julukan Syekh dan diberi kepercayaan untuk mengisi pengajian.
Seiring berjalannya waktu, program pengajian yang diisi oleh Musthafa ini jamaahnya terus bertambah dan mereka berbondong-bondong datang dari berbagai daerah. Sampai pada akhirnya Musthafa memiliki jumlah jamaahnya yang mencapai ribuan.
Ajarkan Prinsip Hidup
Selama Syeikh Musthafa mengajar, ia sendiri menekankan kepada jamaah atau muridnya itu untuk menjadi pribadi yang mandiri. Ia menyampaikan dengan bahasa Batak 'Baen na tuho, borkatan dei' yang artinya usaha sendiri lebih baik dan lebih berkah.
Selain itu, ia juga mengajarkan untuk tidak bergantung kepada orang lain dan sebisa mungkin untuk berusaha dengan perjuangannya sendiri.
Dengan jiwa pedagangnya yang begitu tinggi, Syeikh Musthafa juga mengajarkan soal pengusaha, pedagang, dan petani. Uniknya, ajaran dan pendekatannya ini sangatlah jauh berbeda ketimbang ponpes atau ulama-ulama lainnya.
Ponpes Unik
Keunikan dari Pondok Pesantren Musthafawiyah ini adalah murid-murid pesantren akan mendirikan gubuk kecil yang seiring berjalannya waktu jumlahnya sudah ribuan.
Ketika bangunan ini sudah selesai berdiri, ponpes ini lantas diresmikan secara langsung oleh Jenderal Abdul Haris Nasution.
Dengan ajaran mandiri yang diterapkan oleh Syeikh Musthafa, dari situlah para muridnya mendirikan gubuk kecil masing-masing.