Asal Usul Gelar Haji di Indonesia, Benarkah Warisan Dari Belanda, Begini Penjelasannya
Berikut penjelasan terkait asal usul gelar Haji di Indonesia.
Berikut penjelasan terkait asal usul gelar Haji di Indonesia.
Asal Usul Gelar Haji di Indonesia, Benarkah Warisan Dari Belanda, Begini Penjelasannya
Masyarakat Indonesia tentu sudah tidak asing dengan penyebutan gelar Haji atau Hajah.
Terlebih bagi umat Islam yang sudah menjalani ibadah Haji. Biasanya, masyarakat akan memanggilnya dengan Ibu Hajah maupun Bapak Haji sebelum menyebutkan namanya.
Namun tahukah kalian bagaimana asal usul gelar Haji di Indonesia? Benarkah gelar tersebut adalah warisan dari Belanda? Melansir dari berbagai sumber, Kamis (27/6), simak ulasan informasinya berikut.
-
Apa artinya 'haji'? Menurut istilahnya, Haji tak lain berasal dari bahasa Arab 'Hagg' yang berarti berziarah. Maka dari itu, makna haji sendiri yakni merupakan ibadah berupa ziarah yang dilakukan ke Kota Suci Mekkah dalam rangka meningkatkan keimanan dan takwa seseorang terhadap Allah SWT.
-
Apa yang dimaksud dengan haji? Haji secara istilah adalah menyengaja berkunjung ke Baitullah, di Makkah untuk melakukan ibadah pada waktu dan cara tertentu serta dilakukan dengan tertib.
-
Kenapa orang berhaji? Haji sendiri merupakan salah satu rukun Islam yang bisa ditunaikan. Haji merupakan ibadah yang ditunaikan setelah syahadat, salat, zakat, dan puasa. Namun dalam syariatnya, menunaikan ibadah Haji dapat dilakukan apabila seorang muslim mampu melaksanakannya.
-
Bagaimana cara orang berhaji? Biasanya, ada serangkaian acara yang dilakukan menjelang seseorang menunaikan ibadah Haji. Salah satunya yakni momen berpamitan kepada sanak, saudara, hingga orang-orang terdekat.
-
Siapa yang memulai tradisi Mauludan di Bangka Belitung? Tradisi ini mulai hadir semenjak kedatangan guru besar, Syekh Abdurrahman Siddiq di Pulau Bangka tahun 1898 silam.
-
Siapa yang memulai tradisi ini? Tradisi itu berasal dari seorang tokoh syiar Islam di Klaten bernama Ki Ageng Gribig.
Tidak bisa dipungkiri, masyarakat Indonesia memiliki tradisi memberi gelar 'Haji' atau 'Hajah' di depan nama orang usai menunaikan ibadah Haji.
Melansir dari laman resmi kemenag.go.id, seorang fiolog sekaligus Staf Ahli Menteri Agama Oman Fathurahman menjelaskan bahwa tradisi tersebut sah-sah saja.
Sebab, masyarakat Indonesia yang melakukan perjalanan menuju Tanah Suci sejak masa silam merupakan perjuangan berat tersendiri.
Bagaimana tidak, mereka harus mengarungi lautan, menghindari perompak, menerjang badai selama berbulan-bulan hingga menjelajah gurun pasir.
Saat berhasil kembali selamat ke Tanah Air, orang tersebut kemudian dianggap berhasil memperoleh kehormatan dan anugerah.
Terlebih Ka'bah dan Mekkah merupakan kiblat suci umat Islam di seluruh penjuru dunia.
Oleh karena itu, pemberian gelar 'Haji' atau 'Hajah' di Indonesia kepada orang yang sudah menunaikan ibadah Haji lazim terjadi.
Antropolog UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dadi Darmadi, mengatakan bahwa tradisi pemberian gelar sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia.
Di dunia Islam Melayu bagian lain rupanya juga memiliki tradisi yang serupa. Baik itu di Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam bahkan Thailand Selatan.
"Tradisi di Mesir Utara bahkan bukan hanya memberi gelar haji, tapi juga melukis rumahnya dengan gambar Ka'bah dan moda transportasi yang digunakan ke Mekkah," ujarnya melalui pesan singkat, Rabu (24/07/19).
Lebih lanjut, Dedi menilai pemberian gelar ini dapat dilihat dari tiga perspektif.
Pertama secara keagamaan, haji merupakan perjalanan untuk menyempurnakan rukun Islam. Apalagi untuk bisa menunaikan ibadah Haji tidaklah semudah yang dibayangkan.
Misalnya perjalanan yang panjang dan jauh, biaya yang tak murah hingga persyaratan yang tidak mudah.
"Untuk itulah gelar Haji dianggap layak dan terus disematkan bagi mereka yang berhasil melakukannya," tuturnya.
Kedua yaitu secara kultural, narasi, cerita-cerita menarik, heroik dan mengharukan selama berhaji juga terus berkembang menjadi cerita atau topik menarik. Sehingga dari cerita-cerita tersebut, semakin banyak pula orang-orang yang ingin berhaji.
"Hal-hal inilah saya kira yang membuat ibadah haji semakin penting dan gelar haji di Indonesia punya nilai dan status sosial yang tinggi," ucapnya.
kemenag.go.id
Ketiga dari perspektif kolonial. Penyematan gelar 'Haji' atau 'Hajah' rupanya memiliki cerita tersendiri. Dulu, pemerintah kolonial Belanda berupaya untuk membatasi jamaah haji dengan berbagai cara. Hal ini lantaran mereka takut akan pengaruh haji bagi gerakan anti-penjajahan.
Salah satu upaya Belanda adalah dengan membuka Konsulat Jenderal pertama di Arabia pada 1872.
kemenag.go.id
Tugas konsulat ini sendiri yaitu mencatat pergerakan jamaah dari Hindia Belanda, dan mengharuskan mereka memakai gelar dan atribut pakaian haji agar mudah dikenali dan diawasi.
"Itu dari perspektif kolonial. Padahal menurut Snouck Hurgronje, yang meneliti haji, saat itu, jemaah haji tidak layak ditakuti sebagai anti-penjajah," tandasnya.
kemenag.go.id